Intisari-online.com - Pada masa akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19, Nusantara menghadapi masa-masa sulit akibat campur tangan kolonial Belanda dan Inggris.
Salah satu peristiwa yang menandai perlawanan rakyat terhadap penjajah adalah pemberontakan yang dipimpin oleh Raden Ronggo Prawirodirdjo III, Bupati Wedana Mancanegara Timur Kasultanan Yogyakarta sekaligus Bupati Madiun.
Melawan tentara Belanda di bawah komando Gubernur Jenderal Belanda Herman Willem Daendels.
Raden Ronggo Prawirodirdjo III adalah anak dari Raden Ronggo Prawirodirdjo II, Bupati Madiun yang memiliki ilmu kebatinan tinggi dan dikenal sebagai tokoh yang berani melawan Belanda.
Raden Ronggo III mewarisi semangat perjuangan ayahnya dan juga memiliki ilmu kebatinan yang kuat.
Ia menikahi Gusti Bendoro Raden Ayu Maduretno, putri Sultan Hamengkubuwana II, dan mempunyai keturunan yang bernama sama: Raden Ayu Maduretno.
Sultan Hamengkubuwana II adalah raja kedua Kesultanan Yogyakarta yang memerintah selama tiga periode, yaitu 1792 – 1810, 1811 – 1812, dan 1826 – 1828.
Ia dikenal sebagai raja yang tegas dan anti terhadap Belanda.
Oleh karena itu, masa pemerintahannya menjadi salah satu periode pemerintahan yang penuh gejolak.
Konflik-konflik para putra Mangkubumi dan orang-orang Eropa menghiasi jalannya pemerintahan.
Pada tahun 1808, Daendels menggantikan Albertus Wiese sebagai Gubernur Jenderal Belanda di Hindia Belanda.
Baca Juga: Sosok Presiden Jokowi Ulang Tahun Hari Ini, Ternyata Begini Asal-Usul Nama Panggilan Jokowi
Daendels adalah seorang jenderal yang ambisius dan otoriter, yang bertujuan untuk memperkuat kekuasaan Belanda di Nusantara dengan cara apapun.
Ia melakukan berbagai reformasi administrasi, militer, ekonomi, dan infrastruktur, termasuk membangun Jalan Raya Pos sepanjang Pulau Jawa.
Daendels juga berusaha untuk menguasai kerajaan-kerajaan di Jawa, termasuk Yogyakarta dan Surakarta, dengan cara mengintimidasi, menekan, dan memecah belah para penguasa lokal.
Perjalanan Pemberontakan
Pemberontakan Raden Ronggo terjadi antara 20 November hingga 17 Desember 1810, sebagai akibat dari ketidakpuasan terhadap kebijakan-kebijakan Daendels yang merugikan rakyat dan keraton Yogyakarta.
Raden Ronggo mendapat dukungan dari sebagian besar bupati-bupati di wilayah timur Yogyakarta, serta dari Inggris yang saat itu bersaing dengan Belanda untuk menguasai Nusantara.
Raden Ronggo juga mendapat simpati dari Sultan Hamengkubuwana II, yang merupakan bekas mertuanya dan menyayanginya seperti anak sendiri.
Kemudian iamemulai pemberontakannya dengan menyerang pos-pos Belanda di wilayah timurnya.
Lalu, berhasil merebut beberapa pos penting, seperti Ngawi, Magetan, Caruban, Nganjuk, Kertosono, dan Jombang.
Ia juga mengirim utusan ke Inggris untuk meminta bantuan senjata dan pasukan.
Inggris yang saat itu berada di Malang, menyanggupi permintaan Raden Ronggo dan mengirimkan sekitar 300 tentara bersama dengan senjata dan amunisi.
Baca Juga: Kisah Menarik tentang Serangan Inggris ke Kerajaan Mataram Yogyakarta pada Abad ke-18
Daendels yang mendengar kabar pemberontakan Raden Ronggo, segera mengirimkan pasukan untuk menumpasnya.
Ia juga meminta bantuan dari keraton Yogyakarta dan Surakarta, dengan mengancam akan menyerang kedua kerajaan tersebut jika tidak membantu.
Sultan Hamengkubuwana II dan Sunan Pakubuwana IV tidak berani menolak permintaan Daendels, meskipun sebenarnya mereka tidak suka dengan kehadiran Belanda.
Mereka mengirimkan pasukan-pasukan mereka untuk bergabung dengan tentara Belanda dalam menghadapi Raden Ronggo.
Pertempuran antara pasukan Raden Ronggo dan pasukan gabungan Belanda-keraton terjadi di beberapa tempat, seperti Ngawi, Magetan, Caruban, Nganjuk, Kertosono, dan Jombang.
Pertempuran yang paling membara terjadi di Kertosono, di mana Raden Ronggo bertahan dengan gigih bersama dengan pasukan Inggrisnya.
Namun, akhirnya ia kalah jumlah dan kalah persenjataan dari musuhnya.
Ia pun memilih untuk gugur dengan cara menikam dirinya sendiri dengan tombaknya, yang kemudian ditusukkan oleh Pangeran Dipokusumo, adik Sultan Hamengkubuwana II yang menjadi panglima pasukan keraton.
Dampakpertempuran
Pemberontakan Raden Ronggo berakhir dengan kekalahan dan kematian sang pemimpin.
Daendels berhasil memadamkan pemberontakan tersebut dengan bantuan pihak keraton Yogyakarta dan Surakarta.
Baca Juga: Kerajaan Mataram Kuno: Sejarah, Raja-raja, dan Peninggalannya
Ia juga menangkap dan menahan beberapa tokoh yang diduga terlibat dalam pemberontakan, termasuk Sultan Hamengkubuwana II dan Pangeran Notokusumo, saudara Raden Ronggo.
Sultan Hamengkubuwana II kemudian digantikan oleh putranya yang pro-Belanda, yaitu Sultan Hamengkubuwana III.
Meskipun gagal, pemberontakan Raden Ronggo menjadi salah satu peristiwa yang menunjukkan semangat perlawanan rakyat Jawa terhadap penjajah Belanda.
Pemberontakan tersebut juga menjadi inspirasi bagi Pangeran Diponegoro, putra Sultan Hamengkubuwana III, untuk memimpin Perang Jawa melawan Belanda yang berlangsung dari tahun 1825 hingga 1830.
Perang Jawa adalah perang yang paling besar dan paling lama dalam sejarah Indonesia, yang melibatkan ratusan ribu pejuang dari berbagai daerah di Jawa.
Perang Jawa juga menjadi awal dari pergerakan nasional Indonesia untuk memperjuangkan kemerdekaan dari penjajahan asing.