Intisari-online.com - Pulau Rempang adalah salah satu pulau yang terletak di Kepulauan Riau, Indonesia. Iaberbatasan dengan Pulau Batam di sebelah utara dan Pulau Galang di sebelah selatan. Pulau ini memiliki luas sekitar 165 km2 dan penduduk sekitar 50.000 jiwa.
Pulau ini dikenal sebagai salah satu kawasan industri dan pariwisata di Batam. Namun, dibalik kemajuan dan modernisasi yang terjadi di pulau ini, ada sejarah dan tradisi yang masih dilestarikan oleh masyarakat adat setempat.
Mereka adalah suku Melayu Rempang, yang diyakini masih merupakan keturunan dari para prajurit Kesultanan Riau Melayu yang pernah berjaya di masa lalu.
Suku Melayu Rempang termasuk dalam kelompok etnis Melayu Tua, yang merupakan masyarakat Melayu asli yang sudah mendiami wilayah Kepulauan Riau sejak zaman pra-Islam.
Suku ini masih berkerabat dekat dengan suku Melayu di Pulau Batam dan Galang, serta Orang Laut dan Orang Darat yang juga mendiami pulau-pulau di sekitarnya. Suku ini memiliki bahasa, adat, dan budaya yang khas dan berbeda dengan suku Melayu lainnya.
Bahasa mereka adalah bahasa Melayu Riau, yang merupakan salah satu dialek bahasa Melayu yang paling tua dan konservatif. Adat mereka mengikuti adat pepatih, yang menekankan pada sistem matrilineal dan demokrasi. Budaya mereka mencerminkan pengaruh Islam, Hindu-Buddha, dan animisme dalam kehidupan sehari-hari.
Suku Melayu Rempang memiliki sejarah yang panjang dan menarik. Menurut penelitian dan sumber-sumber sejarah, suku ini terbentuk dari penyatuan masyarakat Melayu dari Pulau Galang, Orang Darat, dan Orang Laut yang sebelum abad ke-19 telah mendiami Pulau Rempang.
Pada abad ke-19, banyak laporan atau berkas yang menyatakan bahwa pejabat Belanda, Elisa Netscher pernah berkunjung ke Pulau Rempang sekitar tahun 1846. Kala itu, Pulau Rempang sudah banyak dihuni oleh orang-orang yang berasal dari suku Melayu Galang, Orang Darat, dan Orang Laut.
Namun, sejarah suku Melayu Rempang tidak bisa dilepaskan dari sejarah Kesultanan Riau Melayu, yang merupakan salah satu kerajaan maritim terbesar di Nusantara pada abad ke-18 hingga ke-19.
Kesultanan ini merupakan penerus dari Kesultanan Johor-Riau-Lingga-Pahang yang terpecah akibat perjanjian antara Belanda dan Inggris pada tahun 1824. Kesultanan ini meliputi wilayah Kepulauan Riau, Lingga, Bintan, Anambas, Natuna, hingga Singapura. Kesultanan ini memiliki hubungan dagang dan diplomatik dengan berbagai negara di Asia dan Eropa. Kesultanan ini juga menjadi pusat pengembangan bahasa, sastra, seni, dan budaya Melayu.
Menurut kitab Tuhfat al-Nafis karya Raja Ali Haji, salah satu cendekiawan dan sastrawan Melayu terkemuka pada masa itu, penduduk Pulau Rempang, Galang, dan Bulang adalah keturunan dari para prajurit Kesultanan Riau Melayu yang mendiami pulau-pulau tersebut sejak tahun 1720, tepatnya di masa pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah I.
Disebutkan bahwa pada masa perang Riau I tahun 1782–1784 melawan Belanda, penduduk setempat menjadi prajurit Raja Haji Fisabilillah, kakek Raja Ali Haji. Kemudian, dalam Perang Riau II tahun 1784–1787, mereka berada dibawah pimpinan Sultan Mahmud Riayat Syah dan ikut berperang melawan Belanda.
Pada tahun 1787, Sultan Mahmud Riayat Syah memindahkan pusat pemerintahan ke Daik di Pulau Lingga. Pada saat itu, Pulau Rempang, Galang, dan Bulang dijadikan sebagai basis pertahanan terbesar dari Kesultanan Riau Melayu yang dipimpin oleh Tengku Muda Muhammad dan Panglima Raman.
Pada tahun 1829, Sultan Riau Melayu, Sultan Abdul Rahman memberikan kuasa kepada Raja Isa atau lebih dikenal sebagai Nong Isa untuk memimpin Nongsa yang meliputi Pulau Batam, Galang, Rempang, dan sekitarnya. Bahkan, tahun tersebut dijadikan sebagai hari lahirnya Batam. Penyerahan kekuasaan ini juga merupakan bukti bahwa Pulau Batam dan sekitarnya sudah banyak dipadati masyarakat pada tahun 1829.
Menurut cerita rakyat setempat, pada tahun 1837, sebuah kapal Inggris pernah dibajak di Pulau Galang. Ternyata bajak laut (oleh masyarakat setempat disebut lanun) tersebut merupakan orang Melayu Galang yang saat itu juga telah mendiami Pulau Rempang.
Suku Melayu Rempang masih mempertahankan identitas dan warisan mereka hingga saat ini. Mereka masih menghormati adat dan tradisi leluhur mereka, seperti menggelar upacara adat, merayakan hari besar Islam, menjaga kesenian dan kerajinan tangan, serta menjunjung tinggi nilai-nilai kekeluargaan dan kegotongroyongan.
Mereka juga masih memiliki hak ulayat atau hak adat atas tanah dan sumber daya alam di pulau mereka. Namun, mereka juga menghadapi tantangan dan ancaman dari berbagai pihak yang ingin mengambil alih tanah dan sumber daya alam mereka untuk kepentingan pembangunan dan industrialisasi.
Beberapa kali terjadi konflik antara masyarakat adat dengan pihak-pihak yang ingin mengusir atau merampas hak mereka. Salah satu contoh adalah konflik yang terjadi antara masyarakat adat dengan Badan Pengusahaan (BP) Batam terkait rencana pembangunan kawasan wisata baru, Rempang Eco City. Konflik ini menimbulkan korban jiwa dan kerusakan harta benda.
Baca Juga: Investor Pulau Rempang, Xinyi Group, Ternyata Tak Masuk Daftar 10 Perusahaan Kaca Terbesar Dunia