Penulis
Dalam perjalanannya, reog Ponorogo menghadapi berbagai macam dinamika. Nyaris tamat gegara Gerakan 30 September 1965 hingga diklaim Malaysia.
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan artikel terbaru di sini
---
Intisari-Online.com -Gerakan 30 September 1965 "memangsa" banyak hal yang tak terkait dengannya. Salah satu di antaranya adalah kesenian. Lebih khusus, kesenian reog Ponorogo.
Bagaimana peristiwa berdarah itu punya dampak yang begitu buruk terhadap kesenian yang awalnya disebut sebagai perlawanan terhadap Raja Majapahit terakhir itu?
Berbicara tentang reog, tak mungkin bisa dilepaskan dari Ponorogo. Reog dan Ponorogo laiknya dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Seluruh sendi masyarakat di kabupaten di Jawa Timur bagian selatan itu tak lepas dari reog.
Sendratari reog bisa dikenali dari irama musik pengiringnya yang membangkitkan semangat dan kata-kata liriknya yang berbunyi "hooke". Satu grup reog biasanya terdiri dari seorang warok tua, sejumlah warok muda, penari jathilan, penari Bujangganong, dan Prabu Klono Sewandono.
Menyusul kemudian sebuah karangan berbentuk kepala macan yang mengaum karena "diinjak" seekor burung merak yang sedang mengembangkan sayapnya.
Menutip Harian Kompas yang terbit pada 13 Januari 1972, sebagaimana dikutip dari Kompas.com, reog punya banyak versi asal-usul. Ada yang bilang, reog berawal dari kisahKelana Sewandana, raja di Banter Angin (sekarang Ponorogo) yang ingin mempersunting Putri Kediri Dewi Dyah Ayu Sangga Langit.
Orang yang mendapat tugas untuk meminang putri Kediri itu adalah Bujangganong yang berasal dari Kediri. Agar tak dikenali orang Kediri, dia memakai topeng dengan bentuk rupa yang sangat burung. Singkat cerita, lamaran itu diterima dengan satu syarat yaitu Kelana Sewanadana harus mengalahkan Singa Barong yang ada di Alas Roban.
Syarat itu disanggupi dan sebuah pasukan kuda dikirim ke hutan untuk mencari Singa Barong. Tapi pasukan-pasukan telah dikalahkan, sehingga memaksa Kelana untun turun tangan secara langsung.
Saat merasa tertekan, Kelana membanting sumpingnya (perhiasan di atas telinga) ke tanah dan berubah menjadi dua burung merak. Keindahan burung itu membuat Singa Barong terlena. Kelengahan itu dimanfaatkan Kelana dengan mencambukkan senjatanya yang benama "Pecut Saman".
Singa Barong pun berhasil dikalahkan.
Baca Juga: Ketika Ibu Rumah Tangga Main Reog Ponorogo, Beginilah Jadinya
Ketika pesta perkawinan Kelana Sewandana dengan Dewi Dyah Ayu Sangga Langit diiringi oleh arak-arakan Singa Barong dengan dua merak bertengger di atasnya. Dari sinilah kemudian dikembangkan menjadi permainan reog.
Versi lain, reog yang awalnya disebut barongan adalahsatire (sindiran) dari Demang Ki Ageng Kutu Suryongalam terhadap Raja Majapahit Prabu Brawijaya V (Bhree Kertabumi).
Sindiran itu bagi raja yang sedang berkuasa, tetapi belum melaksanakan tugas-tugas kerajaan secara tertib, adil, dan memadai karena kekuasaan raja dikuasai, dipengaruhi, bahkan dikendalikan oleh permaisurinya.
Masih kuatnya budaya ”rikuh pakewuh” di masyarakat mengakibatkan metode satire atau sindiran digunakan sebagai salah satu cara untuk mengingatkan penguasa atau atasan secara halus.
Kontroversi reog atau reyog
Menurut Harian Kompas terbit 19 April 1999, salah satu sesepuh warok Kasal Gunapati atau Mbah Kamituwo Kucing mengatakan, susunan kata yang tepat sebenarnya reyog. Dia bilang, reyog merupakan singkatan lima huruf yang masing-masing memiliki arti arti sendiri, tapi jika dinyanyikan akan membentuk lagu Pucung.
Huruf pertama "R" lengkapnya berbunyi "rasa kidung" (cita rasa seni); "E" lengkapnya "engwang sukma adiluhung" yakni halus yang telah bebas dari segala kelekatan duniawi; "Y" artinya "yuwang agung kang pirsa" alias Tuhan YME; "O" artinya "olah kridaning pambudi" atau oleh batin, dan "G" berarti "gelar gulung karsane Kang Maha Kuasa" alias melakukan kehendak Tuhan.
"Jadi, pertunjukan reyog itu sekaligus hiburan seni namun juga mengandung nilai-nilai rohani dan religius yang dalam," jelas dia.
