Penulis
Di kalangan pemerhati Cerita Panji terdapat anggapan bahwa muasal Kelana adalah dari luar Jawa, yaitu Makasar, yang dikisahkan sebagai memiliki bala tentara orang-orang Bugis*
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan artikel terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com - Sebenarnya, tidak senantiasa Kelana berasal dari Makasar, sebab ada pula kelana yang berasal dari Ternate, bernama Prabu Geniyara dan Daeng Purbayunus. Ada pula Kelana di Bali bernama Jayengsari. Bahkan, terdapat Kelana dari luar Nusantara, yaitu dari Siam (Thailand), yang bernama Prabu Maesadura.
Tidak pula semua tokoh Kelana berasal dari pulau seberang Jawa dan dari negeri seberang Nusantara, karena terdapat sejumlah Kelana yang berasal dari Jawa, seperti Kalana Sewandana dari Bantarangin (Ponorogo), Kelana Madubrangta (nama samaran Candrakirana), Kelana Wukursari (nama alias Gunungsari), dan Kelana Surawibawa.
Dalam Wayang Topeng Malang terdapat pula kelana lain seperti Kelana Jaka Iman Takliur, yang diidentifikasi dengan Raden Patah dari Demak Bintoro. Kata "iman" (varian iman) pada unsur sebutan tersebut selaras dengan posisi perannya sebagai ulama pada sentra syiar Islam di Demak di era Pertumbuhan Islam (akhir abad XV hingga awal abad XVI M.).
Ada juga Kelana Dewa Rangsang, yang menunjuk pada Sultan Agung, yaitu sultan Mataram era keemasan (golden period), yang aktif melancarkan ekspansi kekuasaan untuk mengintegrasikan Jawa di bawah panji Kesultanan Mataram. Ada juga Kelana Surengpati atau Kelana Bledek Lingga Bawana yang dinisbatkan sebagai Sultan Sampang, sebagai sekutu dari Mataram dalam melanggengkan kekuasaan.
Uniknya, ada terdapat predikat kelana justru diberikan pada pihak VOC, yang aktif lakukan intervensi kekuasaan ke antero tanah Jawa, seperti tokoh Kelana Baron Sakeber. Selain itu, di Yogyakarta terdapat Kelana yang sering tampil dalam suatu tarian pada pesta nikah, yaitu Kelana Gefer atau Kelana Roti.
Adanya sejumlah tokoh Kelana sebagaimana dipaparkan pada alinea terakhir, memberikan gambaran bahwa lingkup Wayang Topeng Malang bukan hanya sebatas pada Cerita Panji yang berlatar kerajaan-kerajaan di Jawa masa Hindu-Buddha, melainkan berlanjut hingga ke masa-masa sesudahnya.
Baca Juga: Dirjen Kebudayaan Berharap Budaya Panji Menjadi Basis Ekspresi-ekspresi Baru Di Asia Tenggara
Paling tidak dari (a) Masa Pertumbuhan Islam, yang ditandai dengan hadirnya Kelana Jaka Iman Takliyur (Raden Patah); (b) Era Kesultanan Mataram, ditandai oleh adanya Kelana Dewa Rangsang (Amangkurat Agung) dan Kelana Surengpati atau Kelana Bledek Lingga Bawana (diidentifikasi sebagai Sultan Sampang); hingga (c) Masa Kolonial (VOC), seperti terlihat pada hadirnya Kelana Baron Sakeber.
Para Kelana tersebut adalah tokoh-tokoh peran dari masa yang lebih modern bila dibanding dengan masa hidup Kelana Jayengsari (Panji), Kelana Madubrangta (samaran Dewi Sekartaji), Kelana Wukirsar (Gunungsari), Kelana Sewandana maupun Kelana Bapang yang memiliki historical backgroundpada era kerajaan Kadiri dan Majapahit.
Apabila ditilik jenis kelaminnya, semua tokoh Kelana berjenis kelamin laki-laki. Jika pun ada perempuan yang menyandang predikat “Kelana”, misalnya Candrakirana (Sekartaji) dengan sebutan Kelana Madubrangta, tapi sejatinya dalam kisah ini dia tengah menyamar sebagai seorang laki-laki.
Sedangkan bila ditilik dari strata sosialnya, keseluruhan Kelana adalah ksatria di berbagai kerajaan, baik kerajaan di Jawa atau di luar(di seberang) Jawa dan bahkan dari negeri seberang Nusantara.
Para Kelana yang berasal dari pulau atau negeri di seberang Jawa, sesuai dengan asalnya, diberi sebutan Pangeran atau Tokoh sabrang. Suatu tarian yang menampilkan sejumlah Tokoh Sabrang dinamai dengan Tari Grebeg Sabrang, yang menjadi varian lain dari Tari Grebeg Jawa.
Sebagaimana unsur sebutannya, secara harafiah kelana artinya perjalanan ke mana-mana atau kembara. Sehingga tergambarlah bahwa para Kelana adalah mereka yang aktif bertindak atas nama dirinya sendiri atau dalam rangka bhakti nagari dalam beragam jenis keperluan. Seperti kepentingan asmara, politik-pemerintahan, perjalanan rohani atau laku batin, menuntut ilmu, mencari jalan kesembuhan (obat), dsb. Dinamika kisah dalam Cerita Panji antara lain terbentuk oleh aktivitas para Kelana ini.
Kelana Sewandana dalam Reyog Ponorogo
Selain sebagai nama tokoh peran pada Cerita-cerita Panji, Kelana juga dijadikan sebutan untuk tarian, yang dinamai Tari Kelana. Para penarinya disebuti Penari Klana, baik yang menyajikan tarian tunggal atau bersama.
