Find Us On Social Media :

Membatik Di Kampung Santri Yang Bertransformasi Jadi Kampung Batik

By Moh. Habib Asyhad, Minggu, 30 Juni 2024 | 12:41 WIB

Meski kini lebih terkenal sebagai kampung batik, Kampung Kauman sangat lekat dengan urusan perdakwahan. Tak heran, kampung ini juga dikenal sebagai kampung santri.

Mengapa sebuah batik tulis harganya berkali-kali lipat dibandingkan dengan batik cap atau batik pabrik? Dengan berkunjung ke Kampung Batik Kauman Anda bisa memperoleh jawaban soal itu. Tak hanya itu, ke kampung ini Anda bisa berbelanja batik dengan nyaman.

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com - Kampung ini letaknya tak jauh dari Pasar Klewer, pasar batik terbesar di Indonesia. Ada empat jalan besar yang bisa menjadi pintu gerbang masuk ke Kampung Kauman: Jl. K.H. Hasyim Asyari dari sisi timur, Jl. Dr. Radjiman dari sisi selatan, Jl. Yos Sudarso dari sisi barat, serta Jl. Slamet Riyadi dari sisi utara, tempat saya masuk ke kampung ini.

Sebuah gapura bertuliskan "Kampung Batik Kauman" menyambut di ujung jalan. Jangan membayangkan jalan lebar yang leluasa dilalui dua atau empat mobil sekaligus. Jalan masuk itu hanya selebar sekitar 3 m saja. Pas untuk berpapasan mobil dan motor.

Nama Kauman mengacu ke kaum, yakni pegawai penghulu kraton yang mengurusi mesjid agung sebuah kerajaan. Kampung ini memang ada kaitannya dengan sejarah perpindahan Kraton Kartosuro ke Solo, yang kemudian berubah nama menjadi Kasunanan.

Di tanah Jawa, sebuah kerajaan memiliki Masjid Agung yang letaknya tak jauh dari Kraton dan alun-alun. Di belakang masjid itulah dibangun sebuah perkampungan untuk menampung para kaum yang mengurus masjid tersebut.

Pada zaman dulu, masyarakat kaum ini mendapatkan latihan secara khusus dari Kasunanan untuk membuat batik demi keperluan seperti jarik atau selendang. Jadi, secara tidak langsung tradisi batik di kampung ini mewarisi tradisi membatik ala Ndalem Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

Berbekal warisan tradisi tadi, masyarakat Kauman dapat menghasilkan batik dengan motif yang sering dipakai oleh kerabat kraton. Jika dulu masih murni mengandalkan batik tulis, yakni dikerjakan secara manual, sekarang sudah muncul batik cap.

Perbedaan dua batik itu bisa dilihat di Kampung Kauman ini. Pada batik tulis, pola batik digambar di kain yang lalu ditegaskan dengan malam yang dicairkan. Sedangkan pada batik cap, motif sudah dicetak pada sebuah plat besi dan setelah dipanaskan, plat besi ini dicelupkan pada lembaran malam dan di-cap-kan ke kain.

Jelas terlihat perbedaannya: batik tulis lama dan tak presisi motifnya, batik cap cepat dan presisi motifnya. Kain yang digunakan ada banyak macamnya, mulai dari sutra sampai rayon.

Kelebihan berbelanja batik di Kampung Kauman kita bisa melihat proses membatik dari awal sampai akhir. Beberapa toko yang merangkap rumah produksi terbuka bagi para tamu untuk melihat bahkan menjajal memegang canting, alat yang digunakan untuk membatik tulis.

Proses membatik yang lama dan panjang akan membuat pengunjung memahami mengapa ada baju atau kain batik yang harganya mahal. Memang, dibandingkan dengan harga batik di Pasar Klewer berbeda cukup lumayan meski itu tidak bisa diperbandingkan secara mutlak.

Selain melihat proses membatik, Kampung Kauman juga menawarkan suasana masa lalu. Masih banyak bangunan rumah joglo, limasan, atau perpaduan arsitektur kolonial dan lokal. Bangunan-bangunan masa lalu itu berdampingan dengan bangunan modern seperti pusat perbelanjaan, pusat perbankan, atau hotel yang banyak bertebaran di sekitar Kampung Kauman.