Dalam perjalannya, reog mengalami berbagai macam dinamika. Reog disebut pernahdimanfaatkan untuk tujuan propaganda sebelum 1965. Soelastri, dalam artikelnya "Reog Ponorogo, Kesenian Rakyat yang Tetap Jaya" yang dimuat di Harian Kompas, 18 Juni 1995, bahkan menyebut kesenian ini nyaris "tamat" pada 1965.
Pasalnya, ribuan unit reog dibakar akibat isu yang menyebut bahwa kesenian itu digunakan sebagai alat PKI dalam mengumpulkan dan menggerakkan massa.
Setelah 1965, situasi perlahan pulih setelah berdirinya organisasi Insan Takwa Ilahi (Inti) di Ponorogo. Peran para warog pun mulai berubah bukan lagi sekadar pengumpul massa namun juga mulai jadi alat pemerintah untuk soal pembayaran PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) sampai penerangan tentang Keluarga Berencana.
Bahkan, beberapa kali grup kesenian itu berpartisipasi dalam penangkapan penjahat kelas kakap dari luar daerah yang sedang beroperasi di Ponorogo dan sekitarnya. Begitu populernya reog Ponorogo membuat Malaysia berusaha mengklaim kesenian itu.
Sepanjang 2007-2012 saja Negeri Jiran itu tujuh kali mengklaimnya.
Diklaim Malaysia sejak 2006
Beberapa tahun yang lalu, Malaysia mengajukan reog Ponorogokepada UNESCO sebagai warisan budaya tak benda. Soal klaim itu, H Ahmad Tobroni Torejo, salah satu sesepuh tokoh reog Ponorogo, pernah buka suara.
"Reog Ponorogo itu sudah lahir sejak ratusan tahun lalu. Saya sudah tahu sejak kecil dari mbah buyut hingga mbah canggah saya. Bahkan sebelum tahun 1.496 sudah ada Reog Ponorogo. Kalau sekarang diakui oleh negara lain (Malaysia) mereka berdasarkan cerita apa,” ujar Mbah Tobroni, biasa Ahmad Tobroni Torejo disapa, saat dihubungi Kompas.com, Senin (11/4/2022).
Menurut Tobroni,aksi klaim Malaysia terhadap seni Reog sudah terjadi sejak tahun 2006. Namun, Tobroni menyebut, saat ditanya alasan mengklaim Reog sebagai budayanya, Malaysia selalu tidak bisa menjawab.
"Malaysia sudah pernah klaim Reog sebagai budaya mereka itu sejak tahun 2006. Pertanyaannya dasarnya apa mereka mengklaim memiliki budaya itu. Ceritanya dari mana dan versinya seperti apa. Tetapi mereka tidak bisa menjawab,” tutur Tobroni.
Dia bilang, seni Reog dikenal di Malaysia setelah banyaknya warga Kabupaten Ponorogo yang merantu bekerja ke Negeri Jiran. Para tenaga kerja asal Kabupaten Ponorogo memainkan seni Reog di Malaysia sebagai pengobat rindu kepada keluarga dan menghilangkan kebosonan usai bekerja.
“Seni Reog dikenalkan di Malaysia sejak warga Ponorogo bekerja sebagai tenaga kerja di sana. Untuk menghilangkan rasa kebosanan dan mengobat kerinduan keluarga mereka memainkan Reog,” jelas Tobroni.
Masih menurut Tobroni, Malaysia mengklaim seni Reog lantaran mengetahui Reog Ponorogo tak menjadi prioritas utama dalam usulan ke UNESCO. Hal ini terbukti karena pemerintah lebih mengutamakan jamu untuk diusulkan sebagai wisata budaya tak benda ke UNESCO.
“Kalau saya itu terjadi karena Reog Ponorogo dikalahkan sama jamu kemudian akhirnya Malaysia mengklaim,” kata Tobroni.
Menurut dugaan Tobroni, tidak diprioritaskannya Reog Ponorogo ke UNESCO lantaran banyaknya kepentingan. Terlebih, jamu terkait dengan perdagangan yang hanya akan membesarkan perusahaan.
“Sekarang kepentignan orang itu maccm-macam. Bukan kebesaran seni yang adiluhung dan ditorehkan di UNESCO bahwa Reog itu adalah tinggalan budaya Ponorogo. Karena jamu itu perdagangan sementara Reog itu budaya. Kalau jamu tidak bisa menarik wisatawan tetapi hanya membesarkan perusahaan,” jelas Tobroni.
Menurut Tobroni, dampak Reog akan lebih besar bila diakui sebagai warisan budaya tak benda oleh UNESCO ketimbang jamu. Pasalnya, dari budaya akan muncul aspek ekonomi berupa pertunjukkan atau tontonan yang dihadiri banyak orang seperti pertunjukan seni di Bali.
“Jadi lebih banyak mana hasil dari jamu dan hasil dari pariwisata. Pasti banyak dari pariwisata,” kata Tobroni.
Dapatkan artikel terupdate dari Intisari-Online.com di Google News