Find Us On Social Media :

Mengapa Kita Harus Meneladani Nilai-nilai yang Ada Pada Sejarah Bani Umayyah Di Damaskus?

By Moh. Habib Asyhad, Rabu, 6 Maret 2024 | 16:17 WIB

Mengapa kita harus meneladan nilai-nilai yang ada pada sejarah Bani Umayyah di Damaskus?

Intisari-Online.com - Salah satu babak penting dalam sejarah kebudayaan Islam adalah masa Bani Umayyah di Damaskus.

Berbagai perkembangan kebudayaan berhasil dicapai oleh kekhalifahan pertama pasca-Khulafaur Rasyidin itu.

Mengapa kita harus meneladan nilai-nilai yang ada pada sejarah Bani Umayyah di Damaskus?

Untuk menjawab itu, pertama-tama kita harus tahu sejarah singkat Bani Umayyah di Damaskus.

Bani Umayyah merupakan kekhalifahan Islam kedua yang didirikan setelah wafatnya Nabi Muhammad.

Pendiri Bani Umayyah sekaligus khalifah pertamanya adalah Muawiyah bin Abu Sufyan atau Muawiyah I.

Muawiyah I merupakan seorang politikus yang pernah menjabat sebagai Gubernur Suriah pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan.

Kekhalifahan Bani Umayyah berdiri pada tahun 661 dengan pusat pemerintahan di Damaskus, Suriah.

Sejarah Bani Umayyah dapat ditelusuri dari peristiwa yang terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan.

Pada 650-an, Utsman bin Affan yang merupakan khalifah ketiga dari Khulafaur Rasyidin, menghadapi tuduhan nepotisme, penistaan, dan perlakuan tidak menyenangkan terhadap sejumlah masyarakat.

Situasi semakin memanas hingga pecah pemberontakan karena jabatan-jabatan strategis di pemerintahan diberikan Utsman kepada kerabatnya dari Bani Umayyah.

Baca Juga: Sejarah Masuknya Islam di Andalusia, Berkat Peran Besar Bani Umayyah

Dalam pemberontakan tersebut, Khalifah Utsman terbunuh oleh salah satu pemberontak di rumahnya.

Muawiyah bin Abu Sufyan, sepupu Utsman yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Suriah, tidak terima dengan perbuatan para pemberontak.

Takut dengan ancaman yang bisa datang dari Muawiyah I, penduduk Madinah mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai pengganti Utsman.

Ali adalah kerabat dekat Nabi Muhammad, sehingga dianggap oleh Muslim Syiah berhak menjadi khalifah.

Khalifah Ali berusaha mengembalikan pemerintahan Islam agar stabil.

Tapi tidak berhasil karena ia dianggap gagal memberikan keadilan atas kematian Utsman.

Bahkan, Muawiyah I tidak mau mengakui Ali sebagai khalifah sampai tuntutannya untuk membalas pembunuhan Utsman terselesaikan.

Akibatnya, meletus Perang Jamal atau Perang Unta pada 656, yang sekaligus menandai dimulainya Perang Saudara Islam I.

Perang Saudara Islam I berakhir ketika Khalifah Ali terbunuh oleh golongan Khawarij.

Setelah itu, Hasan bin Ali sebagai putra tertua Ali dibaiat oleh orang-orang Madinah menjadi khalifah selanjutnya.

Hasan bin Ali tidak memerintah dalam waktu lama.

Hanya sekitar tiga bulan setelah dibaiat, ia memilih menyerahkan jabatan sebagai pemimpin kekhalifahan kepada Muawiyah I.

Hal itu dilakukan Hasan dengan tujuan menghindari perang berkepanjangan antarumat Muslim.

Setelah penyerahan kekuasaan itu, umat Muslim bersatu dalam satu kepemimpinan, yaitu kepemimpinan Muawiyah I.

Dengan demikian, periode Khulafaur Rasyidin resmi berakhir dan dimulailah kekuasaan Bani Umayyah pada 661.

Muawiyah I, yang telah berkuasa selama puluhan tahun sebagai Gubernur Suriah, menetapkan Damaskus sebagai pusat pemerintahan kekhalifahannya.

Dalam menjalankan Kekhalifahan Bani Umayyah, Muawiyah I mengganti sistem pengangkatan khalifah, yang sebelumnya menganut sistem pemilihan, menjadi sistem dinasti atau turun-temurun.

