Find Us On Social Media :

Hitoshi Imamura, Jenderal Jepang yang Paling Ramah Ketika Menjajah Indonesia

By Afif Khoirul M, Sabtu, 8 Juli 2023 | 14:40 WIB

Foto Hitoshi Imamura Jenderal Jepang yang ramah saat menjajah Indonesia.

Intisari-online.com - Hitoshi Imamura adalah seorang jenderal di Angkatan Darat Kekaisaran Jepang yang bertanggung jawab atas penjajahan di Indonesia, atau yang dulu dikenal sebagai Hindia Belanda, selama Perang Dunia II.

Ia terlahir pada 28 Juni 1886 di kota Sendai, prefektur Miyagi, dan putra dari seorang hakim.

Ia tamat dari Akademi Angkatan Darat Kekaisaran Jepang pada 1907 dan menjalani karier militer dengan berbagai posisi.

Termasuk atase militer di Inggris dan British India, komandan Divisi 5 IJA di China, dan wakil inspektur jenderal pelatihan militer.

Pada November 1941, Imamura ditunjuk sebagai panglima Angkatan Darat ke-16 IJA dan ditugaskan untuk menaklukkan Hindia Belanda.

Pada 28 Februari 1942, saat konvoi kapalnya melalui Selat Sunda, ia menghadapi bencana ketika kapal angkutnya, Shinshu Maru, tenggelam oleh torpedo, kemungkinan besar oleh tembakan kawan sendiri.

Ia harus berenang ke pantai dan selamat dari serangan udara sekutu.

Setelah berhasil menguasai Jawa, Imamura menjadi panglima Tentara ke-16 sekaligus gubernur jenderal di Jawa periode Maret-November 1942.

Selama masa jabatannya, ia menerapkan kebijakan yang lebih lembut terhadap penduduk lokal Indonesia, yang sering berlawanan dengan opini dan rencana staf senior Tentara Selatan dan Markas Besar Umum Kekaisaran.

Ia mengizinkan penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi, memperbolehkan berdirinya organisasi politik dan sosial seperti Putera dan Masyumi.

Mendukung pergerakan kemerdekaan Indonesia dengan memberikan bantuan militer dan pelatihan kepada pemuda-pemuda Indonesia seperti Sukarno dan Hatta, dan mengurangi tekanan kerja paksa (romusha) terhadap rakyat.

Baca Juga: Nyai Roro Kidul, Benarkah Cuma Sosok Rekaan Panembahan Senopati Dalam Babad Tanah Jawi?

Pada November 1942, Imamura dipindahkan ke Kepulauan Solomon dan Papua Nugini sebagai panglima Tentara ke-8 IJA.

Ia bertanggung jawab atas pertahanan Jepang di wilayah tersebut hingga akhir perang.

Ia menyerah kepada pasukan Australia pada September 1945 dan ditahan sebagai tawanan perang.

Kemudian diadili oleh Pengadilan Militer Internasional untuk Timur Jauh karena tuduhan kejahatan perang dan dihukum penjara seumur hidup.

Lalu dia dibebaskan pada 1954 karena alasan kesehatan dan meninggal pada 4 Oktober 1968 di Tokyo.

Hitoshi Imamura adalah salah satu contoh jenderal Jepang yang berbeda dalam penjajahan Indonesia.

Ia tidak hanya memimpin pasukan militernya dengan keberanian dan profesionalisme, tetapi juga memperlihatkan sikap yang bersahabat dan peduli terhadap rakyat Indonesia.

Ia dihormati oleh banyak tokoh nasionalis Indonesia sebagai salah satu pendukung kemerdekaan Indonesia.

Berikut adalah lanjutan artikel yang saya buat:

Meskipun Imamura memiliki sikap yang berbeda dalam penjajahan Indonesia, ia tetap menjalankan misi Jepang untuk menguasai sumber daya alam dan tenaga kerja di wilayah tersebut.

Ia juga terlibat dalam perundingan dengan Belanda untuk menyerahkan kedaulatan Hindia Belanda kepada Jepang melalui Perjanjian Kalijati pada 8 Maret 1942.

Baca Juga: 47 Tahun Yang Lalu Satelit Pertama Indonesia Palapa A1 Diluncurkan, Ternyata Sosok Ini Yang Memilih Namanya

Perjanjian ini ditandatangani oleh Jenderal Ter Poorten, panglima tertinggi pasukan Belanda di Hindia Belanda, dan Imamura sebagai wakil Jepang.

Imamura juga menghadapi tantangan dari gerakan perlawanan Indonesia yang tidak puas dengan kebijakan Jepang.

Salah satu contohnya adalah Pemberontakan PKI Madiun pada September 1948, yang dipicu oleh keputusan Jepang untuk membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan menangkap para pemimpinnya.

Imamura mengirim pasukan untuk menumpas pemberontakan tersebut dengan bantuan Sukarno dan Hatta, yang saat itu sudah menjadi presiden dan wakil presiden Republik Indonesia.

Imamura juga berperan dalam mendukung kemerdekaan Indonesia dari Belanda, yang mencoba merebut kembali wilayahnya setelah Jepang menyerah pada Agustus 1945.

Kemudian memerintahkan pasukannya untuk tidak menyerahkan senjata kepada Belanda, tetapi kepada pihak Indonesia.

Juga membantu mengorganisir Konferensi Investigasi Komite Tiga Negara (KTN) di Jakarta pada Januari 1946, yang melibatkan perwakilan dari Indonesia, Belanda, dan Jepang.

Konferensi ini bertujuan untuk menyelesaikan masalah status politik Indonesia dan nasib tawanan perang Jepang.