Find Us On Social Media :

Indonesia Mengenalnya Sebagai Penjahat Perang Paling Brutal, Sosok Ini Ternyata Lahir di Turki

By Moh. Habib Asyhad, Kamis, 31 Agustus 2023 | 16:00 WIB

Raymond Westerling, penjahat perang paling brutal yang telah membantai rakyat Sulawesi Selatan, ternyata lahir di Turki.

Raymond Westerling, penjahat perang paling brutal yang telah membantai rakyat Sulawesi Selatan, ternyata lahir di Turki.

Intisari-Online.com - Jika menyebut nama Raymond Westerling, di benak kita pasti sudah tertanam: dialah salah satu penjahat perang paling brutal setelah Indonesia merdeka.

Aksi-aksinya di Sulawesi Selatan sejak 1946 hingga 1947 dianggap sebagai salah satu yang terkejam selama zaman Perang Mempertahankan Kemerdekaan.

Tapi tak banyak yang tahu, Raymod Westerling ternyata tidak lahir di Belanda atau Indonesia.

Perwira tentara kerajaan Belanda itu ternyata lahir di Istanbul, Mesir.

Sebagai informasi, Westerling lahir sebagai anak kedua dari Paul Westerling dan Sophia Moutzou yang berdarah Yunani.

Karena lahir di Istanbul, Westerling dijuluki "Si Turki".

Sementara keterampilan militer dia dapat secara khusus di Skotlandia.

Westerling masuk dinas militer pada 26 Agustus 1941 di Kanada.

Pada 27 Desember 1941 dia tiba di Inggris dan bertugas di Brigade Prinses Irene di Wolverhampton, dekat Birmingham.

Westerling termasuk 48 orang Belanda sebagai angkatan pertama yang memperoleh latihan khusus di Commando Basic Training Centre di Achnacarry, di Pantai Skotlandia yang tandus, dingin dan tak berpenghuni.

Di situ, Westerling memang dipersiapkan untuk menjadi komandan pasukan Belanda di Indonesia.

Salah satu instruktur Westerling dalam pelatihan menyebut pelatihan itu sebagai "neraka di bumi".

Materi pelatihan tersebut di antaranya adalah perkelahian tangan kosong, pembunuhan diam-diam, 

Pelatihan dan pelajaran yang mereka peroleh antara lain "unarmed combat" (perkelahian tangan kosong), "silent killing" (penembakan tersembunyi), death slide, berkelahi dan membunuh tanpa senjata api, dan lain sebagainya.

Pada 15 Desember 1943, Westerling berangkat ke India untuk bertugas di bawah Laksamana Madya Mountbatten Panglima Komando Asia Tenggara.

Westerling tiba di India pada 15 Januari 1944 dan ditempatkan di Kedgaon.

Pada 20 Juli 1946, Westerling diangkat menjadi komandan pasukan khusus, Depot Speciale Troepen – DST (Depot Pasukan Khusus).

Westerling awalnya ditunjuk untuk sementara, tapi ternyata dia berhasil meningkatkan mutu pasukan menjelang penugasan ke Sulawesi Selatan.

Nama Westerling dielu-elukan dan dia dianggap sebagai pahlawan di Belanda setelah menumpas perlawanan republiken di Sulawesi Selatan.

Tapi bagi kalangan Indonesia, dia adalah penjahat perang.

Bagaimana pembantaian Westerling?

Pembantaian Westerling merupakan peristiwa pembunuhan ribuan rakyat sipil di Sulawesi Selatan pada Desember 1946 hingga Februari 1947.

Pembantaian dilakukan oleh pasukan khusus Belanda Depot Speciale Troepen (DST) di bawah pimpinan Raymond Pierre Paul Westerling.

Setelah memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Indonesia masih harus menghadapi Belanda yang ingin kembali menguasai Indonesia setelah Jepang pergi.

Di berbagai daerah, rakyat Indonesia harus berperang melawan pasukan Belanda.

