Penulis
Intisari-online.com - Harmoko adalah seorang politikus dan jurnalis Indonesia yang berkiprah pada masa Orde Baru.
Ia menjabat sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dari tahun 1997 sampai 1999.
Merupakan faktor pengunduran diri presiden Soeharto saat demonstrasi mahasiswa yang besar dan meluas yang terjadi pada akhir Orde Baru.
Harmoko lahir pada 7 Februari 1939 di Patianrowo, Nganjuk, Jawa Timur.
Ia berasal dari keluarga biasa-biasa saja. Ayahnya bernama Asmoprawiro, seorang pegawai negeri sipil, dan ibunya bernama Soeriptinah, seorang ibu rumah tangga.
Harmoko mengidolakan sosok Soeharto sejak era 1950-an, ketika Soeharto masih menjadi Komandan Resimen Infanteri ke-15 di Jawa Tengah dan pengurus Persatuan Sepakbola Indonesia Solo (Persis).
Harmoko memulai karier sebagai jurnalis sejak muda.
Ia pernah bekerja di harian Merdeka pimpinan B.M. Diah, harian Kompas pimpinan Jakob Oetama, dan majalah Tempo pimpinan Goenawan Mohamad.
Ia juga pernah menjadi wartawan istana kepresidenan pada masa pemerintahan Soekarno. Harmoko makin sering bertemu Soeharto setelah gegeran G30S 1965.
Ia menjadi salah satu wartawan yang meliput peristiwa tersebut dan mendapat kepercayaan dari Soeharto untuk mengakses informasi penting.
Pada tahun 1977, Harmoko memutuskan untuk bergabung dengan Partai Golongan Karya (Golkar), partai politik yang didukung oleh pemerintah Orde Baru.
Baca Juga: Apa Itu Radithor yang Bikin Sosok Eben Byers Alami Rahang Lepas?
Ia kemudian menduduki berbagai jabatan penting di partai tersebut, seperti Ketua Dewan Pakar, Ketua Bidang Komunikasi Politik, Sekretaris Jenderal, dan akhirnya Ketua Umum.
Harmoko juga dipercaya oleh Soeharto untuk menjadi Menteri Penerangan selama tiga periode Kabinet Pembangunan (1983-1997).
Sebagai Menteri Penerangan, Harmoko bertugas sebagai juru bicara pemerintah dan penyebar informasi dari Orde Baru.
Ia dikenal sebagai ahli komunikasi massa dan cukup kreatif dalam mengemban tugasnya.
Pada zaman Harmoko jadi Menteri Penerangan, muncul Kelompok Pendengar, Pembaca, dan Pirsawan (Kelompencapir) serta Safari Ramadan.
Harmoko juga sering mengucapkan kalimat legendaris “menurut petunjuk Bapak Presiden” untuk menunjukkan loyalitasnya kepada Soeharto.
Namun, Harmoko juga pernah dicela oleh Soeharto karena dianggap tidak mampu mengatasi masalah pers yang kritis terhadap pemerintah.
Pada tahun 1994, Soeharto mengatakan kepada Harmoko, "Kalau kamu tidak bisa mengurus pers ini dengan baik, lebih baik kamu mundur saja".
Hal ini terjadi setelah majalah Tempo, Editor, dan Detik dilarang terbit oleh Departemen Penerangan karena meliput kasus pembelian pesawat F-16 oleh pemerintah.
Pada tahun 1997, Harmoko terpilih menjadi Ketua DPR dan Ketua MPR menggantikan Wahono.
Ia menjadi pemimpin lembaga legislatif di saat Indonesia dilanda krisis ekonomi dan politik yang hebat.
Demonstrasi mahasiswa menuntut reformasi dan pengunduran diri Soeharto semakin besar dan meluas.
Harmoko, yang selama ini dikenal sebagai pendukung setia Soeharto, akhirnya berubah sikap.
Ia menjadi salah satu tokoh yang mendesak Soeharto untuk mundur demi kepentingan bangsa.
Pada tanggal 19 Mei 1998, Harmoko mengadakan rapat khusus dengan anggota MPR untuk membahas situasi politik yang semakin kritis.
Dalam rapat tersebut, Harmoko menyampaikan pesan dari Soeharto yang mengatakan bahwa ia bersedia mundur jika MPR menghendakinya.
Harmoko juga menyatakan bahwa ia akan menggelar Sidang Istimewa MPR untuk membahas permintaan mundur Soeharto.
Pada tanggal 21 Mei 1998, Harmoko secara resmi menyampaikan permintaan mundur Soeharto kepada rakyat Indonesia melalui siaran televisi.
Setelah Soeharto mundur, Harmoko tetap menjabat sebagai Ketua DPR dan Ketua MPR hingga tahun 1999.
Ia juga sempat mencalonkan diri sebagai presiden dalam Sidang Umum MPR tahun 1999, tetapi kalah suara dari Abdurrahman Wahid.
Harmoko kemudian mengundurkan diri dari Golkar pada tahun 2007 dan bergabung dengan Partai Kerakyatan Nasional (PKN) yang didirikan oleh mantan Menko Polkam Susilo Sudarman.
Namun, partai tersebut tidak lolos verifikasi untuk ikut pemilu 2009.
Baca Juga: 6 Juni 1975, 6 Sosok Srikandi Ini Berhasil Persembahkan Piala Uber Pertama Untuk Indonesia
Harmoko meninggal dunia pada tanggal 4 Juli 2021 di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto, Jakarta, akibat COVID-19.
Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta, dengan upacara militer.
Harmoko meninggalkan seorang istri bernama Sri Romadhiyati yang juga meninggal karena COVID-19 pada bulan Juni 2021, dan empat orang anak.
Harmoko adalah sosok yang memiliki peran penting dalam sejarah kepemimpinan Soeharto.
Ia pernah menjadi pendukung setia, juru bicara, dan penyampai pesan mundurnya.
Ia juga pernah menjadi wartawan yang meliput peristiwa-peristiwa bersejarah di Indonesia.
Kisah hidupnya menunjukkan dinamika politik yang terjadi pada masa Orde Baru hingga Reformasi.