Penulis
Ketika tokoh-tokoh dari Palestina dan Israel berbagi Hadiah Nobel Perdamaian 1994. Yasser Arafat, Simon Peres, dan Yitzhak Rabin.
Intisari-Online.com -Pernah pada suatu masa tokoh-tokoh baik dari Palestina dan Israel berbagi hadiah Nobel Perdamaian.
Itu terjadi pada 1994 lalu.
Tokoh-tokoh yang mendapat Hadiah Nobel Perdamaian pada 1994 adalah Yasser Arafat dari Palestina; Simon Peres dan Yitzhak Rabin, keduanya dari Israel.
Ketiganya disebut punya andil besar terhadap terwujudunya perdamaian di Palestina dan Israel.
Bagaimana ceritanya?
Pemberian hadih Nobel Perdamaian 1994 itu tentu memicu kontroversi.
Banyak kritikus yang mencatat bahwa ketika Arafat menjabat sebagai pemimpin Fatah, kelompok PLO terlibat dalam aksi terorisme.
Terkait Nobel Perdamaian 1994, selain nama Yasser Arafat, sosok lain yang harus diperhatikan adalah Yitzak Rabin.
Siapa dia?
Rabin adalah Perdana Menteri Israel yang menjabat pada periode antara1974-1977, dan 1992 hingga terbunuh di 1995.
Namanya dikenal karena menggagas proses perdamaian dengan Palestina.
Hasil dari gagasan itu adalahPerjanjian Oslo yang ditandatangani pada 1993 dan 1995.
Kebijakannya untuk merangkul Palestina mengantarkan Rabin meraih penghargaan prestisius Nobel Perdamaian pada 1994 bersama Pemimpin Palestina Yasser Arafat serta rival politiknya, Shimon Peres.
Rabin adalah Menteri Pertahanan Israel saat terjadi Intifada Pertama Palestina.
Rabin lahir pada 1 Maret 1922 di Yerusalem, Mandat Palestina, dan merupakan anak dari pasangan Nehemiah dan Rosa Cohen.
Keluarga Rabin merupakan Third Aliyah, atau gelombang kaum Yahudi yang melakukan migrasi dari Eropa menuju Palestina.
Rabin tumbuh di Tel Aviv ketika keluarganya pindah ke sana saat dia berusia satu tahun.
Pada 1928, dia masuk Sekolah untuk Anak Pekerja Tel Aviv atau Tel Aviv Beit Hinuch Leyaldei Ovdim.
Sekolah itu mengajarkan murid-muridnya pertanian dan juga Zionisme.
Di situ, Rabin memperoleh nilai baik, dan lulus pada 1935.
Setelah lulus Rabin melanjutkan pendidikan di sekolah pertanian diGivat Hashlosha.
Ketika berusia 14 tahun, tepatnya pada 1936, Rabin bergabung bersama kelompok paramiliter Yahudi bernama Haganah.
Dia menerima pelatihan militer pertamanya seperti menembakkan senjata maupun bertahan, dan masuk pergerakan muda Sosialis-Zionis HaNoar HaoVed.
Setahun berselang, Rabin masuk SMA Pertanian Kadoorie di mana dia sangat bagus dalam ilmu pertanian, namun membenci bahasa Inggris yang disebutnya "bahasa musuh".
Impiannya adalah menjadi insinyur irigasi.
Namun ketertarikannya akan militer membesar ketika Pemberontakan Besar pecah padsa 1938.
Seorang sersan Haganah bernama Yigal Allon melatih Rabin dan simpatisan lainya di Kadoorie hingga Agustus 1940.
Karena pemberontakan itu, Inggris memutuskan menutup Kadoorie.
Rabin mengikuti Allon dan menjadi tentara di kibbutz Ginosar hingga sekolahnya dibuka kembali.
Pada 1941 saat berlatih di Ramat Yohanan, Rabin bergabung bersama pasukan elite Haganah, Palmach, berkat pengaruh Allon.
Operasi pertamanya adalah membantu invasi yang dilakukan Inggris ke Lebanon dan Vichy Perancis Suriah dari Juni sampai Juli 1941.
Setelah Perang Dunia II berakhir, relasi Palmach dengan Inggris merenggang sejak penanganan London terhadap migran Yahudi.
Pada Oktober 1945, Rabin bertanggung jawab melaksanakan operasi untuk membebaskan migran yang ditempatkan di pusat penahanan Atlit.
Inggris lalu melaksanakan Operasi Black Shabbat di Permukiman Yahudi Mandat Palestina.
Rabin ditangkap dan dipenjara selama lima bulan.
Setelah dilepaskan, dia naik pangkat menjadi komandan batalion kedua Palmach sebelum dipromosikan sebagai Kepala Perwira Operasi Palmach Oktober 1947.
Ketika Perang Arab-Israel pecah di 15 Mei 1948, Rabin menjadi komandan Brigade Harel, dan memimpin operasi melawan pasukan Mesir di Negev.
Dia dilantik menjadi wakil komandan Operation Danny, misi skala besar yang melibatkan empat brigade Pasukan Pertahanan Israel (IDF).
