Find Us On Social Media :

Ini Alasan Mengapa Ternate Dan Tidore Disebut Sebagai Titik Nol Jalur Rempah

By Moh. Habib Asyhad, Senin, 13 Mei 2024 | 21:17 WIB

Ini alasan mengapa Ternate dan Tidore disebut sebagai titik nol jalur rempah.

Intisari-Online.com - Tak hanya dikenal sebagia penghasil rempah-rempah unggulan, Ternate juga Tidore disebut juga sebagai titik nol jalur rempah.

Ini alasan mengapa Ternate dan Tidore disebut sebagai titik nol jalur rempah.

Ternate dikenal sebagai penghasil rempah-rempah, dalam hal ini cengkih, sejak abad ke-13 dan ke-14.

Ketika itu Ternate di bawah pimpinan Kolano Sida Arif Malano (1317-1331), sebelum masuknya pengaruh Islam.

Saat itu Ternate mulai membuka diri sebagai bandar utama perdagangan di wilayah Maluku.

Para pedagang dari mancanegara dan kawasan lain di Nusantara kemudian mulai berdatangan ke tanah Ternate, seperti pedagang-pedagang Cina, Arab, dan Gujarat, hingga Jawa, Maluku, dan Makassar.

Kondisi itu kemudian dimanfaatkan oleh Kolano Sida Arif Malamo.

Dia merespon dengan mendirikan pasar untuk mempertemukan para pedagang asing dan Nusantara.

Pada abad ke-15, di bawah kepemimpinan Sultan Bayunnulah, sultan Ternate kedua, eksistensi Ternate sebagai pulau penghasil rempah juga ditandai dengan kedatangan bangsa Portugis, dengan tujuan utamanya, yaitu untuk mencari rempah cengkeh.

Untuk mendapatkan cengkeh di Ternate, para pedagang dari Banda acapkali bersaing dengan orang-orang Portugis, meski persaingan sering kali dimenangkan oleh pedagang Banda.

Portugis kemudian berhenti mencari cengkeh dari Ternate dan mengalihkan pembeliannya ke Tidore yang awalnya berada di bawah pengaruh Spanyol.

Melalui rempah cengkeh, Ternate menjadi jalur perdagangan rempah terpenting di Nusantara bagian timur kala itu.

Hingga kini, jejak-jejak perdagangan di masa lampau masih bisa ditemui melalui situs-situs pertahanan, seperti Benteng Oranje, Masjid Sultan Ternate, dan Benteng Kalamata.

Beberapa bangunan tua peninggalan sejarah tersebut pun masih dirawat dan telah ditetapkan sebagai cagar budaya oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Ternate dan Tidore surga rempah-rempah

Kerajaan Ternate dan Tidora merupakan dua kerajaan besar yang terletak di Kepulauan Halmahera Maluku Utara.

Letak kedua kerajaan berada di Kepulauan Maluku merupakan menjadi sumber atau penghasil rempah-rempah Nusantara dan dunia.

Sumber rempah-rempah tersebut mendorong bangsa-bangsa Eropa untuk menguasai.

Kerajaan Ternate dan Tidore memiliki peran yang menonjol dalam menghadapi kekuatan-kekuatan asing yang mencoba menguasai Malaku.

Kerajaan Ternate atau dikenal Kerajaan Gapi dan Kerajaan Tidore berdiri pada abad ke-14.

Dalam buku Mengenal Kerajaan-Kerajaan Nusantara (2009) karya Deni Prasetyo, Kerajaan Ternate dan Tidore sangat terkenal dengan hasil rempah-rempahnya, seperti pala, lada, cengkeh dan sejenisnya.

Pada masa itu, rempah-rempah umumnya diperlukan bangsa-bangsa Eropa.

Sehingga harganya cukup tinggi dan telah membuat makmur rakyat Maluku.

Pada pertengahan abad ke-15, kegiatan perdagangan rempah-rempah di Maluku semakin berkembang.

Banyak sekali pedagang Jawa, Melayu, Arab, dan China yang datang ke Maluku untuk membeli rempah-rempah.

Kedatangan mereka sebaliknya membawa beras, tenunan, perak, gading, dan barang-barang lainnya.

Kerajaan-kerajaan di Maluku sangat akrab menjalin hubungan ekonomi dengan pedagang Jawa.

Bahkan pedagang Maluku sering berkunjung ke Jawa dan sebaliknya pedagang Jawa sering datang ke Maluku untuk membeli rempah-rempah.

