Dibui Tanpa Jeruji, Inilah Kisah Para Eksil di Balik Peristiwa 1965 yang Pertanyakan Nasibnya Jika Jokowi Lengser

Afif Khoirul M

Penulis

Eksil 1965 merupakan salah satu dampak tragis dari peristiwa 1965 yang belum terselesaikan secara tuntas.

Intisari-online.com - Peristiwa 1965 yang melibatkan Gerakan 30 September (G30S) dan pembantaian massal terhadap anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Telah menimbulkan banyak korban, baik yang tewas, ditangkap, maupun diasingkan.

Salah satu kelompok korban yang kurang mendapat perhatian adalah para eksil 1965, yaitu mereka yang terpaksa meninggalkan Indonesia dan hidup di luar negeri karena dicabut paspor dan identitasnya oleh rezim Orde Baru.

Menurut sejarawan Asvi Warman Adam dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), tidak ada angka yang jelas berapa jumlah warga Indonesia yang tidak bisa kembali ke tanah air akibat peristiwa 1965.

Namun pada awal 1960an, ribuan orang dikirim ke luar negeri oleh Presiden Soekarno saat itu untuk melanjutkan pendidikan, sebagai utusan Indonesia dalam organisasi, atau sebagai diplomat.

Banyak di antara mereka yang "mengembara" dari satu negara ke negara lain setelah paspor mereka dicabut karena "dibayangi ketakutan bahwa mereka akan dipulangkan dan di Indonesia akan ditangkap".

Sejarawan Bonnie Triyana menyebut mereka sebagai "eksil-eksil yang dibui tanpa jeruji karena sama seperti korban di Indonesia, tak bisa melakukan sesuatu sebebas manusia lainnya".

"Berdasarkan riset saya yang terjadi pada 1965-1966 dan juga 1969, urusan ideologi tak lagi relevan, siapapun yang dianggap bahaya bagi kemunculan Orde Baru dihabisin, apakah dia nasionalis, komunis, atau kalangan agama," kata Bonnie, Pemimpin Redaksi Majalah Historia.

Beberapa negara yang menjadi tempat tinggal para eksil 1965 antara lain adalah China, Vietnam, Rusia, Ceko, Belanda, Swedia, Prancis, Jerman, dan Australia.

Di sana mereka berusaha bertahan hidup dengan berbagai cara, seperti bekerja sebagai buruh, guru, penulis, aktivis, atau pengusaha.

Mereka juga tetap menjalin komunikasi dan solidaritas dengan sesama eksil melalui organisasi-organisasi seperti Persatuan Eksil Politik Indonesia (PEPI), Persatuan Pelajar Indonesia (PPI), atau Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari).

Baca Juga: Peristiwa Penculikan Dan Penganiayaan Hingga Tewas Oleh Oknum Paspampres, Benarkah Korban Jualan Obat Ilegal?

Namun tidak semua eksil 1965 merasa nyaman dan aman di negara tempat mereka bermukim.

Beberapa di antara mereka mengalami diskriminasi, intimidasi, atau bahkan deportasi karena alasan politik atau sosial.

Misalnya Tom Iljas, seorang eksil yang tinggal di Swedia sejak tahun 1970.

Dia pernah dideportasi dari Malaysia saat mencoba ziarah ke makam orang tuanya di Sumatera Barat pada tahun 1974.

Dia juga pernah ditolak masuk ke Singapura saat ingin menghadiri pemakaman adiknya pada tahun 1988.

Selain itu ada juga Siswati Sastrodihardjo atau Sis yang tinggal di Jerman sejak tahun 1974.

Dia pernah dimaki dengan stigma "tante Gerwani" oleh tetangganya di Jerman hanya karena beda pendapat tentang politik.

Gerwani adalah singkatan dari Gerakan Wanita Indonesia yang dituduh terlibat dalam pembunuhan para jenderal pada peristiwa G30S.

Sis mengaku trauma dengan cap tersebut karena ibunya pernah ditangkap dan disiksa dengan tuduhan sebagai anggota Gerwani.

