Find Us On Social Media :

Kenapa 22 Juni Yang Dipilih Sebagai Hari Ulang Tahun Jakarta?

By Moh. Habib Asyhad, Selasa, 18 Juni 2024 | 15:01 WIB

Setiap tahun Jakarta merayakan ulang tahunnya pada bulan Juni, tepatnya tanggal 22. Bagaimana sejarahnya sampai ketemu tanggal 22 Juni 1527 sebagai tetenger hari lahir Kota Jakarta?

Ulang tahun Jakarta dirayakan tiap tahun pada 22 Juni. Bagaimana sejarahnya sampai ketemu tanggal 22 Juni 1527 sebagai tetenger hari lahir Kota Jakarta?

Oleh Yds Agus Surono, tayang di Majalah Intisari edisi Juni 2022

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan artikel terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com - Fakta menarik: peringatan Hari Jadi Jakarta baru diperingati pada 1956. 

Jika melihat hari ulang tahun sebuah kota, kita akan bertanya-tanya, bagaimana menentukan tanggal lahir sebuah kota? Berbeda dengan individu yang ada hitam di atas putih (terutama ketika Indonesia sudah merdeka), sebuah kota agak susah menentukan tanggal kelahiran. Langkah yang umum dilakukan adalah dengan menengok sejarah.

Dalam sebuah makalahnya berjudul "Sekitar Penentuan Hari Jadi Unit Administratif: Sekadar Sumbangan Pemikiran”, sejarawan Taufik Abdullah, menyebutkan ada empat pola dalam tradisi penulisan sejarah untuk menentukan hari jadi kota: pola remembered history, invented history (prefabricated history), recovered history, dan history base agreement.

Pola pertama mendasarkan hari jadi kota pada sifat kesejarahannya. Misalnya hari pendirian keraton, benteng, atau tetenger lain yang bisa dianggap sebagai titik awal dari peranan sebuah kawasan menjadi kota dalam pengertian sosiologis, yaitu sebagai pusat jaringan dari aktivitas sosial bagi wilayah di sekitarnya.

Bertentangan dengan pola pertama ini adalah pola kedua, invented history atau prefabricated history. Pola ini lebih mementingkan makna historis, yang akan dilekatkan pada hari jadi itu. Misalnya, sebuah kota kebetulan tidak memiliki suatu peristiwa sejarah yang sesuai.

Oleh karena itu diambil langkah menggabungkan antara tahun terjadinya peristiwa tertentu (mungkin berdirinya sebuah benteng) sebagai momen, kemudian untuk tanggal dan bulannya diambil dari hari lahir seorang pemimpin yang dikagumi.

Sementara pada pola recovered history, hari jadi diambil dari penanggalan yang terdapat di dalam prasasti. Pola ini banyak ditemui di kota-kota yang terdapat di Pulau Jawa dan sebagian Pulau Sumatera (terutama Palembang) yang memiliki peninggalan prasasti (yang mengandung angka tahun).

Tidak mengherankan bila banyak kota di Jawa yang telah berusia ratusan tahun, meskipun kaitan antara kota-kota itu dengan prasasti tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Yang terakhir, pola history base agreement, sejarah berdasarkan persetujuan. Pola ini mengambil sebuah peristiwa yang terjadi di daerah atau di sekitar daerah perkotaan sebagai hari jadi kota itu.

Dari keempat pola tadi terlihat dengan jelas bahwa ada kebebasan dan keleluasaan di dalam menentukan hari jadi sebuah kota.

“Soalnya, sebuah kota meskipun keberadaannya sebagai kesatuan administratif ditentukan oleh keputusan politik, akan tetapi pada hakikatnya sebuah kota memiliki peran yang lebih dari sekadar kesatuan politik,” tulis Heru Erwantoro, dalam artikelnya “Hari Jadi Kota Jakarta”, yang dimuat di jurnal Patanjala Vol. 1, No. 3, September 2009.

Mari kita lihat dengan kelahiran Jakarta.

Baca Juga: Begini Kondisi Jakarta Di Awal Abad 20, Dari Pecinan Hingga Soal Makan

Tidak mencerminkan jati diri bangsa

Sebelum akhirnya ditetapkan 22 Juni, “Ada empat tanggal yang diusulkan berkaitan dengan hari ulang tahun Jakarta. Dua tanggal pasti, dua lagi tanggal teori,” kata Candrian Attahiyat, arkeolog dan anggota Balai Konservasi Cagar Budaya, Jakarta.

