Find Us On Social Media :

Dibongkar Jusuf Kalla Utang Pemerintah Indonesia Rp8.000 Triliun, Tetapi Menjadi Ancaman, Ini Penjelasannya

By Afif Khoirul M, Minggu, 11 Juni 2023 | 19:00 WIB

Ilustrasi - Utang pemerintah Indonesia.

Intisari-online.com - Mantan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla (JK) membantah bahwa utang pemerintah Indonesia yang mencapai Rp8.000 triliun menjadi ancaman bagi perekonomian nasional.

Menurutnya, pemerintah mampu mengelola utang dengan baik dan tetap menjaga kemampuan bayar dan kesinambungan fiskal.

JK mengatakan bahwa pemerintah tidak membayar utang sebesar Rp1.000 triliun per tahun seperti yang diberitakan oleh sejumlah media.

Ia menjelaskan bahwa angka tersebut merupakan jumlah utang yang jatuh tempo dan harus dilunasi oleh pemerintah setiap tahun.

"Utang itu kan ada jangka waktunya, jadi untuk yang jatuh tempo maupun untuk pembayaran utangnya sudah ada di dalam APBN dan itu masuk dalam strategi pembiayaan setiap tahun," kata JK dalam acara diskusi virtual yang diselenggarakan oleh Universitas Indonesia, Senin (5/6/2023).

JK menambahkan bahwa pemerintah juga membayar bunga utang setiap tahun, namun jumlahnya tidak sampai Rp1.000 triliun.

Berdasarkan data Kementerian Keuangan, realisasi pembayaran bunga utang pada 2022 sebesar Rp386,34 triliun, sedangkan pada 2021 sebesar Rp343,49 triliun.

"Jadi kalau ditambahkan, pembayaran pokok dan bunga utang pemerintah tidak lebih dari Rp500 triliun per tahun," ujar JK.

JK menilai bahwa utang pemerintah Indonesia masih dalam batas aman dan tidak perlu dikhawatirkan.

Ia mengatakan bahwa rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia per April 2023 sebesar 39,17 persen, jauh di bawah rata-rata negara-negara berkembang yang mencapai 71,5 persen.

"Utang itu tidak menjadi ancaman selama kita bisa menggunakannya untuk membangun infrastruktur, meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan mendorong pertumbuhan ekonomi," tutur JK.

Baca Juga: Utang Pemerintah Tembus Rp7.000 Triliun, Rakyat Harus Bayar Bunga Rp 9,9 Juta Per Detik!

Lantas dari mana sumber utang tersebut?

Menurut data Kementerian Keuangan, sebagian besar utang pemerintah berasal dari penerbitan surat berharga negara (SBN) sebesar Rp 5.580,02 triliun.

SBN adalah surat berharga yang diterbitkan pemerintah untuk mendapatkan dana dari investor dan memberikan imbal hasil atau keuntungan kepada investor tersebut.

SBN bisa diterbitkan dalam mata uang rupiah maupun valuta asing.

SBN dalam mata uang rupiah antara lain Surat Perbendaharaan Negara (SPN), Obligasi Negara Ritel (ORI), Sukuk Negara Ritel (SR), Obligasi Negara (ON), Sukuk Negara (SN), dan Savings Bond Ritel (SBR).

SBN dalam valuta asing antara lain Global Bond, Global Sukuk, Samurai Bond, dan Panda Bond.

Selain dari SBN, sumber utang pemerintah lainnya adalah pinjaman dari lembaga multilateral, bilateral, maupun komersial sebesar Rp 838,13 triliun.

Pinjaman multilateral adalah pinjaman yang berasal dari lembaga keuangan internasional yang anggotanya terdiri dari beberapa negara, seperti Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB), dan Bank Pembangunan Islam (IDB).

Pinjaman bilateral adalah pinjaman yang berasal dari negara lain atau lembaga keuangan yang dimiliki oleh negara lain, seperti Jepang melalui Japan International Cooperation Agency (JICA), Jerman melalui Kreditanstalt fur Wiederaufbau (KfW), dan Prancis melalui Agence Francaise de Developpement (AFD).

Pinjaman komersial adalah pinjaman yang berasal dari lembaga keuangan swasta, seperti bank, perusahaan asuransi, atau dana pensiun.

Pinjaman komersial biasanya memiliki bunga yang lebih tinggi daripada pinjaman multilateral atau bilateral.

Baca Juga: Belajar dari Peristiwa AS Terancam Gagal Bayar Utang, Ternyata Ini Alasan Negara Maju Punya Utang Selangit

Menurut JK juga menegaskan bahwa pemerintah tidak boleh takut berutang asal bisa menghasilkan nilai tambah yang lebih besar dari biaya utangnya.

Ia mencontohkan bahwa China adalah negara dengan utang terbesar di dunia, namun juga memiliki ekonomi terbesar kedua di dunia.

"Utang itu bukan masalah besar selama kita bisa mengelolanya dengan baik dan bertanggung jawab," pungkas JK.