Penulis
Intisari-Online.com -Ada begitu banyak ragam eksploitasi yang terjadi belakangan ini.
Eksploitasi kali ini menimpa sekitar 1.074 mahasiswa dari 33 universitas di Indonesia yang diduga menjadi korban modus magang di Jerman.
Dugaan eksploitasi ini terjadi pada Oktober hingga Desember 2023 lalu.
Saat ini pihak berwajib tengahmendalami dan memeriksa sejumlah pihak terkait kasus dugaan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) berkedok Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) ini.
"Polri akan meminta keterangan dan kami bekerja sama dengan semua pihak terkait termasuk Kemendikbud," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri Brigjen Pol. Trunoyudo Wisnu Andiko di Jakarta, dilansir Antara, Jumat (22/3/2024).
Kronologi
Trunoyudo membeberkan, kasus TPPO berkedok program magang di Jerman ini terungkap setelah empat mahasiswa yang sedang mengikuti ferienjob (kerja paruh waktu untuk mahasiswa) mendatangi KBRI Jerman.
Setelah ditelusuri KBRI, program ini dijalankan sebanyak 33 Universitas di Indonesia dengan total mahasiswa yang diberangkatkan sebanyak 1.047 mahasiswa.
"Namun mahasiswa tersebut dipekerjakan secara non-prosedural sehingga mahasiswa tersebut tereksploitasi," kata Trunoyudo.
Awalnya para mahasiswa mendapatkan sosialisasi dari PT CVGEN dan PT SHB terkait program magang di Jerman.
Ketika mendaftar mahasiswa diminta membayar biaya sebesar Rp150 ribu ke rekening PT CVGEN.
Mereka juga diminta untuk membayar sebesar 150 Euro (sekitar Rp2,5 juta) untuk pembuatan letter of acceptance (LOA) kepada PT SHB.
Setelah LOA terbit korban harus membayar sebesar 200 Euro (sekitar Rp 3,4 juta) lagi kepada PT SHB untuk pembuatan approval otoritas Jerman atau working permit.
Mahasiswa juga dibebankan dana talangan sebesar Rp30-50 juta di mana pengembalian dana tersebut dengan cara pemotongan upah kerja tiap bulan.
Selain itu, setelah mahasiswa sampai di Jerman langsung di sodorkan surat kontrak kerja oleh PT SHB dan working permit (izin kerja) untuk didaftarkan ke Kementerian Tenaga Kerja Jerman.
Mahasiswa yang menjadi korban melaksanakan ferienJob dalam kurun waktu selama tiga bulan dari bulan Oktober hingga Desember 2023.
Trunoyudo menyebutkan, PT SHB telah menjalin kerja sama dengan puluhan kampus yang dituangkan lewat MoU.
Bentuk kerja sama tersebut memuat pernyataan bahwa ferienjob masuk ke program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM).
Pihak operator juga menjanjikan program magang di Jerman bisa dikonversikan ke 20 SKS di bangku kuliah.
“Program tersebut pernah diajukan ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbudristek). Namun ditolak karena kalender akademik di Indonesia berbeda dengan di Jerman,” kata dia.
Mekanisme program pemagangan dari luar negeri yaitu melalui usulan KBRI atau kedubes negara terkait.
Penyidik dari Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri sudah menetapkan lima orang tersangka, yakni ER alias EW; A alias AE, SS, AJ dan MJ.
Dua dari lima tersangka masih berada di Jerman.
Sedangkan seluruh korban sudah berada di Indonesia.
"Saat ini seluruh korban telah berada di Indonesia karena kontrak program magang telah habis pada Desember 2023 kemarin," kata Trunoyudo.
Pengakuan korban
Mereka yang menjadi korban eksploitasi berkedok magang di Jerman ini pun mulai angkat bicara.
Salah satu korban eksploitas itu adalah Nita (nama disamarkan).
Nita mengungkapkan pengalamannya kepada BBC News Indonesia pada Jumat (22/3) kemarin, sebagaimana dilansir Kompas.com.
Kira-kira begini ilustrasinya:
Bayangkan Anda seorang mahasiswa yang baru tiba di sebuah negara di Eropa Barat untuk program magang.