Pada umumnya Penari Kelana mengenakan topeng yang perwajahannya ekspresif, yaitu Topeng Klana, Topeng Bapang, Topeng Sabrang, dsb. Salah seorang di antara sejumlah tokoh peran Kelana itu diberi nama Kelana Sewandana, yang hadir dalam seni pertunjukan Wayang Topeng maupun reyog (reog) Ponorogo.
Berikut ini sinopsis kisah Kelana Sewandana dalam Reyog Penorogo, yang masuk dalam varian-varian Cerita Panji.
Dikisahkan bahwa Ki Anjar Lawu mempunyai dua siswa, yaitu Klana Sewandana dan Pujangga Anom. Setamat belajar, lantas keduanya berkelana dari area Gunung Lawu menuju ke daerah Ponorogo. Bahkan akhirnya berhasil mendirikan kerajaan Bantarangin.
Kelana Sewandana menahbiskan diri sebagai raja bergelar (abhisekanama) Sang Prabu Kelana Sewandana. Sedangkan Pujangga Anom diangkat sebagai patih. Senjata sakti Kelana Sewandana berwujud cemeti (pecut), yang diberi nama Pecut Samandiman.
Para prajuritnya berupa : (a) Kolor Sakti (disebut Warok) dan (b) pasukan berkuda (dinamai Jatilan), yakni pasukan bergerak, semacam pasukan kavaleri. Prabu Kelana Sewandana ikut dalam sayembara (swayambhara) untuk mendapatkan putri mahkota Kerajaan Kediri (Panjalu) bernama Dewi Sanggalangit. Pada Cerita Panji, Dewi Anggalangit memiliki nama Sekartaji dan pada Sejarah Jawa mendapat sebutan Candra Kirana.
Untuk bisa mempersuntingnya, para pelamar musti mampu memenuhi tiga syarat yang tak mudah, yaitu : (1) membuat terowongan bawah tanah (istilah kuno arung) hanya dalam tempo semalam; (2) mempersembahkan binatang berkepala dua; serta (3) menciptakan suatu kesenian yang belum pernah terdapat di Jawa, yang kelak dijadikan pengiring pada prosesi nikah.
Syarat yang pertama mampu dipenuhi Kelana Sewandana berkat bantuan dari patih Pujangga Anom yang memiliki aji Welut Putih. Syarat yang ketiga juga mampu dipenuhi dengan mempersembahkan tarian Jatilan yang beranggotakan 144 orang dan para warok (kolor sakti).
Adapun syarat yang kedua dipenuhinya setelah berhasil mengalahkan Raja Singobarong dari Alas Lodaya (eks distrik Lodoyo berada di seberang selatan DAS Brantas Kabupaten Blitar), yang mempunyai binatang berkepala dua, yakni berkepala harimau (dadak) dan merak, yang dalam properti pertunjukan Reyog Ponorogo berupa Dadak Merak.
Dengan keberhasilannya itu, maka Kelana Sewandana berhasil persunting Dewi Sanggalangit.
Kisah tokoh Kelana Sewandana dalam Reyog Ponorogo memiliki pembeda dengan yang dipentaskan dalam Wayang Topeng berlakon Panji. Pertama, dalam lakon Panji terdapat dua Kelana yang menjadi “penghalang” Panji sang putra mahkota Jenggala untuk mendapatkan Dewi Sekartaji dari Kadiri: Kelana Sewandana dan Kelana Bapang.
Pada mulanya Kelana Sewandana sempat menculik Sekartaji. Namun pada akhirnya, kedua tokoh Kelana itu berhasil disingkirkan oleh Panji.
Pembeda lainnya adalah: (a) dalam Reyog Ponorogo, putri mahkota Kadiri bernama Dewi Sangga Langit, sedangkan di dalam wayang topeng dinamai Candrakirana atau Dewi Skartaji, bisa jadi merupakan dua nama berbeda untuk orang yang sama; (b) dalam Reyog Ponorogo Kelana Sewandana berhasil mendapatkan Dewi Sanggalangit setelah memenuhi tiga syarat.
Sedangkan pada Wayang Panji, Kelana Sewandana dan Kelana Bapang berhasil disingkirkan oleh Panji karena menjadi penghalang untuk mendapatkan Dewi Sekartaji. Selain pada pertunjukan Wayang Topeng dan Reyog Ponorogo, Kelana Sewandana dan Kelana Bapang acap tampil sebagai tarian lepas, yang dinamai dengan Tari Klana dan Tari Bapang.
Tari ini memiliki tipe gerak tari besar, seperti lazim pada tari keprajuritan. Hal ini dapat dipahami, karena para Kelana adalah ksatria, pimpinan pasukan, yang pada Reyog Ponorogo prajurit Kelana Sewandana adalah pasukan kavaleri (Jatilan) dan para jawara (warok).
Selain itu, tipe gerak tarinya tegas, dinamik, bahkan sedikit kasar dan akrobatik, selaras dengan karakternya yang demonis. Justru karena karakter tarinya yang demikian, maka banyak diminati penonton.
Begitulah kisah Kelana dalam reyog Ponorogo.
*Artikel ini penggalan dari artikel yang ditulis olehM. Dwi Cahyono, arkeolog dan sejarawan di Malang, untuk Intisari edisi April 2024 berjudul "Jari Diri Tokoh Kelana Dalam Susastra Dan Seni Pertunjukan Berlakon Panji"
Dapatkan artikel terupdate dari Intisari-Online.com di Google News