Find Us On Social Media :

Letusan Gunung di Indonesia yang Mengubah Peradaban Dunia Hingga Runtuhkan Dinasti Ming

By Afif Khoirul M, Kamis, 20 Juni 2024 | 19:15 WIB

Ilustrasi - Letusan gunung di Indonesia yang mengguncang dunia.

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan artikel terbaru kami di sini

___

Intisari-online.com - Zaman Es Kecil (LIA) merupakan periode pendinginan regional yang berlangsung di belahan bumi utara, umumnya didefinisikan antara abad ke-13/14 hingga abad ke-19. Penting untuk diingat bahwa LIA berbeda dari Periode Hangat Abad Pertengahan maupun Periode Glasial Terakhir.

LIA memiliki peristiwa uniknya sendiri yang memicu perubahan drastis di berbagai kebudayaan manusia di seluruh dunia.

Berbeda dengan zaman es dan periode hangat sebelumnya yang membawa kerusakan lingkungan dan memaksa adaptasi manusia, LIA memiliki dampak yang bervariasi. Beberapa wilayah mengalami dampak parah, memicu perang, kelaparan, penyakit, bahkan penelantaran.

Di sisi lain, beberapa daerah justru mengalami kelimpahan dan kemakmuran, memberikan keuntungan dan kondisi yang ideal untuk memperkuat peradaban manusia.

Penyebab pasti LIA masih menjadi misteri, namun beberapa hipotesis telah diajukan. Salah satu hipotesis utama adalah letusan Gunung Salamas di Lombok, Indonesia, pada tahun 1257. Letusan dahsyat ini diperkirakan memicu perubahan iklim global, menghasilkan efek pendinginan yang dirasakan di berbagai belahan dunia.

Dampak LIA tidak hanya terbatas pada perubahan iklim. Letusan Gunung Salamas dan perubahan iklim global yang mengikutinya memicu transformasi budaya dan teknologi di berbagai masyarakat. Adaptasi dan inovasi menjadi kunci untuk bertahan hidup di tengah kondisi yang tidak menentu.

Di beberapa wilayah, LIA menyebabkan kegagalan panen, kelaparan, dan migrasi besar-besaran. Hal ini memicu konflik dan perang antar suku dan bangsa, merebut sumber daya yang semakin langka. Di sisi lain, beberapa wilayah justru mengalami kemakmuran di tengah perubahan iklim.

Kondisi dingin yang stabil di beberapa daerah memungkinkan pengembangan teknologi dan budaya baru, mendorong kemajuan peradaban manusia.

Meskipun LIA telah berakhir, kisah dan dampaknya masih terasa hingga saat ini. Pemahaman tentang peristiwa ini membantu kita memahami bagaimana perubahan iklim dapat memengaruhi masyarakat dan budaya.

LIA merupakan pengingat bahwa manusia memiliki kemampuan untuk beradaptasi dan berkembang di tengah kondisi yang tidak menentu, dan pentingnya menjaga keseimbangan dengan alam untuk menghindari bencana di masa depan.

Baca Juga: Letusan Gunung di Indonesia Disebut Jadi Penentu Nasib Napoleon Bonaparte

Letusan Gunung Salamas di Lombok Menjadi Pemicunya

Zaman Es Kecil, periode pendinginan global yang berlangsung selama beberapa abad, masih menjadi misteri bagi para ilmuwan. Banyak teori diajukan untuk menjelaskan penyebabnya, namun salah satu yang paling kuat mengarah pada letusan Gunung Salamas di Lombok, Indonesia, antara tahun 1257 dan 1258 Masehi.

Letusan Gunung Salamas merupakan salah satu letusan terbesar dalam sejarah modern, memuntahkan abu dan batu panas sejauh 340 kilometer ke Jawa. Aliran piroklastik, longsoran mematikan gas panas dan material vulkanik, mengubur sebagian besar Lombok, termasuk ibu kotanya, Pamatan.

Bencana ini menelan banyak korban jiwa dan mengubah sejarah Lombok selamanya.

Baru-baru ini, para ilmuwan menggunakan teknik arkeologi dan penelitian ilmiah untuk mengkonfirmasi kebenaran kisah letusan Gunung Salamas yang terukir dalam Babad Lombok, naskah daun lontar yang menceritakan sejarah Lombok.

Sebuah penelitian oleh Lavigne et al. (2013) menunjukkan bahwa letusan Gunung Salamas menghasilkan pelepasan belerang vulkanik terbesar ke stratosfer selama 7.000 tahun terakhir.

