Penulis
Intisari-online.com -Afrika Selatan mengajukan gugatan terhadap Israel atas tuduhan genosida di Gaza.
Sidang Mahkamah Internasional terkait gugatan tersebut berlangsung pada Kamis (11/1/2024) dan Jumat (12/1/2024).
Afrika Selatan menduga Israel melanggar Konvensi Genosida 1948 dalam serangannya di wilayah Palestina.
Israel disebut menghancurkan ratusan ribu rumah, mengusir sekitar 1,9 juta warga Palestina, dan menewaskan lebih dari 23.000 orang.
Israel juga dikatakan gagal menyediakan makanan, air, obat-obatan, bahan bakar, tempat tinggal, dan bantuan kemanusiaan lainnya ke Jalur Gaza.
Israel membantah tuduhan tersebut dan berdalih tindakan tersebut dilakukan dalam rangka upaya pertahanan diri atas serangan kelompok militer Hamas pada 7 Oktober 2023.
Terlepas dari kontroversi ini, penting untuk memperhatikan bahwa genosida adalah kejahatan yang sangat serius dan harus dihindari.
Kita semua harus bekerja sama untuk menciptakan dunia yang lebih damai dan adil bagi semua orang.
Tak hanya itu saja Afrika Selatan mengajukan gugatan terhadap Amerika Serikat dan Inggris atas dugaan kejahatan perang di Gaza.
Tim pengacara dari Afrika Selatan yang berjumlah hampir 50 orang tengah bersiap menggugat kedua negara tersebut atas dugaan kejahatan perang di Gaza.
Gugatan ini dilakukan setelah Afrika Selatan mengajukan gugatan terhadap Israel atas tuduhan genosida di Gaza.
Baca Juga: Sejarah Keterlibatan Amerika dalam Perang Vietnam Serta Dampaknya
Afrika Selatan sendiri merupakan negara yang memiliki kisah kelam rasisme di masa lalu yang dikenal dengan sebutan Apartheid.
Apartheid adalah sistem diskriminatif berdasarkan ras yang diterapkan di Afrika Selatan selama puluhan tahun.
Sistem ini menciptakan luka mendalam dalam sejarah Afrika Selatan. Apartheid berasal dari bahasa Afrikaans yang berarti 'pemisahan.'
Sejarahnya dimulai pada pertengahan abad ke-20 ketika Partai Nasional yang berkuasa di Afrika Selatan mulai menggulirkan kebijakan rasialis yang merinci pemisahan antara komunitas kulit putih (Afrikaans dan Inggris) dan komunitas kulit hitam.
Pada tahun 1948, Partai Nasional memenangkan pemilihan dan secara resmi mengimplementasikan kebijakan apartheid.
Sistem apartheid memberikan landasan hukum untuk pemisahan antara kelompok ras yang berbeda.
Kebebasan bergerak, pendidikan, dan pekerjaan dibatasi berdasarkan ras. Hukum pemisahan ras terlibat dalam segala aspek kehidupan, dari transportasi hingga tempat tinggal, dan bahkan taman umum.
Apartheid tidak hanya merinci pemisahan fisik melalui undang-undang dan peraturan, tetapi juga menciptakan pemisahan psikologis dengan memberlakukan kurikulum pendidikan yang mendukung ideologi supremasi kulit putih.
Ini mengakibatkan pembentukan persepsi negatif terhadap kelompok kulit hitam dan merendahkan martabat mereka secara sistematis.
Meskipun hukum apartheid sangat keras dan ketat, sejumlah besar penduduk Afrika Selatan menentang sistem ini.
Organisasi seperti Kongres Nasional Afrika (ANC) dan Pan Africanist Congress (PAC) memimpin perjuangan melawan ketidaksetaraan.
Baca Juga: Sejarah Tri Koro Dharmo, Latar Belakang Perjuangan Hingga Tokoh-Tokohnya
Gerakan anti-apartheid juga mendapat dukungan internasional, dengan banyak negara dan tokoh dunia mengecam kebijakan tersebut.
Pada 1970-an dan 1980-an, tekanan internasional terhadap rezim apartheid semakin meningkat.
Pemberlakuan sanksi oleh berbagai negara dan isolasi ekonomi membuat Afrika Selatan semakin terisolasi.
Pada awal 1990-an, pemerintahan presiden Frederik de Klerk mulai melemahkan kebijakan apartheid dan membebaskan tokoh-tokoh anti-apartheid yang dipenjara, termasuk Nelson Mandela.
Pada tahun 1994, Afrika Selatan mengadakan pemilihan umum yang pertama kali di mana semua warga dewasa memiliki hak suara.
Pemilu ini menandai berakhirnya era apartheid dan pembentukan pemerintahan yang dipimpin oleh Nelson Mandela, tokoh anti-apartheid terkemuka.
Ini juga menandai dimulainya proses rekonsiliasi nasional untuk menyembuhkan luka-luka masa lalu.