Sistem kampung model blok membuat banyak perempatan yang menguntungkan sebab jalan sempit tadi. Saat dua mobil akan berpapasan, salah satu bersembunyi di sebuah perempatan. Sebagian besar jalanan di-paving block sehingga masih memungkinkan air meresap ke dalam tanah.

Dari data yang terpampang di peta wisata batik Kauman terlihat ada sekitar 50 UKM yang berkecimpung dalam perbatikan. Rata-rata berlokasi di Jalan Wijayakusuma dan Jalan Cakra. Siang yang terik menyambut saya saat masuk ke Batik Gunawan Setiawan, yang juga mengelola Museum Batik Kaoeman. Di museum ini kita bisa melihat koleksi batik zaman dulu, kain kuno, atau peralatan membatik yang digunakan sejak tahun 1920-an.

Sebagai kampung santri

Seperti disebut di awal, meski kini lebih terkenal sebagai kampung batik, Kampung Kauman sangat lekat dengan urusan perdakwahan. Tak heran, kampung ini juga dikenal sebagai kampung santri.

Menurut situs Surakarta.go.id, Kauman sangat dikenal sebagai salah satu wilayah syiar agama Islam yang cukup tua di wilayah Kasunan Surakarta. Jejak sejarah kejayaan Islam sangat mudah terlihat pada begitu banyaknya rumah ibadah baik masjid, langgar dan musala yang sudah berumur tua yang banyak tersebar di gang-gang sempit Kampung Kauman.

Di sini juga ada banyak pondok pesntren yang hingga kini masih ada. Seperti disebut di awal, Kauman pada zaman dulu memang dikenal sebagai Kampung Santri, karena begitu banyaknya pesantren, tapi saat ini hanya tersisa beberaepa.

Salah seorang marbot Langgar Trayeman, Budi Raharjo menjelaskan, di Langgar Trayeman sekitar tahun 1980-an pernah berdiri Pondok Pesantren dengan jumlah santri yang cukup banyak. Tapi karena lantaran para pengurus pondok banyak yang meninggal dunia, kini Ponpes di Langgar Trayeman sudah tidak lagi difungsikan.

Langgar Trayeman kabarnya sudah ada sejak berdirinya Masjid Agung Surakarta yang berada di selatan Kampung Kauman. Masjid ini dibangun pada masa Pakubuwono III pada 1763-1788.

Jika melihat ruang salat langgar tersebut, kita akan melihat empat tiang kayu kayu yang menopangnya. Sementara atapnya, yang juga berbahan kayu jati, juga masih terlihat kokoh. Desain arsitektur bagian dalamnya mirip desain arsitektur Masjid Agung Surakarta.

Seiring berjalannya waktu, Kampung Kauman menjadi perkampungan yang begitu padat, yang sebagian besar penghuninya adalah para kerabat Keraton. Sejalan dengan itu, syiar Islam pun berkembang pesat dan itu ditandai dengan berdirinya banyak lembaga pendidikan islam juga langgar dan musala.

Kerabat keraton, abdi dalem yang disebut para kaum itu, hidup bersama para ulama di atas tanah pemberian Keraton sebagai tempat tinggal para kaum, yang kemudian banyak menyebut Kauman.

Setidaknya ada beberapa tempat ibadah yang sudah berusia puluhan bahkan ratusan tahun di Kampung Kauman, di antaranya:

- Masjid Sememen di Jalan Trisula VI, Kauman

- Langgar Winongan di Jalan Cakra, Kauman

- Langgar Hidayat Jadiid di Jalan Wijaya Kusuma, Kauman

- Langgar Trayeman, Kampung Trayeman, Kauman

- Musala Putri Yasinan, di Jalan Kalimosodo, Kauman

- Langgar Modinan di Jalan Wijaya Kusuma, Kauman

Batik yang berkembang dan kemudian menjadi ciri khas kampung itu, konon diajarkan oleh pihak Keraton kepada para istri pemuka agama yang tinggal di Kauman. Batik kemudian mnenjadi keranjinan rumahan. Lambat laun, lahirlah batik-batik klasik khas Solo dari sini, di antaranya batik Sidomukti dan Sidodrajat yang banyak dilirik pembeli.

Barangkali dari situlah Kampung Kauman dikenal sebagai Kampung Batik.