Oleh karena itu, ketika Muawiyah I wafat, maka khalifah penggantinya adalah anaknya, Yazid bin Muawiyah.

Pemerintahan Bani Umayyah yang didirikan Muawiyah I di Damaskus bertahan selama 90 tahun, yakni hingga tahun 750.

Ketika pemerintahan Bani Umayyah di Damaskus runtuh akibat Revolusi Abbasiyah, berdiri Kekhalifahan Bani Umayyah di Kordoba, Spanyol, yang bertahan hingga tahun 1031.

Pencapaian Bani Umayyah

Ada begitu banyak pencapaian yang dilakukan Bani Umayyah:

Bidang pemerintahan

Masa kekuasaan Muawiyah I telah mengubah sistem pemerintahan dari demokrasi menjadi monarki atau kerajaan.

Dinasti Bani Umayyah juga menerapkan sistem pemerintahan konfederasi provinsi.

Yaitu dengan menggabungkan beberapa provinsi berbeda menjadi satu.

Muawiyah I juga membentuk empat diwan (departemen), yaitu:

- Diwan ar-Rasail, bertugas untuk mengurus surat-surat negara

- Diwan al-Kharraj, mengurus perpajakan

- Diwan al-Jundi, bertugas mengurus kemiliteran negara

- Diwan al-Khatim, sebagai pencatat

Selain itu, Muawiyah I membuat lambang negara untuk Bani Umayyah berupa sebuah bendera merah dan menetapkan bahasa Arab sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan.

Bidang sosial

Pada masa Dinasti Bani Umayyah, mulai dikenal istilah stratifikasi sosial.

Periode ini juga memunculkan empat macam golongan orang Arab, yaitu golongan kaum Muslimin, neomuslim (kaum Muslim baru), anggota mazhab, dan para budak.

Meskipun stratifikasi sudah ada, kondisi sosial Bani Umayyah masih terbilang baik dan masyarakat bisa hidup dengan damai.

Para khalifah juga tidak segan melindungi gereja, katedral, candi, dan beberapa tempat suci lainnya.

Bahkan, mereka bersedia membangun kembali setiap tempat ibadah yang sudah hancur menggunakan dana dari kas negara.

Budaya baru yang juga muncul ketika Dinasti Umayyah berkuasa adalah mulai digunakannya alat-alat makan, seperti serbet, sendok, dan garpu.

Bangunan atau Arsitektur

Dinasti Bani Umayyah mencapai masa keemasan ketika dipimpin oleh Khalifah al-Walid I atau al-Walid bin Abdul Malik, yang memerintah antara 705-715.

Pada masanya, dibangun jalan raya, pabrik, gedung, dan panti asuhan untuk orang cacat.

Selain itu, salah satu bentuk pertumbuhan kebudayaan pada masa Bani Umayyah adalah perkembangan di bidang arsitektur, ditandai dengan dibangunnya masjid-masjid yang memenuhi kota.

Para arsitek Muslim-Arab mengembangkan arsitektur yang mereka punya berdasarkan dari yang sudah ada sebelumnya.

Untuk pertama kalinya, Muawiyah I memperkenalkan sebuah menara kepada rakyatnya.

Salah satu karya tercantik dari masa Dinasti Umayyah adalah Kubah Karang di Yerusalem, yang dibangun oleh Abdul Malik bin Marwan, khalifah yang berkuasa antara 685-705.

Selain itu, Abdul Malik juga membangun masjid lain, yaitu Masjid Kubah Emas atau Masjid Umar.

Kembali ke pertanyaan di awal, mengapa kita harus meneladan nilai-nilai yang ada pada sejarah Bani Umayyah di Damaskus?

Ada beberapa jawabannya:

1. Karena terdapat hikmah penting yang ada pada sejarah bani umayyah di Damaskus

2. Keimanan kepada-Nya dapat dilakukan dengan melaksanakan segala perintah-Nya.

3. Semangat menuntut ilmu, baik ilmu agama maupun ilmu dunia.

4. Nilai kebudayaan yang dikembangkan sesuai dengan tuntunan Islam.

5. Kesatuan dan persatuan umat Islam serta kerukunan antar umat beragama.

6. Memiliki semangat kepahlawanan.

Begitulah jawaban atas pertanyaan mengapa kita harus meneladan nilai-nilai yang ada pada sejarah Bani Umayyah di Damaskus, semoga bermanfaat.

Baca Juga: Penjelasan Secara Singkat Sejarah Pendirian Bani Umayyah di Damaskus