Sejarah Panjang Sengketa Lahan di Pulau Rempang, Dari Hutan Negara hingga Proyek Strategis Nasional

Afif Khoirul M

Penulis

Sejarah pulau Rempang sengketa sejak lama, bagaimana awal mulanya.

Intisari-online.com - Pulau Rempang, salah satu pulau yang terletak di Kepulauan Riau, kini menjadi sorotan publik karena rencana pengembangan proyek Rempang Eco City.

Proyek ini merupakan bagian dari Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Batam-Bintan-Karimun yang ditetapkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) oleh pemerintah pusat.

Namun, proyek ini juga menimbulkan kontroversi karena berdampak pada nasib warga pulau Rempang yang mengklaim memiliki hak atas tanah yang akan digunakan untuk proyek tersebut.

Sejarah sengketa lahan di pulau Rempang bermula sejak tahun 1970-an, ketika pemerintah pusat menetapkan pulau Rempang sebagai hutan negara.

Pada saat itu, sebagian besar lahan di pulau Rempang masih berupa hutan dan belum dimanfaatkan oleh warga setempat.

Namun, seiring dengan perkembangan industri dan pariwisata di Batam, pulau Rempang mulai diminati oleh investor dan pengembang.

Beberapa perusahaan swasta mendapatkan izin untuk mengelola lahan di pulau Rempang dari Badan Pengusahaan (BP) Batam, lembaga yang bertanggung jawab atas pengelolaan wilayah Batam dan sekitarnya.

Salah satu perusahaan yang mendapatkan izin tersebut adalah PT Makmur Elok Graha (MEG), yang merupakan anak perusahaan dari PT Agung Podomoro Land Tbk (APLN), salah satu pengembang properti terbesar di Indonesia.

PT MEG mendapatkan izin untuk mengelola lahan seluas 1.500 hektar di pulau Rempang pada tahun 2007.

PT MEG kemudian merencanakan untuk membangun proyek Rempang Eco City, sebuah kawasan terpadu yang mencakup industri, pariwisata, perumahan, dan fasilitas umum.

Namun, rencana PT MEG ini mendapat tentangan dari warga pulau Rempang yang mengaku memiliki hak ulayat atau hak adat atas lahan yang akan digunakan untuk proyek tersebut.

Baca Juga: Sejarah Pulau Rempang, Wilayah yang Ditaklukkan Belanda Atas Kerajaan Melayu Riau Tahun 1784

Warga pulau Rempang mengklaim bahwa mereka telah menempati dan menggarap lahan tersebut sejak zaman Belanda dan Jepang.

Warga pulau Rempang juga menunjukkan bukti-bukti kepemilikan lahan berupa sertifikat tanah, surat keterangan tanah, surat pernyataan waris, dan surat-surat lainnya.

Warga pulau Rempang menolak relokasi yang ditawarkan oleh PT MEG dan BP Batam.

Mereka menuntut agar hak-hak mereka diakui dan dilindungi oleh pemerintah pusat dan daerah.

Warga pulau Rempang juga menuding bahwa proses pengadaan tanah untuk proyek Rempang Eco City tidak sesuai dengan aturan dan melanggar hak asasi manusia.

Warga pulau Rempang mendapat dukungan dari berbagai pihak, seperti LSM, aktivis, akademisi, tokoh agama, dan politisi.

Sengketa lahan di pulau Rempang telah berlangsung selama lebih dari satu dekade dan belum menemukan titik temu.

Pada tahun 2019, pemerintah pusat mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 58 Tahun 2019 tentang Percepatan Pelaksanaan PSN.

Dalam peraturan tersebut, proyek Rempang Eco City masuk dalam daftar PSN yang harus diselesaikan dalam waktu dua tahun.

Hal ini membuat warga pulau Rempang semakin khawatir akan nasib mereka.

Pada tahun 2020, BP Batam dan PT MEG mengeluarkan surat edaran yang meminta warga pulau Rempang untuk segera meninggalkan lahan mereka karena akan segera dilakukan pembongkaran.

Baca Juga: Investor Pulau Rempang, Xinyi Group, Ternyata Tak Masuk Daftar 10 Perusahaan Kaca Terbesar Dunia

Surat edaran ini memicu protes dari warga pulau Rempang yang merasa tidak mendapat kepastian hukum dan kompensasi yang layak.

Warga pulau Rempang menggelar aksi unjuk rasa dan menuntut agar pemerintah pusat dan daerah turun tangan untuk menyelesaikan masalah ini.

Hingga saat ini, sengketa lahan di pulau Rempang masih berlanjut dan belum ada solusi yang memuaskan bagi semua pihak.

Warga pulau Rempang berharap agar pemerintah pusat dan daerah dapat menghormati hak-hak mereka dan memberikan keadilan bagi mereka.

Sementara itu, BP Batam dan PT MEG tetap berkomitmen untuk melanjutkan proyek Rempang Eco City sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat di Kepulauan Riau.

Artikel Terkait