Tanggal pasti pertama, 30 Mei 1619. Tanggal ini merujuk jatuhnya Jayakarta ke tangan VOC. Alkisah, Jayakarta yang dulunya Sunda Kelapa, merupakan sebuah pelabuhan yang menjadi pintu gerbang bangsa asing penjelajah untuk berdagang rempah-rempah.

Ketika Portugis ingin menguasai pelabuhan ini, Kerajaan Demak di bawah pimpinan Sultan Trenggono mengutus Faletehan atau Fatahillah untuk mengusir Portugis.

Setelah Sunda Kelapa dikuasai dan berganti nama menjadi Jayakarta, Fatahillah tidak memimpin Jayakarta secara langsung tetapi diserahkan ke Tubagus Angke. Kemudian, dari Tubagus Angke diserahkan kepada putranya bernama Pangeran Jayakarta Wijayakrama.

Pada waktu orang-orang Belanda datang dan kemudian terbentuk kongsi dagang Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) atau Persekutuan Perusahaan Hindia Timur, mereka mengincar Jayakarta karena letaknya yang strategis di Selat Sunda dan tidak begitu jauh dari Selat Malaka.

VOC sendiri sudah memiliki kantor dagang di Banten tetapi kedudukan Kesultanan Banten pada saat itu masih sangat kuat sehingga VOC menjatuhkan pilihan di Jayakarta atau Jakarta karena letaknya yang dekat dengan muara Sungai Ciliwung.

Dalam perkembangan selanjutnya, Jayakarta di bawah penguasaan Kerajaan Banten justru makin memperlihatkan kemunduran. Berbagai perjanjian dengan Belanda dibuat, termasuk perjanjian antara Pieter Both, Gubernur Jenderal pertama Hindia Belanda (1610 – 1614) dengan Pangeran Jakarta Wijayakrama tahun 1610.

Di kemudian hari, Pangeran Jayakarta murka lantaran Belanda berusaha memasuki bentengnya di kota pelabuhan tersebut. Peperangan antara Banten yang dibantu Inggris terhadap Belanda pun dilakukan terbuka sejak 23 Desember 1618.

Jan Pieterszoon Coen yang merupakan Gubernur Jenderal wilayah VOC berusaha menghimpun kekuatan dan meminta bantuan ke Maluku, sementara di Jayakarta Pieter van den Broecke seorang pedagang kain Belanda yang bertugas di VOC ditangkap pasukan Pangeran Jayakarta.

Baca Juga: Alhamdulillah Tepat di Hari Ulang Tahun Jakarta, Ada BLT PKH Rp750 Ribu Siap Cair Masuk Kantong

JP Coen mengirimkan bala bantuan dari Maluku pada 10 Mei 1619. Tak tanggung-tanggung, ia membawa 16 kapal untuk menyerbu benteng. Berkat persiapan yang matang ditambah sedang adanya kekosongan pimpinan di Jayakarta lantaran ditarik ke Banten, pada 30 Mei 1619 Kota Jayakarta berhasil dikuasai oleh Belanda.

Sejak saat itulah lahir nama Batavia. "Tanggal ini tidak dipilih karena tidak mencerminkan jati diri bangsa," kata Candrian.

Ratu Adil yang tak terpilih

Tanggal pasti kedua adalah 8 Desember 1942. Tanggal ini mengacu ke pengubahan Batavia menjadi daerah istimewa dengan nama Jakarta Tokubetsu Shi bertepatan Hari Perang Asia Timur Raya.

Ada bau Jepang di sini sebab memang begitu Jepang masuk ke Indonesia, semua yang berbau Belanda dimusnahkan dan diganti dengan istilah Indonesia atau Jepang. Tujuannya untuk memperoleh simpati bangsa Indonesia. Jadi secara tidak langsung, kedatangan dan kebijakan Jepang telah memperluas peranan bahasa Indonesia.

