Pakaian Adat Kulawi Mataue yang Ramah Lingkungan dari Kulit Pohon Beringin

Ade S

Penulis

Ulfi Diasi (20 tahun) menggunakan pakaian tradisional Kulawi di Desa Mataue. Halili (baju) dan topi (rok) dibuat dari bahan alami, yakni kulit kayu beringin. Menggunakan bahan alami tidak menyebabkan limbah tekstil yang mencemari sungai. Masyarakat adat juga menjaga pohon beringin agar tidak rusak,

Intisari-Online.com -Pakaian modern saat ini banyak menggunakan bahan kimia beracun dalam proses pembuatannya. Hal ini menyebabkan pencemaran air saat pakaian dicuci dan limbah tekstil saat pakaian dibuang. Penelitian pada tahun 2019 menunjukkan bahwa lebih dari 18.000 limbah tekstil telah mengotori Teluk Jakarta.

Namun, ternyata ada tradisi berpakaian yang ramah lingkungan dari leluhur kita di Sulawesi Tengah. Mereka adalah masyarakat adat Kulawi yang tinggal di Desa Mataue. Mereka membuat pakaian dari bahan alami, yaitu kulit pohon.

Masyarakat adat Kulawi Sigi tidak menebang atau merusak pohon untuk membuat pakaian. Mereka memilih pohon beringin (Ficus benjamina) yang memiliki batang besar sebagai sumber bahan pakaian tradisional mereka.

"Memang kami, sebagian lahan masuk dengan Taman Nasional (Lore Lindu). Jadi, keterbatasan itu yang kami gunakan untuk membangkitkan kembali budaya-budaya (Kulawi)," ujar Hasna, Ketua Kelompok Kain Kulit Kayu saat ditemui di Potomu Ntodea/Pasar Warga di Taman Taiganja, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, pada Jumat, 23 Juni 2023.

"Dari salah satu desa yang masih melestarikan adat istiadat itu di Mataue. Jadi, kami masih melanjutkan pengetahuan orang tua ini, membuat pakaian dari kulit kayu—itu yang pasti. Kemudian kita kemarin masih bikin acara panen dengan tarian rego yang biasa digunakan untuk pesta syukuran," tambah Hasna.

Hasna dan rombongan dari Desa Mataue menampilkan pakaian tradisional dari kulit pohon beringin di gerai mereka dalam acara Pasar Warga. Acara ini diselenggarakan oleh Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL) sebagai bagian dari Festival Lestari V. Di depan gerai, terlihat halili (baju) dan topi (rok) yang terbuat dari kulit pohon beringin. Untuk pria, ada juga puruka hengke (celana) yang tidak dipajang di gerai.

Karena berbahan dari kulit kayu, pakaiannya cukup kaku tetapi daya tahannya bisa bertahun-tahun. Kepala Seksi Kesejahteraan Rakyat Desa Mataue Safrudin menjelaskan, cara pembuatannya adalah menguliti batang kayu pohon beringin. Agar tetap menjaga keberlanjutan, pohon dilarang ditebang.

Kemudian kulit kayu dilemaskan dengan daun levonu (Ficus septica/awar-awar). Proses ini disebut sebagai doki-doki. Pada proses ini, perajin menggunakan beberapa alat tradisional seperti tike dan tiva. Setelah itu, kulit direndam, direbus, dan dihancurkan oleh pola—semacam stik kayu. Terakhir, ditenun hingga menjadi pakaian yang bisa dipakai.

Sebagai ciri khas adat Kulawi, di bagian kepala menggunakan penutup yang disebut higa untuk laki-laki dan tali ennu untuk perempuan. Hari ini higa lebih umumnya berbahan kain, tetapi aslinya menggunakan kulit kayu seperti pakaiannya. Sementara tali ennu yang dipakai Hasna berasal dari manik-manik, yang pada awalnya berasal dari pandan di hutan.

Semakin tinggi higa dipakai, berarti pemakainya mempunyai posisi penting dalam masyarakat adat. Higa juga bisa dipakai oleh perempuan pembesar adat. Di dalam tenda gerai itu, saya menjumpai Tina Ngata Tobani. Tina Ngata adalah gelar untuk perempuan yang dituakan, karena beliau adalah anggota lembaga adat Kulawi di Mataue.

Mitologi asal-usul Mataue

Sebagai bagian dari suku Kulawi, Mataue adalah kawasan yang menarik di Sulawesi Tengah karena berada di dataran tinggi yang memiliki sumber mata air. "Sepintas orang yang datang ke kampung kami, itu [mengira sudah] pantas disebut [desa kami] sebagai Mataue, karena melihat adanya mata air di sana," kata Hasna.

Padahal, Mataue menyimpan cerita tentang leluhur mereka di desa yang pada akhirnya membentuk perkampungan. Mataue berada di dekat beberapa daerah seperti Palolo, Lindu dan Napu.

Konon dalam mitologi Kulawi, seorang pemburu dari Lindu datang ke Sungai Oo. Pria itu melihat seorang perempuan sendang "ambil air" di sungai, terang Hasna. Setelah mengikutinya, pemburu tersebut hendak melamar perempuan tersebut.

Namun, ia tidak memiliki mahar saat ditagih oleh orang tua sang perempuan. Maka ia memutuskan untuk menggunakan sungai atau air dari Sungai Oo sebagai maharnya. Baginya, sungai itu berharga karena telah mempertemukannya dengan sang perempuan.

Mahar dalam bahasa Kulawi adalah mata. Sementara Sungai Oo sendiri terkadang dilafalkan dengan ue. Sehingga, mataue berarti Sungai Oo atau air dari Sungai Oo yang dijadikan mahar.

(Afkar Aristoteles Mukhaer)

Baca Juga: Kabupaten Sigi Gelar Festival Lestari 5 untuk Mendorong Pembangunan Berbasis Alam

Artikel Terkait