Find Us On Social Media :

Selama Berkuasa Di Indonesia, Belanda Pernah Berikan 471 Konsesi Dan Izin Tambang Kepada Swasta

By Moh. Habib Asyhad, Rabu, 5 Juni 2024 | 15:17 WIB

Sejatinya, bagaimana sih sejarah regulasi pertambangan di Indonesia, khususnya pada zaman pemerintah kolonial Hindia Belanda?

Sejatinya, bagaimana sejarah regulasi pertambangan di Indonesia, khususnya pada zaman pemerintah kolonial Hindia Belanda?

Intisari-Online.com - Pertambangan di Indonesia bak pisau bermata dua. Bagaimana tidak, di satu sisi ini adalah berkah bagi negara kita. Di sisi lain, ini bisa menjadi bencana, bisa menjadi ajang bancaan elite-elite korup yang tak bertanggung jawab.

Terkait pertambangan di Indonesia, pemerintah baru saja memberi konsesi pertambangan kepada ormas-ormas agama. Menteri Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia bahkan sudah menyiapkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk salah satu ormas keagamaan.

Sejatinya, bagaimana sih sejarah regulasi pertambangan di Indonesia, khususnya pada zaman pemerintah kolonial Hindia Belanda?

Menurut Kompas.ID dalam artikelnya berjudul "Jejak Sejarah dan Perkembangan Regulasi Pertambangan di Indonesia", tambang dan izin pertambangan sudah dikenal sejak zaman Majapahit. Ketika itu, penguasa Majapahit, Raja Hayam Wuruk memerintahkan Adityawarman, raja Kerajaan Melayu, untuk menguasai Sungai Batanghari di Jambi.

Saat itu, Kerajaan Melayu adalah vasal atau negara bawahan Majapahit.

Tujuan menguasai Sungai Batanghari, tak lain dan tak bukan, adalah untuk menguasai pertambangan emas. Sejak dulu, Sumatera memang terkenal dengan kekayaan emasnya. Bahkan ketika rempah-rempah yang ada di Indonesia bagian timur meredup, emas Sumatera tetap berjaya.

Dan Sumatera tak hanya punya emas. Pulau yang dilintasi Bukit Barisan itu juga kaya akan minyak bumi, gas bumi, batu bara, juga timah. Di zaman dahulu, emas digunakan sebagai alat tukar juga sebagai bahan baku pembuatan senjata, seperti keris, arca, patung-patung, dan benda pusaka lainnya.

Perburuan emas juga terus berlanjut saat bangsa kulit putih datang ke Nusantara. Belanda, misalnya, dalam setiap penjelajahannya dan penjajahannya, selalu menyertakan ahli-ahli geografi dan geologi. Salah satu yang terkenal adalah ilmuwan F.W. Junghuhn, yang merupakan bagian dari kelompok peneliti Royal Dutch Geographical Society.

Apa yang dihasilkan ilmuwan Junghuhn? Selama bertugas dan meneliti di Pulau Jawa pada 1835 hingga 1848 dan 1855 hingga 1864, dia melaporkan kondisi topografi, geografi, geologi, serta struktur batuan yang ada di pulau paling padat di Indonesia itu.

Dari para peneliti ini jugalah Belanda bisa membuat peta tambang di Hindia Belanda.

Baca Juga: Sekarang Freeport Dulu Cikotok, Inilah Sejarah Tambang Emas Pertama Di Indonesia

Masih dari sumber yang sama, era tambang modern di Indonesia dimulai pada 1602. Saat itu Belanda masih diwakili oleh VOC, kongsi dagang yang sejak pendiriannya sudah dibekali hak-hak istimewa meskipun pada akhirnya bangkrut karena ulah korup pejabatnya. 

Setelah VOC bubar, kekuasaan di Hindia Belanda diambil sepenuhnya oleh pemerintah kolonial. Ada beberapa perubahan yang dilakukan oleh rezim baru ini, di antaranya adalah urusan pertambangan. Di era ini, pemerintah mulai melibatkan pihak swasta.