Analisis inti es dari Arktik dan Antartika, sampel cincin pohon, dan penanggalan radiokarbon di Lombok mengungkapkan bukti lebih lanjut tentang letusan dahsyat ini. Endapan aliran piroklastik ditemukan sejauh 25 kilometer dari gunung berapi, dan pecahan dari letusan terdeteksi di inti es kutub.

Bukti peradaban abad pertengahan yang hilang juga ditemukan di wilayah yang terkena dampak.

Dampak letusan Gunung Salamas melampaui kerusakan fisik. Catatan sejarah menunjukkan bahwa letusan ini memiliki implikasi sosial-ekonomi yang mendalam.

Lavigne et al. (2013) berspekulasi bahwa letusan tersebut mungkin menjadi penyebab Raja Kertanegara dari Jawa tidak menemui perlawanan saat menginvasi Bali pada tahun 1284 M.

Babad Lombok mencatat bahwa letusan Gunung Salamas menghancurkan Pamatan, ibukota Kerajaan Lombok. Kemungkinan besar kota kuno ini terkubur di bawah endapan abu vulkanik di suatu tempat di pulau tersebut.

Penemuan reruntuhan Pamatan dapat memberikan wawasan berharga tentang budaya Indonesia di tahun 1200-an. Namun, dampak letusan Gunung Salamas tidak terbatas pada Asia Tenggara. Abu vulkanik yang dilepaskan ke atmosfer menyebar ke seluruh dunia, mengubah iklim dan suhu global selama beberapa ratus tahun berikutnya.

Banyak yang percaya bahwa letusan ini memicu Zaman Es Kecil, periode pendinginan dan kekeringan yang melanda berbagai wilayah di dunia antara tahun 1200 dan 1830.

Letusan Gunung Salamas merupakan pengingat kekuatan dahsyat alam dan dampaknya yang luas pada manusia dan peradaban. Penelitian ilmiah terus dilakukan untuk mengungkap lebih banyak tentang peristiwa bencana ini dan pengaruhnya terhadap sejarah global.

Meruntuhkan Dinasti Ming

Zaman Es Kecil, periode pendinginan global yang berlangsung antara abad ke-14 dan ke-19, membawa dampak signifikan bagi berbagai belahan dunia. Di Tiongkok, periode ini memicu serangkaian bencana alam, kekacauan sosial, dan ultimately, kejatuhan Dinasti Ming.

Salah satu dampak paling parah dari Zaman Es Kecil di Tiongkok adalah kekeringan dan kelaparan yang melanda antara tahun 1300-an dan 1600-an. Periode kekeringan yang berkepanjangan ini menyebabkan gagal panen dan kelaparan yang meluas, terutama di wilayah Tiongkok utara.

Hal ini memicu krisis kemanusiaan yang parah, dengan jutaan orang meninggal karena kelaparan dan penyakit.

Salah satu contoh paling mencolok dari bencana ini adalah kelaparan dahsyat yang terjadi pada akhir Dinasti Ming (1368-1644). Pada masa pemerintahan Kaisar Wanli (1572-1620), Tiongkok utara dilanda kekeringan parah dan musim dingin yang ekstrem.

Kondisi ini menyebabkan gagal panen dan kelaparan yang meluas, menelan korban jiwa jutaan orang.

Krisis ini diperparah oleh serangkaian kebijakan yang tidak efektif oleh pemerintah Ming. Upaya untuk meringankan penderitaan rakyat melalui bantuan makanan dan pengurangan pajak terbukti tidak memadai.

Hal ini menyebabkan ketidakpuasan publik yang meluas dan pemberontakan, yang selanjutnya melemahkan Dinasti Ming.

Selain kekeringan dan kelaparan, Zaman Es Kecil juga memicu berbagai bencana alam lainnya di Tiongkok, seperti banjir dan badai salju. Bencana-bencana ini semakin memperburuk kondisi kehidupan rakyat dan memperlemah stabilitas Dinasti Ming.

Dampak kumulatif dari perubahan iklim, krisis ekonomi, dan kekacauan sosial akhirnya mengantarkan Dinasti Ming ke jurang kehancuran. Pada tahun 1644, pemberontakan petani yang dipimpin oleh Li Zicheng berhasil merebut ibukota Ming, Beijing, dan memaksa Kaisar Chongzhen bunuh diri.

Kekosongan kekuasaan ini membuka jalan bagi penaklukan Tiongkok oleh Jurchen Manchu, mendirikan Dinasti Qing (1644-1912).

Banyak sejarawan sepakat bahwa Zaman Es Kecil memainkan peran penting dalam kejatuhan Dinasti Ming. Perubahan iklim yang ekstrem memicu serangkaian krisis yang melemahkan kerajaan dan membuatnya rentan terhadap pemberontakan dan penaklukan.

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan artikel terbaru kami di sini