Penulis
Makam Sultan Pajang, Hadiwijaya, di Sragen. Barangkali penyesalan terbesar Sultan Pajang adalah mengangkat Panembahan Senopati sebagai pemimpin Mataram.
Intisari-Online.com -Sejak ditunjuk sebagai pemimpin di Mataram oleh Sultan Pajang, Sultan Hadiwijaya, Panembahan Senopati rupanya sudah menunjukkan gelagat mbalelo.
Salah satunya adalah keengganan Senopati untuk menghadap ke Istana Pajang.
Setidaknya dua kali Sultan Pajang mengirim utusan ke Mataram: meminta Panembahan Senopati untuk menghadap ke Pajang.
Tapi dua kali pula Sultan Pajang mendapatkan kekecewaan.
Indikasi pembangkangan Panembahan Senopati itu semakin terlihat dalam peristiwa yang melibatkan Ratu Sekar Kedaton dan Raden Pabelan.
Ratu Sekar Kedaton adalah putri Sultan Pajang, sementara Raden Pabelan adalah keponakan Senopati.
Kisah ini didasarkan pada cerita di Babad Tanah Jawi, sebagaimana dikisahkan ulang dalam buku Awal Kebangkitan Mataram karya H.J. De Graaf.
Di situ diceritakan:
Panembahan Senopati punya saudara ipar yang tinggal di Pajang, namanya Tumenggung Mayang.
Dia punya putra, namanya Raden Pabelan yang terkenal tampan dan rupawan.
Kerjanya merayu dan menggoda wanita.
Setiap disuruh kawin oleh ayahnya, dia tidak mau.
Karena putus asa, Mayang kemudian punya cara: menjebaknya supaya mencuri hati Ratu Sekar Kedaton.
Ratu Sekar Kedaton tinggal di istana dengan pengawalan yang sangat ketat.
Suatu ketika, atas nasihat ayahnya, Raden Pabelan ingin mengirimkan bunga cempaka kepada sang putri.
Bunga ini disebut bisa memabukkan setiap wanita.
Melalui abdinya, Soka, yang sedang berbelanja di pasar, Raden Pabelan mengirimkan sebungkus bunga wangi kering kepada sang putri.
Disertai juga sepucuk surat cinta.
Ternyata gayung bersambut, Raden Pabelan mendapat sambutan.
Dia diundang datang ke istana saat malam hari.
"Raden, Raden ditunggu oleh sang putri malam ini, beliau akan mempersiapkan makan dan pakaian," begitu kata Soka, dikutip dari buku tersebut di atas.
Sekali lagi, Raden Pabelan minta bantuan ayahnya agar bisa masuk ke istana tanpa sepengetahuan penjaga.
Sesampainya di luar pagar tembok keraton, Tumenggung Mayang mengucap mantra sembari mengusap pagar tembok keraton itu.
Sekonyong-konyong, pagar itu merendah sebentar, untuk memberi kesepata kepada Raden Pabelan, lalu meninggi lagi.
Sialnya, saat hendak pulang, Pabelan gagal merendahkan tembok itu, ayahnya rupanya memberi mantra yang salah.
"Pabelan lalu memanfaatkan kesempatan yang ada dengan sebaik-baiknya, dan bercumbu rayu demgam putri itu selama tujuh hari tujuh malam," tulis De Graaf.
Kejadian itu akhirnya diketahui oleh salah seorang pelayan yang langsung melaporkannya kepada Sultan Pajang.
Tanpa pikir panjang, Sultan langsung memerintahkan dua panglima tamtama, Wirakerti dan Suratanu, menangkap Pabelan.
Dua panglima itu membawa serta 22 prajurit.
Wirakerti yang cerdik berhasil memancing Pabelan.
Begitu Pabelan keluar, dia langsung menusuk keponakan Senopati itu hingga tewas.
Jenazah Pabelan lalu dilemparkan ke Sungai Laweyan.
Tumenggung Mayang juga kena getahnya, dia dibuang ke Semarang dengan dikawal 80 mantri Pajang dan seribu orang.
Tak lama berselang, istri Mayang, langsung mengirim utusan kepada Senopati, memberitahukan soal kabar dibuangnya Tumenggung Mayang.
Senopati tentu sangat marah.
Dia lalu menyeru kepada mantri-mantrinya untuk menyelamatkan adik iparnya, bagaimanapun caranya.
Mantri-mantri loyalis Senopati itu berhasil menghadang rombongan dari Pajang di sekitar Jatijajar, dekat Ungaran, dan langsung menyerang rombongan itu.
Rombongan Pajang banyak yang terbunuh, ada yang terluka dan melarikan diri.
Tumenggung Mayang sendiri berhasil dibebaskan dan dibawa ke Mataram.
Mereka yang melarikan diri berhasil sampai ke Pajang dan langsung melaporkan apa yang sudah terjadi.
Sultan Pajang pun sadar, "Senapati in Alaga benar-benar memberontak, karena ia sudah memulai perlawanan."