Pada 1850, pemerintah Hindia Belanda membentuk Dinas Pertambabgan Dienst van het Mijnwezen yang lokasinya di Batavia. Dinas ini ditujukan untuk mempermudah keterlibatan pihak swasta, juga untuk lebih mengoptimalkan penelitian geologi. Dinas ini juga digunakan untuk membuat dunia pertambangan semakin terarah.

Di tahun yang sama berlaku aturan pertambangan pertama bernama Mijn Reglement 1850. Dalam aturan ini, pemerintah berwenang memberikan hak atau konsesi penambangan untuk pihak swasta (warga negara Belanda)--meskipun masih terbatas.

Seiring berjalannya waktu, pemerintahan Hindia Belanda kemudian membentuk Nederlandsche Indische Ardalie Maatschappij (NIAM) pada 1930-an. Ini adalah perusahaan patungan antara Pemerintah dengan perusahaan minyak asal Belanda, BPM atau Bataafsche Petroleum Maatschappij, dengan pembagian keuntungan 50-50.

Sebelumnya, pemerintah Belanda pada 1899 menerbitkan Indische Mijnwet Staatsblad Tahun 1899 Nomor 214. Cikal bakal regulasi ini adalah Undang-undang Pertambangan tahun 1810 yang menggantikan Undang-Undang Pertambangan 1791 di Kota Limburg.

Indische Mijnwet 1899 mengatur secara khusus masalah perizinan publik di bidang pertambangan, termasuk penggolongan bahan galian dan perizinan yang bersifat konsesi. Dengan aturan itu, akses eksplorasi tambang hanya dapat dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda semata.

Sementara pemberian konsesi kepada swasta dapat dilakukan untuk jangka waktu hingga 75 tahun.

Pemberian konsesi itu diatur dalam Pasal 35 Indische Mijnwet Stb. 1899 Nomor 214. Di situ disebutkan, manajemen pengusahaan dan pemilik hasil produksi bahan galian atau mineral sepenuhnya berada di tangan pihak pemegang konsesi pertambangan, dan Pemerintah Kolonial hanya menerima bersih iuran pertambangan sebesar 0,25 Gulden per hektar setiap tahunnya serta (pembagian hasil) 46 persen dari hasil kotor.

Selain itu, pemegang hak konsesi juga diharuskan membayar sewa tanah kepada pemerintah kolonial. Sementara mineral, minyak, dan gas yang dihasilkan dari areal konsesi menjadi milik pemegang konsesi.

Setelah Indische Mijnwet Stb. 1899 Nomor 214, Belanda menetapkan sejumlah aturan lain terkait pertambangan. Beberapa di antaranya Mijn Ordonnantie 1907 yang mengatur tentang pengawasan keselamatan kerja dan Mijn Ordonnantie 1930 yang mencabut aturan sebelumnya (Mijn Ordonnantie 1907) dan menghapus ketentuan pengawasan kerja.

Pada perubahannya di 1904, Indische Mijnwet menetapkan hanya warga negara Belanda, penduduk Hindia Belanda, atau perusahaan yang didirikan berdasarkan hukum Belanda atau Hindia Belanda yang berhak diberikan konsesi. Pada perubahan di 1918, Indische Mijnwet memungkinkan kepentingan asing non-Belanda untuk mendapatkan hak konsesi, tetapi hanya untuk jangka waktu hingga 40 tahun.

Selama penerapan Indische Mijnwet, pemerintah Hindia Belanda telah mengeluarkan 471 konsesi dan izin. Tercatat 268 di antaranya merupakan konsesi pertambangan untuk mineral/bahan galian yang tercantum dalam Indische Mijnwet.

Kemudian tiga perusahaan pertambangan milik pemerintah Hindia Belanda, dua usaha pertambangan patungan antara pemerintah dan swasta, serta dua usaha pertambangan oleh swasta untuk pemerintah dengan perjanjian khusus. Lalu 14 kontrak eksplorasi dan 34 kontrak eksploitasi, serta 142 izin pertambangan mineral/bahan galian yang tidak tercantum dalam Indische Mijnwet.

Dapatkan artikel terupdate dari Intisari-Online.com di Google News