Penulis
Peristiwa pembantaian Westerling yang dipimpin Raymon Westerling disebut menewaskan hingga 40 ribu warga sipil di Sulawesi Selatan dan sekitarnya.
Intisari-Online.com -Ada satu peristiwa mengerikan yang terjadi di Sulawesi Selatan dan sekitarnya di Zaman Revolusi Indonesia (1945-1949).
Peristiwa mengerikan itu disebut memakan korban hingga 40.000 orang, tersebar di seluruh Sulawesi Selatan.
Benar, yang kita maksud adalah peristiwa Pembantaian Westerling.
Pembantaian Westerling adalah peristiwa pembunuhan ribuan rakyat sipil di Sulawesi Selatan pada Desember 1946 hingga Februari 1947.
Pembantaian dilakukan oleh pasukan khusus Belanda Depot Speciale Troepen (DST) di bawah pimpinan Raymond Pierre Paul Westerling alias Raymond Westerling.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 Belanda ternyata masih gatel ingin menguasai Indonesia lagi.
Kondisi ini memaksa lahirnya laskar-laskar di beberapa wilayah dengan tujuan untuk mempertahankan kemerdekaan.
Masa ini dikenal sebagai zaman Revolusi Nasional Indonesia, sementara pihak Belanda mengenalnya sebagai zaman Bersiap.
Selain melakukan agresi militer, Belanda juga berusaha memecah Indonesia dengan mendirikan negara-negara boneka berbentuk negara federal.
Termasuk di Sulawesi Selatan.
Nah, ketika hendak Belanda hendak mendirikan Negara Indonesia Timur dengan ibu kota Makassar, terjadi pemberontakan Kahar Muzakkar.
Untuk mengatasi itu, pada akhir1946, 120 orang dari pasukan khusus DST pimpinan Westerling dikirim ke Makassar.
Mereka tiba dengan kapal pada 5 Desember 1946.
Mereka ditugasi untuk menumpas pemberontak yang merupakan kelompok republiken dan nasionalis.
Maarten Hidskes, putra Piet Hidskes, anggota DST, menuturkan kisah perang yang selama ini ditutupi ayahnya.
Dia menuliskan kekejaman Belanda dalam buku Di Belanda Tak Seorang Pun Mempercayai Saya: Korban Metode Westerling di Sulawesi Selatan 1946-1947 (2018).
Maarten menceritakan Westerling memulai operasinya pada 11 Desember 1946.
Sesampainya di Makassar, dia membangun kamp di Mattoangin.
Pagi pagi hari, dari kamp, mereka bergerak ke kampung Batua.
Warga dari kampung sekitar yakni Borong, Patunuang, Parang, dan Baray juga dibariskan di lapangan rumput.
Westerling mencari para pendukung kemerdekaan yang melawan Belanda.
Dia lalu bertanya siapa saja yang ikut Wolter Monginsidi memberontak.
Di hadapan penduduk, mereka yang dicurigai dan dituduh, ditembak mati di tempat.
Kekejaman itu mengawali operasi Westerling selama tiga bulan ke depan.
Para pria dan pemuda diminta mengakui keterlibatan mereka dalam perlawanan terhadap Belanda.
Di depan keluarga, mereka disiksa sebelum akhirnya ditembaki. Rumah-rumah dibakar dan diledakkan dengan granat.
"Engkau sekalian sekarang sudah melihat apa yang terjadi jika mendukung para teroris dan pengacau. Harap ini dicamkan benar-benar," ancam Westerling kepada mereka yang masih hidup.
Lalu pada 1 Februari, DST dan KNIL menggelar operasinya di Galung Lombok, Polewali Mandar.
Sebanyak 364 orang tewas.
Operasi Westerling berlangsung selama lebih dari tiga bulan, dari 5 Desember 1946 hingga 21 Februari 1947.
Sedikitnya 40.000 orang tewas dibantai Westerling dan pasukannya.
Pembantaian Westerling menjadi salah satu tragedi terkelam bangsa Indonesia.
Kekejaman itu meninggalkan penderitaan dan trauma yang mendalam.
Pihak Belanda justru menyelamatkan Westerling ketika hendak diadili.
Westerling kabur ke Singapura dan Belgia sebelum pulang ke kampung halamannya di Belanda.
Upaya ekstradisi sejak tahun 1950-an tak membuahkan hasil. Westerling hanya sempat dipenjara selama beberapa minggu di Singapura dan Belanda.
Pada 1954, Dewan menteri menyatakan bahwa Westerling dan komandan perang lainnya tak dituntut.
Di Belanda, ia dipuja-puja bak pahlawan.
Jumlah korban yang diakui Belanda hanya 2.000.
Belanda sendiri baru mengakui dan meminta maaf atas kejahatan itu 67 tahun setelahnya.
Pada 12 September 2013, Pemerintah Belanda lewat Duta Besarnya Tjeerd de Zwaan meminta maaf untuk semua eksekusi-eksekusi tanpa pengadilan di seluruh Nusantara pada periode 1945-1950.
Di tahun 2013, 10 janda yang suaminya menjadi korban eksekusi di Sulawesi Selatan mendapat ganti rugi sebesar 20.000 euro (Rp 296 juta).
Namun tidak semua mendapat ganti rugi karena terbentur status dan masa gugatan.
Raja Belanda Willem-Alexander akhirnya menyampaikan permohonan maaf atas kekerasan yang dilakukan pihak Belanda setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.
Hal ini disampaikan Raja Willem di hadapan Presiden Joko Widodo saat melakukan kunjungan kenegaraan di Istana Kepresidenan, Bogor, Jawa Barat, Selasa (10/3/2020).