Hubungan tersebut berpengaruh terhadap proses penyebaran Islam di Kerajaan Ternate dan Tidore.

Agama Islam pertama kali masuk di kepulauan Maluku dibawa oleh pedagang-pedagang dari Malaka dan para mubaligh dari pulau Jawa.

Raja Ternate yang pertama kali menganut Islam adalah Zainal Abidin (1465-1486) yang berganti nama menjadi Sultan Marhum.

Sementara Raja Tidore yang pertama kali masuk Islam adalah Ciriliyah yang kemudian berganti nama menjadi Sultan Jamaludin.

Kerajaan Ternate dan Tidore awalnya hidup berdampingan secara damai.

Ketika Kerajaan Ternate di bawah kekuasaan Sultan Ben Acorala dan Tidore di bawah kekuasaan Sultan Almancor menjadi kerajaan yang makmur dan kuat.

Mereka memiliki puluhan perahu yang digunakan untuk berperang dan mengawasi lautan yang menjadi wilayah dagangnya.

Perkembangan dan kemajuan kerajaan tersebut membuat perebutan pengaruh dan kekuasaan kedua wilayah.

Sehingga keduanya membentuk dua buah persekutuan yang bernama Uli Lima (persekutuan lima saudara) dan Uli Siwa (persekutuan sembilan saudara).

Uli Lima dipimpin oleh Kerajaan Ternate dengan membawahi Ambon, Bacan, Obi, dan Seram.

Sementara Uli Siwa dipimpin Kerajaan Tidora dengan membawahi Makean, Halmahera, Kai dan pulau-pulau lain hingga ke Papua bagian Barat.

Kedua persekutuan tersebut saling berselisih untuk menguasai perdagangan rempah-rempah.

Perselisihan Kerajaan Ternate dan Tidore semakin panas dengan kedatangan bangsa-bangsa Eropa.

Portugis merupakan negara Eropa pertama yang masuk ke Maluku pada 1512.

Portugis menjadikan Kerajaan Ternate sebagai sekutu dan membangun benteng Sao Paulo.

Spanyol datang ke Maluku pada 1521 dan menjadikan Kerajaan Tidore menjadinya sekutunya.

Kedatangan mereka ke Maluku ingin menguasai dan memonopoli perdagangan rempah rempah di Maluku.

Adanya perselisihan atau konflik yang terjadi ada dua kerajaan mampu dimanfaatkan.

Mereka mampu mengadu domba Kerajaan Ternate dan Tidore yang sedang berselisih.

Mereka bahkan ikut campur dalam pemerintahan dalam negeri.

Tidak hanya itu, kedua negara Eropa tersebut juga menyebarkan agama Katolik.

Persaingan antara Spanyol dan Portugis untuk mengusai Maluku mendorong dua bangsa ini untuk menyelesaikan konflik.

Untuk menyelesaikannya konflik yang terjadi diadakan perjanjian Saragosa pada 1529.

Hasil dari perjanjian teperjanjian tersebut adalah Spanyol harus meninggalkan Maluku dan akhirnya menguasai Filipina.

Sementara Portugis tetap melakukan perdagangan di Maluku.

Portugis yang ingin memonopoli perdagangan rempah-rempah ditentang oleh Kerajaan Ternate yang dipimpin Sultan Hairun (1550-1570).

Sultan Hairun yang diundang oleh Portugis untuk berdamai malah ditangkap sesampainya di benteng yang kemudian dibunuh.

Kondisi itu membuat kemarahan Sultan Baabullah, putra Sultan Hairun dan menimbulkan perlawanan.

Pada 1575, Sultan Baabullah mampu mengalahkan dan mengusir Portugis dari Ternate.

Portugis kemudian pindah ke Ambon tapi tidak lama. Karena diserang oleh Kerajaan Tidore.

Akhirnya Portugis pindah ke Timor Timur (Timor Leste).

Berakhirnya kekuasaan Portugis di Maluku membuat dua kerajaan mencapai puncak kejayaannya.

Kerajaan Ternate mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Sultan Baabulah.

Sementara Kerajaan Tidore pada masa Sultan Nuku. Namun kedua kerajaan tersebut masih terlibat perselisihan. Kondisi itu mampu dimanfaatkan oleh Belanda yang masuk pada 1605.

Itulah alasan mengapa Ternate dan Tidore disebut sebagai titik nol jalur rempah, semoga bermanfaat.

Dapatkan artikel terupdate dari Intisari-Online.com di Google News