Find Us On Social Media :

Benarkah Dulu Sebagian Daerah Di Jakarta Tempat Jin Buang Anak?

By Moh. Habib Asyhad, Rabu, 19 Juni 2024 | 11:59 WIB

Benarkah Dulu Sebagian Daerah Di Jakarta Tempat Jin Buang Anak?

Menteng, yang kini menjadi perumahan elite, sebelum 1908 adalah tanah partikelir yang di atasnya adalah persawahan yang juga ditumbuhi kelapa. Restu Gunawan dalam Gagalnya Banjir Kanal (2010:54) menyebut kala itu sudah ada perencanaan pembangunan perumahan yang sehat.Perumahan yang sehat itu adalah hunian kelas atas yang digarap oleh NV De Bouwploeg (baca: boplo). Perumahan itu, setelah Indonesia merdeka menjadi hunian para pejabat Republik Indonesia.

Sebelum Daendels memindahkan pusat pemerintahan ke Gambir, dua pasar sudah dibangun oleh Justinus Vinck pada 1735, yakni Pasar Senen dan Pasar Tanah Abang. Dua pasar itu kemudian dihubungkan sebuah jalan yang melalui Kebon Sirih. Jumlah pasar tentu saja terus bertambah dan pasar yang ada di Jakarta umumnya menjadi besar.

Tuan tanah Jakarta tempo dulu

Pada abad ke-19, daerah pinggiran dari pusat kota Batavia adalah daerah-daerah yang sunyi dan biasanya merupakan tanah-tanah partikelir yang dikuasai tuan tanah. Tanah partikelir itu biasanya adalah hutan yang dibuka menjadi perkebunan.

Di atas tanah partikelir biasanya terdapat landhuis yang merupakan rumah dari si tuan tanah. Kampung-kampung kecil para penggarap biasanya ada di atas tanah partikelir itu.

Cornelis Senen asal Banda yang tiba di Jakarta pada 1621 itu dikenal sebagai guru yang sangat berpengaruh di kalangan Kristen Pribumi dan enggan dijadikan pendeta oleh persekutuan pendeta Belanda. Senen juga menjadi kepala Kampung Bandan dan punya banyak tanah. Tak heran dia dikenal sebagai Meester Cornelis Senen.

“Pada pertengahan abad ke-17, Meester Cornelis Senen memiliki tanah yang sangat luas. Bayangkan, tanahnya membentang dari Jatinegara (dekat Ciliwung yang kini jadi langganan banjir) hingga Cakung, ke arah Bekasi,” tulis Alwi Shahab dalam Maria van Engels: Menantu Habib Kwitang (2006:179).

Cornelis Senen, menurut Adolf Heuken (2016:413), di tahun 1656 mendapat hak untuk menebang pohon di tepi Sungai Ciliwung, di selatan kota. Di tahun 1661 dia telah mengelola lahan seluas 5 km, di antara Ciliwung dan Cipinang.

Tanah-tanah itu semula hutan. Ketika hutan dibuka, para pembuka lahan tinggal di dalam sebuah kamp yang dilindungi pagar berduri. Di dekat situ lalu menjadi daerah bernama Bukit Duri.

Daerah yang dibuka karena jasa Meester Cornelis Senen itu, di zaman Hindia Belanda dikenal sebagai Meester Cornelis. Di atasnya pada awal abad ke-20 sudah terdapat pemukiman, pasar, stasiun dan instalasi militer. Setelah Indonesia merdeka, nama Meester Cornelis diganti menjadi Jatinegara sampai hari ini.

Tanah partikelir semakin banyak setelah terjadi perang antar kerajaan di Eropa. Abdul Chaer dalam Tenabang Tempo Doeloe (2017:11) menyebut setelah VOC bubar banyak tanah-tanah di Batavia dan di kota lain dijual kepada orang kaya Arab, Eropa dan Tionghoa.

Cakung, di zaman tuan tanah partikelir berkuasa, juga daerah perkebunan. Buku Regerings Almanak van Nederlandsch Indië voor het Jaar 1867 Volume 40 (1867:228) memuat, Cakung dimiliki oleh Adolph Robertsen serta menjadi daerah penghasil padi dan kelapa.