Find Us On Social Media :

Perayaan Malam 1 Suro Dibuat Untuk Mempersatukan Raja Dan Rakyat Biasa, Banyak Mitos Yang Melingkupinya

By Moh. Habib Asyhad, Minggu, 7 Juli 2024 | 07:45 WIB

Kirab Pusaka Malam 1 Suro di Keraton Mataram Surakarta berawal dari permintaan Presiden Soeharto supaya terhindar dari marabahaya.

Ada beberapa mitos yang melingkupi 1 Suro.

Sebagai hari yang dianggap suci, masyarakat Jawa meyakini ada sejumlah mitos yang tidak boleh dilakukan saat malam 1 Suro. Salah satunya adalah larangan keluar rumah untuk weton tertentu. Masyarakat Jawa percaya orang yang memiliki weton tertentu dilarang keluar rumah pada malam satu Suro.

Alasannya, jika nekat keluar, orang tersebut dapat mengalami kesialan. Selain itu, malam satu Suro dipercaya menjadi waktu bagi orang-orang yang bersekutu dengan setan mencari tumbal untuk memupuk kekayaan atau menambah kesaktian mereka. Jika keluar rumah, orang tersebut bisa menjadi tumbal setan.

Larangan selanjutnya adalah bicara atau berisik Pada malam satu Suro, sebagian orang Jawa akan melakukan ritual bisu atau tidak berbicara. Ritual ini umumnya dilakukan dalam area Keraton Yogyakarta.

Selain berhenti bicara, mereka juga melakukan tindakan seperti saat berpuasa. Mereka dilarang makan, minum, dan merokok saat melakukan ritual bisu.

Mitos lainnya, masyarakat Jawa tidak boleh mengadakan pernikahan di bulan Muharram. Pasangan yang menikah atau menggelar acara pernikahan pada bulan Suro terutama malam satu Suro diyakini akan mendapatkan kesialan. Tapi keyakinan ini sejatinya tidak tercantum dalam ajaran agama Islam dan hanya kepercayaan tradisi adat.

Hal lain yang dilarang selama bulan Suro adalah pindah rumah. Sebab, orang yang pindah rumah saat itu dianggap akan mendapatkan kesialan.

Masyarakat Jawa juga dilarang membangun rumah di bulan ini. Mulai membangun rumah pada malam satu Suro diyakini mendatangkan kesialan bagi pemilik rumah. Kesialan yang dimaksud dalam pantangan-pantangan ini berupa mendatangkan sakit bagi penghuni rumah, penderitaan, penghambat rezeki, dan sebagainya.

Pemerhati budaya sekaligus Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret (UNS) Tundjung W Sutirto mengatakan, perkembangan mitos malam satu Suro terjadi secara akumulatif. Mitos ini berawal dari pensakralan yang dilakukan masyarakat Jawa terkait penggabungan kalender Islam dan Jawa (Hindu) sebagaimana asal-usul malam satu Suro.

"Jadi momentum penanggalan yang digaungkan itu diyakini sebuah momentum yang istimewa sehingga masyarakat menganggap malam Suro adalah sakral karena adanya penggabungan itu akan menentukan perhitungan (dalam bahasa Jawa: petangan)," kata Tundjung kepada Kompas.com, Kamis (13/7/2023).

Sifat sakral itulah yang menuntun masyarakat Jawa sebagai pendukung budaya untuk "meluhurkan" sebuah pergantian tahun dengan "laku spiritual". Dari situ, muncul mitos untuk tidak bepergian jauh tanpa tujuan, tidak menyelenggarakan pernikahan, tidak pindah rumah, dan tidak keluar rumah.

"(Itu) mitos yang mensakralkan pergantian tahun baru Jawa," kata Tundjung.