Sultan Hamid II adalah perancang lambang negara Garuda Pancasila, tapi dia juga dituduh sebagai pengkhianat dan bersekongkol dengan Raymond Westerling.
Intisari-Online.com -From hero to zero, begitulah kehidupan yang dialami oleh Sultan Hamid II.
Namanya menjadi agung karena dialah sosok yang merancang lambang negara Garuda Pancasila, tapi dia segera jadi pesakitan setelah dianggap berkhianat terhadap NKRI.
Musababnya, dia dituduh bersekongkol dengan Raymond Westerling, perwira militer Belanda berdarah dingin.
Sultan Syarif Abdul Hamid Al-Qadrie, dikenal sebagai Sultan Hamid II, merupakan sultan ke-7 Kesultanan Qadriyah Pontianak.
Dia lahir di Pontianak, Kalimantan Barat, pada 12 Juli 1913, bertepatan dengan 7 Sya'ban 1331 H.
Sultan Hamid II merupakan putra dari Sultan Pontianak ke-6, Sultan Syarif Muhammad Al-Qadrie dari istri ketiganya yang bernama Syecha Jamilah Syarwani.
Sultan Hamid II bertakhta setelah ayahnya meninggal pada 1944 karena ditangkap dan dibunuh oleh Jepang.
Sultan Hamid II menggantikan ayahnya sebagai Sultan Pontianak pada 29 Oktober 1945.
Tiga tahun setelahnya, melalui surat Keppres RIS No. 1 Tahun 1949, tanggal 18 Desember 1949, Sultan Hamid II dipercaya untuk menjadi salah satu kabinet formatur bersama-sama dengan Mohammad Hatta, Ide Anak Agung Gde Agung, dan Sri Sultan HB IX.
Selanjutnya, melalui surat Keppres RIS No. 2 Tahun 1949, tanggal 20 Desember 1949, Sultan Hamid II diangkat sebagai Menteri Negara Portofolio.
Sebagai Menteri Negara Portofolio, Sultan Hamid II diberi tugas mempersiapkan berbagai kebutuhan sidang kabinet dan mengkoordinasikan perancangan Lambang Negara Indonesia.
Sesuai dengan ucapan Ir. Soekarno, bahwa hendaknya lambang negara mencerminkan pandangan hidup bangsa dan dasar negara Indonesia.
Maka Sultan Hamid II memvisualisasikan kelima sila dari Pancasila untuk dijadikan lambang negara.
Pada 10 Januari 1950, dibentuk panitia teknis dengan nama Panitia Lambang Negara di bawah komando Sultan Hamid II bersama personel lainnya, seperti Mohammad Yamin, Ki Hajar Dewantara, M.A. Pellaupessy, Mohammad Natsir, dan R.M. Ng. Poerbatjaraka.
Panitia ini bertugas untuk menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan kemudian diajukan ke pemerintah.
Pada akhirnya, Sultan Hamid II dan panitia lain memutuskan untuk menggunakan Garuda Pancasila sebagai lambang negara Indonesia.
Presiden Soekarno kemudian berpidato di hadapan sidang Istana Negara dalam rangka sosialisasi Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 1958, tentang Penggunaan Lambang Negara.
Republik Indonesia Serikat (RIS) menetapkan Elang Rajawali-Garuda Pancasila sebagai Lambang Negara terhitung sejak 11 Februari 1950.
Empat hari kemudian, 15 Februari 1950, Soekarno memperkenalkan lambang negara Garuda Pancasila ke masyarakat untuk pertama kalinya di Hotel Des Indes (sekarang Pertokoan Duta Merlin, Jakarta Pusat).
Hotel Des Indes dipilih sebagai tempat mengumumkan lambang negara Indonesia karena pada masa itu dikenal sebagai hotel paling mewah dan bergengsi di Jakarta.
Dianggap berkhianat
Selain dituduh bersekongkol dengan Westerling dalam peristiwa APRA 1950 di Bandung, Sultan Hamid II juga dituduhmembunuh sejumlah menteri walau tak terbukti.
Anshari Dimyati, ketua Yayasan Sultan Hamid II, kepada BBC News Indonesia seperti dilansir Kompas.com, telah menempuh jalan panjang untuk 'memulihkan' nama Sultan Hamid dari tuduhan terlibat peristiwa kudeta Westerling pada 1950.
Melalui penelitian tesis magisternya di Universitas Indonesia, dia menyimpulkan bahwa pria yang meninggal pada 1978 itu hanya berniat, tetapi tidak pernah melakukan penyerangan dan membunuh tiga dewan Menteri RIS pada 1950.
Hasil temuan Anshari juga menyimpulkan, bahwa perwira lulusan Akademi militer Belanda itu bukan "dalang" peristiwa APRA di Bandung awal 1950.
"Dia bukan orang yang memotori atau bukan orang di belakang penyerangan Westerling atas Divisi Siliwangi di Bandung," katanya.
Segala tuduhan yang dilekatkan pada Sultan Hamid berawal ketikapada 17 Agustus 1950 membubarkan Negara RIS dan kembali kepada Negara Kesatuan.