Meskipun menghadapi berbagai kesulitan dan tantangan, para eksil 1965 tetap memiliki harapan untuk kembali ke tanah air dan mendapatkan pengakuan serta pemulihan hak-hak mereka sebagai warga negara Indonesia.

Namun harapan itu baru mulai terwujud pada era reformasi setelah jatuhnya rezim Orde Baru pada tahun 1998.

Baca Juga: Peristiwa Kematian Putri Diana Diyakini Tak Sekadar Kecelakaan Tragis, Ada Teori Konspirasi Yang Menyelimutinya

Sejak saat itu beberapa eksil berhasil pulang ke Indonesia dengan berbagai cara, seperti menggunakan paspor asing, visa turis, atau izin khusus dari pemerintah.

Salah satu presiden yang berupaya membuka pintu bagi para eksil 1965 untuk pulang adalah Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang menjabat pada tahun 1999-2001.

Gus Dur pernah mengeluarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 2000 tentang Pengembalian Hak-Hak Korban Peristiwa Politik Tahun 1965-1966.

Namun kebijakan ini tidak berjalan lancar karena mendapat tentangan dari sejumlah pihak, termasuk militer dan parlemen.

Setelah Gus Dur, upaya pemulihan hak para eksil 1965 kembali terhenti hingga masa pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi yang menjabat sejak tahun 2014.

Jokowi mengambil langkah-langkah penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat masa lalu, termasuk peristiwa 1965, dengan cara memberikan layanan keimigrasian khusus hingga bantuan alih status kewarganegaraan kepada para eksil yang ingin pulang, meninggal, dan dimakamkan di tanah air.

Pada bulan Juni 2023, Jokowi juga berencana menyatakan bahwa 39 eksil yang masih hidup bukan pengkhianat negara dan tidak terlibat dalam G30S.

Keputusan ini diambil berdasarkan hasil penelitian dari Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk pada tahun 2019.

Namun kebijakan ini menuai kritik dari sejumlah pihak, termasuk para korban dan aktivis HAM, yang menilai bahwa penyelesaian non-yudisial tidak cukup untuk mengungkap kebenaran dan keadilan sejarah.

Para korban dan aktivis HAM menuntut agar pemerintah tidak hanya memberikan fasilitas administratif kepada para eksil, tetapi juga meminta maaf secara resmi, mencabut TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966, dan menghapus stigma negatif terhadap korban peristiwa 1965.

Mereka juga mempertanyakan kriteria pengkhianat negara, asal usul angka 39 orang, dan bagaimana dengan sisanya.

Baca Juga: Latar Belakang Munculnya Peristiwa APRA di Bandung Tahun 1950 adalah Polah Sosok Ini

Selain itu mereka juga mempertanyakan kelanjutan kebijakan ini jika Jokowi lengser pada tahun 2024.

Menanggapi kegelisahan para korban, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan bahwa kebijakan pemerintah akan terus berlanjut meskipun Jokowi tidak lagi menjabat.

Menurut Mahfud, mendapatkan izin kembali ke tanah air hingga kembali menyandang status warga negara Indonesia (WNI) merupakan hak para eksil 1965.

"Terus Pak, pasti terus, karena kan ini kebijakan berlaku bagi Bapak-Bapak dan diberikan sekarang dan tidak akan terputus," kata Mahfud saat bertemu dengan para eksil di Praha, Ceko pada bulan Agustus 2023.

Eksil 1965 merupakan salah satu dampak tragis dari peristiwa 1965 yang belum terselesaikan secara tuntas.

Para eksil yang hidup di luar negeri selama puluhan tahun masih merindukan tanah air dan mengharapkan penghargaan atas jasa-jasa mereka kepada bangsa dan negara.

Pemerintah Indonesia memiliki tanggung jawab moral dan konstitusional untuk memulihkan hak-hak mereka sebagai warga negara Indonesia tanpa diskriminasi dan stigmatisasi.

Penyelesaian non-yudisial yang dilakukan oleh pemerintah saat ini perlu didukung oleh upaya-upaya lain yang lebih komprehensif dan partisipatif agar tidak menimbulkan ketimpangan dan ketidakpuasan di kalangan korban.

Artikel Terkait