Setelah belajar bersama ayahnya, Syekh Nawawi berguru kepada Haji Sahal dan Raden Haji Yusuf selama enam tahun.
Dia kemudian kembali ke Tanara untuk menggantikan ayahnya sebagai pemimpin pondok pesantren.
Syekh Nawawi hanya bertahan selama kurang lebih dua tahun mengajar di pondok pesantren di Tanara.
Dia kemudian pergi ke Mekkah untuk belajar agama Islam di pusat pengajarannya langsung, yaitu di Masjidil Haram.
Di Mekkah, Syekh Nawawi belajar kepada banyak ulama ternama di Arab, seperti Sayyid Ahmad An-Nahrawi, Syekh Muhammad Khatib Al-Hanbali, Sayyid Ahmad Zaini, dan Sayyid Ahmad Ad-Dimyati.
Di Mekkah, Syekh Nawawi hanya bertahan selama tiga tahun untuk belajar.
Dia kemudian kembali ke Tanara dan mengajar di pondok pesantren ayahnya.
Begitu sampai di Banten, Syekh Nawawi sangat geram melihat kondisi masyarakat berada di bawah belenggu penjajahan Belanda.
Dia lalu memanfaatkan mimbar-mimbar untuk ceramah mengobarkan semangat perjuangan.
Syiarnya mengutuk penjajahan Belanda dan mengajak masyarakat lepas dari penjajahan.
Sikapnya terhadap penjajahan Belanda yang keras membuatnya diawasi dengan ketat oleh para pejabat kolonial Belanda maupun pejabat lokal.
Hal itu ditakutkan akan menimbulkan mobilisasi massa karena khotbah-khotbah yang disuarakan oleh Syekh Nawawi.