Operasi itu merebut kota Ramle dan Lydda, dan membuat sekitar 70.000 populasi Arab di sana diusir dalam surat perintah yang ditandatangani Rabin.
Setelah itu, Rabin dipromosikan menjadi Kepala Operasi Front Selatan dan berpartisipasi dalam pertempuran mayor seperti Operation Yoav dan Operation Horev.
Di awal 1949, dia menjadi bagian delegasi Israel yang membahas gencatan senjata dengan Mesir di Pulau Rhodes, dan menghasilkan Perjanjian Gencatan Senjata 1949.
Antara 1956-1959, dia menjadi Kepala Komando Utara.
Sebelumnya pada 1953, dia lulus dari perguruan staf Inggris. Di 1964, dia dilantik sebagai Kepala Staf IDF oleh Levi Eshkol yang menggantikan David Ben-Gurion sebagai PM sekaligus Menteri Pertahanan.
Di bawah kepemimpinannya, IDF menuai sejumlah kemenangan melawan Mesir, Suriah, dan Yordania dalam Perang Enam Hari di 1967.
Setelah memutuskan pensiun dari IDF, Rabin menjadi Duta Besar Israel di PBB pad 1968 hingga lima tahun berikutnya.
Di Desember 1973, atau dua bulan setelah Perang Yom Kippur, Rabin terpilih sebagai anggota Parlemen Israel (Knesset) dari Partai Buruh.
Maret 1974, dia menjadi Menteri Buruh di masa pemerintahan PM Golda Meir yang kemudian meletakkan jabatannya sebulan berselang.
Rabin terpilih sebagai Ketua Partai Buruh menggantikan Shimon Peres sebelum kemudian menjadi pengganti Meir pada 3 Juni 1974.
Di masa pemerintahannya, Rabin harus berurusan dengan sejumlah isu.
Antara lain Operasi Entebbe pada 4 Juli 1976 di Bandara Entebbe, Uganda.
Operasi kontra-terorisme itu digelar untuk membebaskan 248 penumpang maskapai Air France yang dibajak Front Populer Pembebasan Palestina Operasi Eksternal (PFLP-EO).
Organisasi di bawah pimpinan Wadie Haddad itu mendapat bantuan dari Sel Revolusi Jerman serta Uganda yang dikomandoi Idi Amin.
22 April 1977, Rabin mengundurkan diri setelah dia dan istrinya, Leah, ketahuan mempunyai rekening bank di Amerika Serikat (AS).
Di pertengahan 1980-an, Rabin menjadi Menteri Pertahanan untuk koalisi pemerintahan Partai Buruh dan Partai Likud.
Pada 1992, dia kembali menjadi Ketua Partai Buruh mengandaskan rivalnya Peres dan memenangkan pemilihan umum bersama koalisi seperti Meretz, Shas, atau Mizrahi.
Setahun kemudian, dia memulai proses perdamaian dengan pemimpin Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) Yasser Arafat, dan menghasilkan Perjanjian Oslo I.
Melalui perjanjian itu, Otoritas Nasional Palestina (PLO) berdiri dengan wilayah kekuasaan pada Jalur Gaza dan Tepi Barat.
9 September 1993, Arafat dan Rabin saling berkirim suara di mana masing-masing pemimpin mengakui kedaulatan PLO dan Israel.
Kesepakatan itu bukannya tanpa perlawanan.
Warga Israel menolaknya.
Faksi Palestina seperti Hamas juga mengecam, bahkan terjadi insiden bom bunuh diri di Israel.
Meski begitu, Rabin tetap bersikukuh pada keputusannya.
"Mulai saat ini, kami berkata kepada Anda warga Palestina, sudah cukup darah dan air mata yang tertumpah," ujarnya kala itu.
Selain menandatangani Perjanjian Oslo, dia juga menyepakati perundingan damai dengan Yordania setahun kemudian.
Karena perannya dalam memprakarsai Perjanjian Oslo, Rabin bersama Arafat dan Peres menerima penghargaan Nobel Perdamaian di 1994.
Pada 4 November 1995 sore hari waktu setempat, Rabin tewas dibunuh oleh ekstremis sayap kanan Israel yang menentang Perjanjian Oslo, Yigal Amir.
Awalnya, Rabin menghadiri apel besar di Lapangan Kings of Israel yang mendukung Perjanjian Oslo.
Setelah apel berakhir, dia menuju ke mobilnya.
Saat membuka pintu mobil itulah, Amir menembak Rabin dengan pistol semi-otomatis.
Dua tembakan mengenai sang PM, dan satu tembakan melukai Yoram Rubin, pengawal Rabin.
Dia segera dilarikan ke Rumah Sakit Ichilov.
Namun dia tewas saat menjalani pembedahan dikarenakan kehabisan darah dan luka di paru-paru.
Dia dimakamkan di Gunung Herzl pada 6 November 1995, di mana upacaranya dihadiri banyak pemimpin dunia antara lain Presiden AS Bill Clinton.
Kemudian Perdana Menteri Australia Paul Keating, Presiden Mesir Hosni Mubarak, serta Raja Hussein dari Yordania.