Find Us On Social Media :

Walau 2 Kali Diserang Mataram Islam, VOC Ternyata Ngebet Berdamai Dengan Sultan Agung, Ditolak Mentah-mentah

By Moh. Habib Asyhad, Jumat, 23 Juni 2023 | 08:17 WIB

Gubernur Jenderal VOC pengganti Jan Pieterszoon Coen memutuskan membuat perundingan dengan Mataram Islam. Sultan Agung menolak.

Dia menyampaikan pesan bahwa Kompeni mengakui Sultan Agung sebagai Penguasa Tertinggi di Jawa.

Selain itu, VOC juga bersedia mengirim upeti ke Mataram setiap tahun yang dapat dianggap sebagai "uang sewa" atas tanah-tanah milik Mataram yang dijadikan tempat kediaman atau Kantor Dagang orang-orang Belanda.

Namun van Brouchum meminta jaminan bahwa utusan-utusan yang dikirim ke Mataram tidak akan dijadikan tawanan atau sandera.

Juga van Brouchum menyatakan bahwa Kompeni bersedia membayar sejumlah uang tertentu bagi pembebasan para tawanan.

Atau paling tidak, bagi keperluan ransum para tawanan itu.

Sungguh sial bagi van Brouchum! Utusan dari Mataram dengan tegas menolak semua bingkisan, pernyataan dan kesediaan Kompeni tadi.

Utusan Sultan berpesan agar segala bingkisan, pernyataan dan tanda takluk harus dikirim langsung ke hadapan Sultan.

Serta harus dibawa oleh paling sedikit dua orang Belanda yang mempunyai kedudukan tinggi di Batavia.

Sang utusan juga menyampaikan berita kepada van Brouchum.

Sebagai hukuman kepada Kompeni yang telah berani menghasut Blambangan melawan Mataram, Antonio Paulo, pimpinan serdadu Kompeni dalam misi van Maseyck yang ditawan di Jepara bulan April 1631, telah dilemparkan ke kandang buaya dan tewas menjadi mangsa hewan-hewan itu.

Apabila dalam waktu dekat tidak juga datang utusan yang diminta tadi ke Mataram, 24 orang rekan Antonio Paulo akan mengalami nasib serupa dengan komandan mereka.

Hasil perundingan di Tegal benar-benar merupakan pukulan bagi Kompeni.

Mereka benar-benar merasa direndahkan martabatnya.

Karena van Brouchum bertindak atas nama Gubernur Jenderal, maka Gubernur Jenderal Brouwer dipecat dari jabatannya dan digantikan oleh Antonie van Diemen.

Demikianlah, maka selama masa-masa pemerintahan Sultan Agung, tidak satu pun orang Belanda yang ditawan berhasil dibebaskan.

Ketika Sultan Agung wafat tahun 1645, barulah sisa tawanan itu dapat dibebaskan dengan tebusan atas perkenan raja yang baru, Sultan Amangkurat I.

Ternyata bahwa mereka itu hanya tinggal 33 orang.

Artinya, ke-24 anak buah Antonio Paulo mengalami nasib serupa seperti komandan mereka.

Mereka dilemparkan ke kandang buaya menjadi mangsa hewan ganas itu sesuai dengan ancaman yang diberikan Sultan Agung di Tegal.

(Ditulis oleh A.S. Wibowo. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi September 1977)