Bangsa Jepang sendiri sudah sejak lama tertarik dengan Indonesia. Ketika zaman penjajahan Belanda, para pedagang Jepang sudah mengadakan kontak dagang di Indonesia. Ketika JP Coen membangun Batavia sebagai kota bertembok, orang Jepang termasuk kasta yang tinggal di dalam tembok bersama orang Eropa.

Kegiatan dagang orang Jepang ini sangat membantu ketika tentara Jepang masuk ke Indonesia karena mereka sudah memiliki informasi lengkap tentang Indonesia.

Selain itu, beberapa Radio Tokyo sering menyokong kegiatan kaum pergerakan Indonesia dengan menyiarkan lagu Indonesia Raya. Di sisi lain, kedatangan Jepang di Indonesia bagi kalangan masyarakat Indonesia memperkuat anggapan eskatologis ramalan Jayabaya dalam buku Jangka Jayabaya, yang di antaranya mengungkapkan:

“Suatu ketika akan datang bangsa kulit kuning dari Utara yang akan mengusir bangsa kulit putih. Namun, ia hanya akan memerintah sebentar yakni selama ‘seumur jagung’ (tiga setengah bulan), sebagai Ratu Adil yang kelak akan melepaskan Indonesia dari belenggu penjajahan”

Jakarta kala itu dieja Djakarta, kependekan dari kata Jayakarta. Di masa pendudukan Jepang, nama Jakarta kian populer. Setidaknya di area lapangan Monas saat ini berada, dulu terdapat sebuah lapangan bernama Lapangan Ikada, yang merupakan singkatan dari Ikatan Atletik Djakarta.

Dalam teks proklamasi, tempat perumusan naskah seperti tertera dalam teks adalah: Djakarta. "Namun, tanggal ini juga tidak dipilih,” kata Candrian.

Merujuk pranatamangsa

Bagaimana dengan dua tanggal teori?

Yang pertama 22 Juni 1527, yang kemudian dipilih dan ditetapkan menjadi hari ulang tahun Kota Jakarta saat ini. Disebut teori karena memang tanggal ini tidak menunjukkan kepastian.

Penentuannya berdasarkan perkiraan dari fakta sejarah dan adat istiadat masyarakat saat itu.Yang menentukan tanggal 22 Juni 1527 adalah Prof. Dr. Sukanto, SH. Awalnya ketika pada 1954, Wali Kota Jakarta periode 1953–1960 Sudiro merasa perlu adanya semacam peringatan untuk Ibu Kota. Lantas dia mengajukan permintaan kepada tiga ahli sejarah Indonesia, yakni Prof.Moh. Jamin, SH, wartawan Sudarjo Tjokrosisworo, dan Prof Dr. Sukanto, SH agar bersedia menyelidiki kapan tepatnya Kota Jakarta didirikan.

Dari ketiganya hanya Prof. Sukanto yang menyatakan kesediaannya. Dua lainnya beralasan sibuk. Saat itu Prof. Sukanto menjabat sebagai Kepala Arsip Negara serta Sekretaris Senat Guru Besar Universitas Indonesia (UI) dan Guru Besar dalam mata pelajaran Sejarah Indonesia dan Hukum Adat pada Fakultas Sastra UI.

Sebagai kepala Arsip Negara, Prof. Sukanto punya akses yang memudahkan dalam penyelidikan sehingga akhir 1954 ia sudah menyerahkan manuskrip yang kemudian diterbitkan dalam bentuk buku sejarah Jakarta berjudul Dari Djakarta ke Djajakarta.

Dari buku ini hari lahir Jakarta ditetapkan tanggal 22 Juni 1527.

"Pijakan teori yang diajukan Prof. Sukanto adalah penaklukan Sunda Kelapa oleh pasukan Demak yang berangkat dari Banten. Berangkatnya 15 Desember 1526, sampai di Sunda Kelapa Februari 1527. Tidak dijelaskan apa ada pertempuran saat itu. Baru pada Maret ada pertempuran dengan Portugis. Saat itu Portugis menganggap yang dikuasai Demak ini masih Sunda Kelapa. Mereka sudah memperoleh persetujuan untuk mendirikan benteng,” jelas Candrian.

