Find Us On Social Media :

Kisah Hidup dan Kematian Njono Prawiro, Sekjen II PKI yang Divonis Mati

By Afif Khoirul M, Senin, 25 September 2023 | 11:15 WIB

Ilustrasi - Para tokoh PKI dalam peristiwa 30S PKI

Intisari-online.com - Njono Prawiro adalah seorang aktivis buruh dan politikus Indonesia yang menjadi salah satu petinggi Partai Komunis Indonesia (PKI).

Ia lahir di Cilacap pada 28 Agustus 1925 sebagai putra sulung dari seorang pegawai jawatan kereta api bernama Sastrodiredjo.

Sejak kecil, ia sudah tertarik dengan dunia pendidikan dan gerakan nasional.

Ia masuk Sekolah Rakyat Taman Siswa (Taman Muda) yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara, seorang tokoh pendidikan dan kemerdekaan Indonesia.

Kemudian lulus pada tahun 1938 dan melanjutkan ke Taman Guru, namun tidak selesai karena terlibat dalam pergerakan melawan penjajah Jepang.

Njono mulai bekerja sebagai dokumentor di sebuah surat kabar Asia Raya di Jakarta.

Di sana, ia bertemu dengan banyak tokoh nasionalis dan sosialis, seperti Tan Malaka, Amir Sjarifuddin, Musso, dan lain-lain.

Ia juga bergabung dengan Barisan Buruh Indonesia (BBI), sebuah organisasi buruh yang berhaluan kiri.

Pada 8 November 1945, ia menjadi salah satu pendiri Partai Buruh Indonesia (PBI), yang kemudian bergabung dengan PKI pada tahun 1951.

Ia juga menjadi sekretaris jenderal Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), sebuah federasi serikat buruh yang berafiliasi dengan PK.

Sebagai pemimpin buruh, Njono aktif mengorganisir dan memobilisasi para pekerja untuk menuntut hak-hak mereka.

Baca Juga: Kisah Seram Saksi Mata Tentang Peristiwa Kecelakaan Maut di Exit Tol Bawen

Kemudian juga menjadi juru bicara PKI dalam berbagai isu politik, seperti masalah agraria, hubungan internasional, dan demokrasi.

Ia dikenal sebagai orator yang cerdas dan berani.

Pada tahun 1953, ia diangkat menjadi Sekretaris Jenderal II PKI, yang bertanggung jawab atas bidang organisasi dan massa.

Kemudian juga menjadi anggota Politbiro CC PKI, yaitu badan tertinggi partai tersebut.

Pada saat peristiwa G30S 1965, Njono termasuk dalam daftar tokoh-tokoh PKI yang diculik dan dibunuh oleh kelompok militer yang menentang Presiden Sukarno.

Namun, ia berhasil lolos dari penculikan tersebut dan bersembunyi di Jakarta.

Ia sempat mengeluarkan sebuah pernyataan yang membantah keterlibatan PKI dalam G30S dan menyerukan kepada rakyat untuk mendukung Sukarno sebagai presiden seumur hidup.

Namun, pernyataan itu tidak banyak membantu.

Pada 21 Februari 1966, ia ditangkap oleh pasukan Kopkamtib di rumahnya di Jalan Ciputat Raya No. 17.

Njono kemudian diadili oleh Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub), sebuah pengadilan khusus yang dibentuk untuk menghukum para anggota PKI.

Dalam sidangnya, ia mengaku bahwa ia adalah anggota Politbiro CC PKI, tetapi menyangkal bahwa ia terlibat dalam G30S.

Ia juga mengungkapkan adanya Dewan Jenderal, yaitu sebuah kelompok militer yang berencana untuk menggulingkan Sukarno dengan cara-cara konstitusional atau tidak konstitusional.

Baca Juga: Soekarno dan Supersemar, Apa yang Sebenarnya Terjadi pada 11 Maret 1966?

Kemudiam mengatakan bahwa Dewan Jenderal terdiri dari beberapa jenderal seperti Nasution, Yani, Suharto, Gatot Subroto, dan lain-lain.

Njono juga mengkritik keras tindakan-tindakan represif yang dilakukan oleh pihak militer terhadap rakyat sipil, khususnya para simpatisan PKI.

Dia menyebutnya sebagai pembantaian massal yang tidak berperikemanusiaan.

Kemudian menuntut agar pemerintah menghentikan kekerasan tersebut dan mengadili para pelakunya.

Namun, pembelaannya tidak didengar oleh hakim. 

Ia divonis mati dengan tuduhan sebagai penghasut dan penggerak G30S. Ia dieksekusi dengan cara ditembak pada tahun 1966 atau 1967.

Tanggal dan tempat kematianya tidak diketahui secara pasti.

Njono Prawiro adalah salah satu tokoh PKI yang memiliki peran penting dalam sejarah Indonesia. 

Ia adalah seorang aktivis buruh yang berjuang untuk kepentingan rakyat.

Kemudian juga adalah seorang politikus yang berani mengkritik kekuasaan militer dan membela Presiden Sukarno.

Beliau meninggal dengan martabat sebagai seorang pejuang kemerdekaan dan demokrasi.