Di benak Anda terbayang untuk mendapat pengalaman baru sekaligus belajar.
Tiba-tiba saja pintu flat Anda diketuk jelang tengah malam oleh seseorang yang menyodorkan kontrak kerja dalam bahasa asing –bukan bahasa Inggris– yang Anda sendiri tidak fasih.
Anda diminta tanda tangan malam itu juga dan esoknya, pada pukul 04.00 pagi, Anda harus bangun demi mengejar bus perusahaan untuk bekerja di pabrik.
Ingat, dalam konteks ini, Anda adalah anak muda yang diterima magang di luar negeri.
Nita merupakan satu dari 1.047 mahasiswa korban kasus dugaan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dengan modus pengiriman program magang mahasiswa ke negara Jerman melalui program Ferienjob.
Ada 33 universitas di Indonesia yang tergabung dalam program yang disosialisasikan oleh PT CVGEN dan PT SHB.
Kasus ini terungkap setelah adaempat mahasiswa yang tengah mengikuti Ferienjob mendatangi KBRI di Jerman.
Nita pergi ke salah satu kota di Jerman pada awal Oktober 2023 untuk mengikuti program Ferienjob.
Saat itu yang ada di benaknya adalah selain ikut program magang, dia juga bisa “jalan-jalan di luar negeri”.
“Waktu itu dipromosiin working and holiday (bekerja dan berlibur),” tuturnya kepada juranlis Amahl Azwar yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Nita mengaku percaya kegiatan Ferienjob karena ada testimoni dari tahun-tahun sebelumnya.
Nita dan teman-temannya diminta membayar Rp150.000 untuk pendaftaran.
Setelah itu mereka harus membayar lagi untuk biaya pembuatan paspor, izin kerja, dan keperluan visa.
Total jenderal, biaya awal yang harus dibayarkan Nita dan rekan-rekannya adalah 550 euro (sekitar Rp 9,4 juta) termasuk untuk urusan ZAV (kantor bursa pekerjaan spesialis Jerman) dan biaya ketibaan di Jerman.
Tapi sayang, begitu sampai di Jerman, Nita dan teman-temannya kecewa karena haknya sebagai mahasiswa tidak terpenuhi.
Menurutnya, apa yang ia alami dan kerjakan di sana tidak sesuai dengan janji di awal.
Awalnya, Nita dan rekan-rekannya dijanjikan magang di Bandara Munich, tapi ternyata begitu sampai di Jerman, program magang di bandara itu tidak ada di daftar magang Ferienjob.
Mereka pun dipindahkan ke situs kerja lain, lebih tepatnya ke sebuah pabrik.
"Itu punkami enggak langsung dikasih kerja. Kami harus menunggu dulu sekitar enam sampai tujuh hari," katanya.
Nita bercerita beberapa rekannya diminta bekerja di konstruksi pekerjaan meski mereka perempuan dan sebagian lain magang di jasa ekspedisi dan harus mengangkat barang-barang sebesar 30 kilogram.
Hal serupa dialami Ambar (juga bukan nama sebenarnya), 21 tahun, mahasiswi salah satu perguruan tinggi di Sumatra.
Ambar tiba di salah satu kota di Jerman pada 2 Oktober 2023 saat tengah malam dan langsung ‘ditodong’ dengan tanda tangan kontrak.
Kondisi baru sampai dan larut malam, membuat Ambar dan rekan-rekannya tidak bisa membaca kontrak dengan seksama.
“(Selain itu) kontrak terkadang hanya tersedia dalam Bahasa Jerman, dan kami tidak diberikan waktu untuk menerjemahkannya ke dalam Bahasa Indonesia atau Inggris,” tuturnya.
Ambar mengatakan agensi menjanjikan dia dan teman-temannya “bekerja dan belajar” di Jerman.
Namun, kenyataannya mereka mendapat pekerjaan yang memakan kekuatan fisik yang cukup berat.
“Jenis pekerjaannya pun sama sekali tidak linear dengan jurusan yang kami tempuh,” akunya.