“Tetapi begitu sampai di Sunda Kalapa ternyata sudah berganti kerajaan. Sudah dikuasai Demak dengan Fatahilah sebagai pimpinannya. Tetapi tidak serta merta Maret itu Sunda Kalapa diganti menjadi Jayakarta. Ada jeda tiga bulan menurut teori Soekanto yang merujuk ke penanggalan Jawa. Yakni ketika masa sesudah panen. Pada masa itu masyarakat pasti bikin acara. Soekanto meyakini bahwa pada masa seperti itu dilakukan pemberian nama Jayakarta."

Secara eksplisit Prof. Soekanto menulis, “Mengingat pula pada apa jang telah diuraikan diatas itu, jakni mangsa kesatu djatuh dalam bulan Djuni (bulan panen atau bulan setelah panen), kita kira kemungkinannja tidak sedikit, bahwa nama Djajakarta diberikan pada tanggal satu mangsa kesatu, jaitu pada bulan Djuni, tanggal 22, tahun 1527. Harinja jang pasti kita tidak dapat menemukannja.

Dikaitkan dengan Maulud Nabi

Tanggal teori satunya lagi diusulkan oleh Prof. Hoesein Djajaningrat. Ia menanggapi pendapat Prof. Soekanto. Menurut Candrian, Prof. Hoesein mengaitkan penggantian nama Sunda Kelapa ke Jayakarta itu dengan perayaan Maulud Nabi pada saat itu.

"Terus dicari pada tanggal berapa? Akhirnya diusulkan 17 Desember 1526,” kata Candrian.

Dalam artikel “Hari Jadi Kota Jakarta”, Heru Erwantoro yang saat itu bekerja di Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung menuliskan bahwa pendapat Prof. Hoesin didasarkan pada sumber-sumber sejarah dari pengarang-pengarang Eropa.

Dijelaskan bahwa armada Portugis di bawah pimpinan Francisco de Sa yang pergi ke Sunda Kalapa berangkat dari Malaka pada tanggal 23 Oktober 1526. Pada bulan Desember 1526 pada waktu perayaan hari Natal di Cochin (India), diperoleh kabar dari Malaka bahwa pemimpin armada itu telah kembali, dan pada penghabisan bulan Desember tersebut pembesar itu telah bertolak ke India.

Berdasarkan hal itu maka jatuhnya Sunda Kalapa terjadi pada bulan Desember 1526. Setelah itu, untuk menentukan harinya, ia mencari hari raya atau hari peringatan Islam yang dekat waktunya dengan jatuhnya Sunda Kalapa pada bulan Desember 1526.

Dia menduga bahwa pada hari raya Islam itu, Faletehan merayakan kemenangannya dengan gembira dan perasaan bersyukur. Adapun Hari Raya Islam yang paling dekat dengan penghabisan bulan Desember 1526 adalah hari Maulid Nabi tanggal 12 Rabiul Awal 933 Hijrah, hari itu jatuh pada hari Senin tanggal 17 Desember 1526.

Yang luput dari perhatian Hoesein Djajadiningrat ialah bahwa pada tahun 1526 itu belum terjadi pertempuran antara pasukan Demak di bawah pimpinan Faletehan dengan armada Portugis. Hoesein Djajadiningrat begitu membaca sumber yang mengatakan bahwa Francisco de Sa berada di India pada bulan Desember 1526, dia lalu berkesimpulan bahwa pertempuran telah terjadi dan telah selesai.

Candrian berpendapat bahwa polemik seputar penetapan hari jadi Kota Jakarta adalah denyut sejarah. Wajar.

“Tetapi yang menyangkal kedua tanggal teori tadi tidak mengusulkan tanggal berapa. Jadi yang membantah itu lebih lemah dari Soekanto dan Hoesin. Sampai sekarang pun tidak ada teori baru yang mengusulkan tanggal berapa,” ujar Candrian.

Pada sidang 23 Februari 1956, Dewan Perwakilan Kota Sementara Djakarta Raja menetapkan tanggal 22 Juni sebagai hari lahir Kota Jakarta. Keputusan itu tercatat dalam registrasi No. 6/D/K/1956. "Ini adalah sebuah keputusan politis," kata Candrian.

Jika merujuk ke empat pola penentuan hari lahir sebuah kota, Jakarta menerapkan pola yang mana?

Dapatkan artikel terupdate dari Intisari-Online.com di Google News