Selain melakukan agresi militer, Belanda juga berusaha memecah Indonesia dengan mendirikan negara-negara boneka berbentuk negara federal.

Ini terjadi di Sulawesi Selatan.

Dalam Tragedi Patriot dan Pemberontak Kahar Muzakkar (2010), dijelaskan Belanda hendak mendirikan Negara Indonesia Timur (NIT) dengan Makassar sebagai ibu kotanya.

Pada akhir 1946, 120 orang dari pasukan khusus DST dan komandannya, Westerling, dikirim ke Makassar.

Mereka tiba dengan kapal pada 5 Desember 1946.

Mereka ditugasi untuk menumpas pemberontak.

Pemberontak adalah kelompok nasionalis atau republikein, rakyat revolusioner yang mendukung kemerdekaan Republik Indonesia.

Maarten Hidskes, putra Piet Hidskes, anggota DST, menuturkan kisah perang yang selama ini ditutupi ayahnya.

Dia menulis kekejaman Belanda dalam buku Di Belanda Tak Seorang Pun Mempercayai Saya: Korban Metode Westerling di Sulawesi Selatan 1946-1947 (2018).

Maarten menceritakan Westerling memulai operasinya pada 11 Desember 1946.

Sesampai di Makassar, dia membangun kamp di Mattoangin.

Pagi pagi hari, dari kamp, mereka bergerak ke kampung Batua.

Warga dari kampung sekitar yakni Borong, Patunuang, Parang, dan Baray juga dibariskan di lapangan rumput.

Westerling mencari para pendukung kemerdekaan yang melawan Belanda.

Dia menanyakan siapa saja yang ikut Wolter Monginsidi memberontak.

Di hadapan penduduk, mereka yang dicurigai dan dituduh, ditembak mati di tempat. Kekejaman itu mengawali operasi Westerling selama tiga bulan ke depan.

Para pria dan pemuda diminta mengakui keterlibatan mereka dalam perlawanan terhadap Belanda.

Di depan keluarga, mereka disiksa sebelum akhirnya ditembaki.

Rumah-rumah dibakar dan diledakkan dengan granat.

"Engkau sekalian sekarang sudah melihat apa yang terjadi jika mendukung para teroris dan pengacau. Harap ini dicamkan benar-benar," ancam Westerling kepada mereka yang masih hidup.

Kemudian pada 1 Februari, DST dan KNIL menggelar operasinya di Galung Lombok.

Sebanyak 364 orang tewas.

Operasi Westerling berlangsung selama lebih dari tiga bulan, dari 5 Desember 1946 hingga 21 Februari 1947.

Sedikitnya 40.000 orang tewas dibantai Westerling dan pasukannya.

Pembantaian Westerling menjadi salah satu tragedi terkelam bangsa Indonesia.

Kekejaman itu meninggalkan penderitaan dan trauma yang mendalam.

Pihak Belanda justru menyelamatkan Westerling ketika hendak diadili.

Westerling kabur ke Singapura dan Belgia sebelum pulang ke kampung halamannya di Belanda.

Upaya ekstradisi sejak tahun 1950-an tak membuahkan hasil.

Westerling hanya sempat dipenjara selama beberapa minggu di Singapura dan Belanda.

Pada 1954, Dewan menteri menyatakan bahwa Westerling dan komandan perang lainnya tak dituntut.

Di Belanda, ia dipuja-puja bak pahlawan.

Jumlah korban yang diakui Belanda hanya 2.000.

Belanda sendiri baru mengakui dan meminta maaf atas kejahatan itu 67 tahun setelahnya.

Pada 12 September 2013, Pemerintah Belanda lewat Duta Besarnya Tjeerd de Zwaan meminta maaf untuk semua eksekusi-eksekusi tanpa pengadilan di seluruh Nusantara pada periode 1945-1950.

Di tahun 2013, 10 janda yang suaminya menjadi korban eksekusi di Sulawesi Selatan mendapat ganti rugi sebesar 20.000 euro (Rp 296 juta).

Namun tidak semua mendapat ganti rugi karena terbentur status dan masa gugatan.