Kisah Margono Djojohadikoesoemo, Kakek Prabowo yang Bertaruh Nyawa Demi Mendirikan Bank Sentral Indonesia

Afif Khoirul M

Penulis

Sosok Margono Djojohadikoesoemo, kakek Prabowo pendiri Bank Nasional Indonesia.

Intisari-online.com - Margono Djojohadikoesoemo adalah salah satu tokoh pergerakan nasional yang juga merupakan kakek dari Prabowo Subianto, mantan komandan Kopassus dan calon presiden Indonesia tahun 2024.

Margono dikenal sebagai pendiri Bank Negara Indonesia (BNI), bank pertama yang dimiliki oleh pemerintah Indonesia.

Ia juga berperan penting dalam mengusulkan ide untuk mendirikan bank sentral di Indonesia, sebagai salah satu upaya untuk membiayai perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Margono Djojohadikoesoemo lahir pada tahun 1894 di Yogyakarta, dari keluarga bangsawan yang merupakan keturunan Pangeran Diponegoro.

Ia menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Teknik di Bandung, lalu melanjutkan studinya di Belanda, di bidang teknik sipil dan ekonomi.

Ia kembali ke Indonesia pada tahun 1927 dan bekerja sebagai insinyur di beberapa perusahaan swasta.

Margono juga aktif dalam organisasi pergerakan nasional, seperti Jong Java, Partai Nasional Indonesia (PNI), dan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).

Ia juga menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS), lembaga tertinggi negara yang dibentuk setelah proklamasi kemerdekaan pada tahun 1945.

Pendiri Bank Negara Indonesia

Setelah proklamasi kemerdekaan, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam bidang ekonomi dan keuangan.

Salah satunya adalah tidak adanya bank sentral yang berfungsi sebagai bank sirkulasi mata uang republik.

Baca Juga: Sudah Berubah Berkali-kali, Beginilah Sejarah Demokrasi Di Indonesia

Saat itu, bank sentral yang ada adalah De Javasche Bank (DJB), yang merupakan warisan dari pemerintah kolonial Belanda.

DJB tidak mau mengakui kedaulatan Indonesia dan berusaha mengacaukan ekonomi Indonesia dengan mencetak dan mengedarkan uang buatan Belanda.

Sebagai ketua DPAS, Margono memberikan usulan agar dibentuk sebuah bank sentral yang berfungsi sebagai bank sirkulasi mata uang republik.

Margono lantas diberi mandat oleh presiden Soekarno untuk membentuk bank sentral tersebut.

Ia mengumpulkan dana dari patungan rakyat Indonesia sendiri, dengan semangat nasionalisme dan kemandirian.

Pada tanggal 5 Juli 1946, pemerintah resmi mendirikan Bank Negara Indonesia (BNI) sebagai bank sentral berdasarkan Perpu No.2 tahun 1946.

Selain tugasnya sebagai bank sentral, BNI juga diberi wewenang untuk melakukan kegiatan sebagai bank umum, seperti pemberian kredit, pengeluaran obligasi, dan penerimaan simpanan giro, deposito, atau tabungan.

Margono menjadi presiden pertama BNI, hingga tahun 1950.

Perjuangan dan Penghargaan

Mendirikan BNI bukanlah hal yang mudah.

Margono dan timnya harus berjuang melawan berbagai rintangan dan ancaman, baik dari dalam maupun dari luar negeri.

Baca Juga: Sejarah Quick Count, Metode Survei Cepat Ini Ternyata Pertama Kali Digunakan di Filipina

Mereka harus menghadapi serangan dari tentara Belanda, sabotase dari DJB, dan persaingan dari bank-bank swasta lainnya.

Mereka juga harus mengatasi masalah inflasi, defisit anggaran, dan kekurangan modal.

Namun, dengan tekad dan kerja keras, Margono dan timnya berhasil menjalankan BNI dengan baik.

BNI menjadi salah satu sumber pendapatan negara dan salah satu penopang perekonomian Indonesia.

BNI juga menjadi salah satu bank yang terlibat dalam program pemberdayaan ekonomi rakyat, seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM).

Margono Djojohadikoesoemo meninggal dunia pada tahun 1978, di usia 84 tahun.

Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Ia meninggalkan warisan berupa keluarga yang terkenal di bidang politik, ekonomi, dan militer.

Salah satu cucunya adalah Prabowo Subianto, mantan komandan Kopassus dan calon presiden Indonesia tahun 2024.

Margono Djojohadikoesoemo juga mendapatkan penghargaan dari pemerintah Indonesia, sebagai salah satu pahlawan nasional.

Ia dianugerahi Bintang Mahaputra Adipradana, Bintang Gerilya, dan Bintang Republik Indonesia.

Beliaujuga diabadikan sebagai nama jalan, gedung, dan sekolah di beberapa kota di Indonesia.

Artikel Terkait