Find Us On Social Media :

Perayaan Malam 1 Suro Dibuat Untuk Mempersatukan Raja Dan Rakyat Biasa, Banyak Mitos Yang Melingkupinya

By Moh. Habib Asyhad, Minggu, 7 Juli 2024 | 07:45 WIB

Kirab Pusaka Malam 1 Suro di Keraton Mataram Surakarta berawal dari permintaan Presiden Soeharto supaya terhindar dari marabahaya.

Perkembangan mitos tidak dapat disebut sebagai momentum. Mitos tersebut menurutnya berkembang secara akumulatif, yaitu dalam makna sesuai konteks zamannya oleh pemangku kebudayaan.

"Kalau dicari mulai kapan tentu sejak Sultan Agung menciptakan penggabungan kalender Saka dengan Islam pada dilakukan hari Jumat Legi, saat pergantian tahun baru Saka 1555 yang ketika itu bertepatan dengan tahun baru Hijriah 1 Muharam 1043 H dan 8 Juli 1633 M," terang Tundjung.

Sebagai contoh, tradisi kirab pusaka di Keraton Surakarta yang digelar setiap malam 1 Suro bukan merupakan tradisi yang berlangsung sejak Kerajaan Mataram. Tradisi kirab pusaka di Keraton Surakarta baru terjadi pada 1974.

Ketika itu Presiden Soeharto meminta kepada Paku Buwono XII untuk melakukan kirab pusaka dengan tujuan agar bangsa Indonesia terhindar dari bencana. Kendati demikian, menurut Tundjung, semua mitos yang berkembang dan diyakini orang Jawa substansinya adalah pengendalian diri.

"Semua mitos tentang malem Suro adalah pantangan untuk bersenang-senang. Tuntunan yang diwarisi dari para leluhur adalah sebuah cipta rasa dan karsa bagaimana terjadinya penanggalan Jawa yang merupakan penggabungan kalender Islam dengan Jawa (Hindu)," kata Tundjung.

Terkait kenapa malam 1 Suro tidak boleh keluar rumah, Tundjung menjelaskan, larangan itu juga merupakan salah satu mitos yang diyakini masyarakat Jawa. "Itu juga sebuah mitos. Disarankan lebih baik tidak keluar rumah jika tidak perlu," kata Tundjung.

Legitimasinya adalah, kalau keluar rumah akan sial karena diyakini akan bertemu dengan pasukan dari Nyi Roro Kidul (Ratu Pantai Selatan) yang tengah menuju ke keraton atau ke Gunung Merapi.

"Zaman dahulu setiap malem Suro auranya mistis karena berbagai mitos pantangan keluar rumah itu," ungkap Tundjung. Namun, mitos ini justru berbanding terbalik dengan tradisi keraton yang menggelar kirab di tengah malam hari.

Menurut Tundjung, tradisi ini ada kaitannya dengan perjanjian yang dikenal dengan perjanjian Abiproyo, yaitu perjanjian antara Panembahan Senopati (Raja Mataram) dengan Nyai Roro Kidul. Disebutkan bahwa Nyai Roro Kidul akan membantu Kerajaan Mataram dari musuh-musuhnya.

"Maka, ketika masyarakat Jawa malam Suro itu ke keraton dianggap sebagai kawula Mataram yang akan terlindungi dari marabahaya dibandingkan jika hanya keluar rumah tanpa tujuan," tandas Tundjung.