Ambar mengatakan, dirinya dan teman-temannya bekerja selama 10 jam tiap hari dan itu belum termasuk perjalanan mereka dari apartemen ke perusahaan yang memakan waktu dua jam bolak-balik.
“Jadi sehari kami bisa menghabiskan waktu 12 jam hanya untuk bekerja,” lanjutnya.
Pekerjaan fisik yang berat juga suhu musim dingin di Jerman membuat banyak dari teman-teman Ambar gampang sakit, tetapi beberapa dari mereka tidak diperbolehkan cuti saat sakit.
Apartemen tempat Ambar tinggal selama di Jerman pun diisi oleh 20 orang yang dipatok dengan harga mahal dengan fasilitas yang tidak memadai.
Bagi Nita, pengalamannya di Jerman itu tidak sepadan dengan raihan akademiknya begitu kembali ke Indonesia.
Sesampainya di Indonesia, dia dan teman-temannya ternyata masih harus ikut ujian tengah semester (UTS) dan ujian akhir semester (UAS) susulan.
“Aku enggak lulus dua mata kuliah. Jadi harus mengulang,” ujarnya.
Padahal, pihak kampus sebelumnya meminta Nita dan rekan-rekannya untuk cukup fokus berkegiatan di Jerman dan masalah konversi nilai bisa dibicarakan nanti.
“Kami mahasiswa sudah lelah mau tuntut ini-itu,” ujarnya.
Ambar dan Nita sama-sama enggan menyebut nama universitas ataupun nama kota di Jerman tempat mereka tinggal dan magang.
Menurut Ambar, tempat kota dirinya dan rekan-rekan magang sangat spesifik sehingga membuatnya akan mudah dilacak.
Salah satu yang menjadi persoalan para korban mahasiswa ini adalah soal dana talangan.
Menurut Nita, dana talangan mencapai Rp 37 juta termasuk biaya awal dan tiket pulang-pergi.
Dia mengatakan pemasukannya selama kerja di Jerman bahkan tidak bisa menutup biaya ini.
“Padahal sosialisasi dari pihak penyelenggara, gaji itu bisa menutup dana talangan. Saya pribadi dan teman-teman saya belum bayar (dana talangan) tapi pihak kampus menyuruh kami untuk segera membayar,” ujarnya.
Nita juga mengecek kabar dari rekan-rekannya di kampus lain – cerita mereka bervariasi.
“Aku enggak bakal nyebut kampus apa, tapi ada kampus yang bilang kalau mahasiswanya tidak membayar dana talang, mahasiswanya enggak boleh masuk kuliah. Tapi ada juga kampus yang menahan mahasiswanya untuk jangan membayar sebelum kasus ini selesai,” ujarnya.
Sementara Ambar belakangan mengetahui gaji bersih yang diterimanya yakni sekitar 600-700 euro (sekitar Rp 11,9 juta) per bulan adalah jauh di bawah gaji kotornya yaitu 2.000 euro (sekitar Rp 34,2 juta).
Ambar mengatakan, uangnya akan habis jika harus membayar dana talangan yakni Rp 24 juta.
“Saya pribadi masih simpan uangnya kalau-kalau nanti ditagih sama agen. Karena sampai saat ini pihak agensinya tidak kasih kejelasan info, bahkan ada yang tanya pun gak ada respon,” ujarnya.
Bagi Ambar, meskipun punya kesan tersendiri terkait kunjungannya ke Jerman, secara keseluruhan dia tetap merasa dirugikan.
Terutama soal gaji.
Dia bilang, gaji yang dia dapatkan ternyata tak transparan sementara harga sewa apartemen sangat mahal.
Dia bilang, harganya dua kali lipat dari harga normal.
Hal lainnya, dia merasa dirugikan karena dipaksa bekerja kasar dan tidak sesuai dengan jurusannya kuliah.
Ke depan, baik Ambar maupun Nita sama-sama berpesan supaya mahasiswa hanya mengikuti kegiatan yang diadakan olehKemendikbud Ristek seperti MBKM.
"Harus sering cari info-info yang valid jika ingin mengikuti kegiatan seperti ini," tutup Ambar.