Di Balik Peristiwa Lengsernya Soeharto, Ini Alasan Dia Pilih Diksi 'Berhenti' Alih-alih 'Mundur'

Moh. Habib Asyhad

Penulis

Dalam pidato pengunduran dirinya sebagai presiden, Soeharto lebih memilih diksi 'berhenti' alih-alih 'mundur'. Yusril Ihza Mahendra jelaskan alasannya.

Dalam pidato pengunduran dirinya sebagai presiden, Soeharto lebih memilih diksi 'berhenti' alih-alih 'mundur'. Yusril Ihza Mahendra jelaskan alasannya.

Intisari-Online.com -21 Mei 1998 sekitar pukul 09.00 WIB, Soeharto resmi menyerahkan kursi kepresidenan kepada BJ Habibie.

Dan sejak itulah Orde Baru resmi tumbang.

Setidaknya ada dua sosok penting yang menyusun pidato pengunduran diri Soeharto ketika.

Mereka adalah Yusril Ihza Mahendra dan Saadillah, Menteri Sekretaris Negara, saat itu.

Yusril juga menjelaskan alasan Presiden Soeharto memilik diksi "berhenti" alih-alih "mundur".

Bagaimana cerita detik-detik Yusril menyiapkan pidato pengunduran diri Soeharto?

Sejak pulang dari Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G15 di Kairo, Mesir, pada 15 Mei 1998, isu mundurnya Soeharto dari kursi presiden sudah menggema.

Sementara itu, ketika Soeharto berada di Mesir, kondisi nasionalnya sudah panas-panasnya.

Pada 13 Mei 1998, terjadi kerusuhan di Jakarta dan beberapa kota besar lainnya di Indonesia.

Krisis moneter yang terjadi sejak 1997 adalah salah satu pemicu utamanya.

Dalam demonstrasi besar-besaran yang digalang oleh elemen mahasiswa, salah satu tuntutan yang paling mendesak ketika itu adalah mundurnya Soeharto.

Mereka juga menuntut terjadinya reformasi di berbagai lini.

Tuntutan itu mencapai puncaknya pada 21 Mei 1998, saat Presiden Soeharto secara resmi menyatakan berhenti sebagai Presiden Republik Indonesia.

Sebagai gantinya, Pak Harto menunjuk BJ Habibie yang sebelumnya adalah Wakil Presiden.

Pengumuman mundur tersebut disampaikan Soeharto di Istana Merdeka, sekitar pukul 09.00 WIB.

Dalam pidatonya, Soeharto mengakui bahwa langkah tersebut diambil setelah melihat perkembangan situasi nasional saat itu.

20 Mei 1998 malam, tepatnya di rumah Soeharto di Jalan Cendana, Menteng, Jakarta Pusat, Yusril Ihza Mahendra sibuk dengan urusan naskah pidato pengunduran Soeharto.

Saat itu Yusril adalah staf Sekretaris Negara.

Dia dipercaya menulis naskah-naskah pidato presiden selama Soeharto menjabat.

“Saya menyiapkan naskah pengunduran diri Pak Soeharto di belakang rumah beliau," katanya.

"Saya bersama Pak Saadillah (Mensesneg saat itu) sibuk berkoordinasi dengan Ketua Mahkamah Agung saat itu."

Malam itu juga Soeharto meminta Ketua Mahkamah Agung saat itu, Sarwata, untuk datang ke Istana Negara keesokan harinya, lengkap dengan jubahnya.

"Sampai pagi ketika selesai dan Pak Harto bilang, 'Saya mau nambahin kalimat kalau kabinet demisioner, Pak Habibie yang melanjutkan, terserah Pak Habibie mau membubarkan kabinet atau tidak'," cerita Yusril.

Dalam naskah pidato pengunduran diri, Soeharto menambahkan kalimatnya dan ditulis sendiri.

Bagian itu adalah, "Saya menyampaikan permohonan maaf pada seluruh rakyat Indonesia, selama 30 tahun saya menjalankan roda pemerintahan, saya memohon maaf apabila ada kesalahan yang disengaja maupun tidak disengaja".

"Setelah ditandatangan, saya dari rumah Pak Harto (berangkat) ke istana pukul 05.30 WIB,” kata Yusril.

Selain itu, kata Yusril, Soeharto memilih kata “berhenti” ketimbang “mundur” dalam naskah tersebut.

“Jika kalimatnya berhenti, persidangan di MPR tidak pernah selesai,” ujar Yusril.

“Jujur saja, saya sedikit was-was karena skenario turunnya Soeharto tidak lazim, terutama di bidang akademis. Tugas saya menjaga konstitusi negara. Jadi banyak sekali tantangan yang dihadapi,” katanya lagi.

Soeharto pun mengumumkan pengunduran dirinya sebagai presiden kedua RI di Istana Negara pada 21 Mei 1998, sekitar pukul 09.00 WIB.

Melalui pidato singkat, Soehato mengatakan, "Saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden RI, terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari ini, Kamis 21 Mei 1998".

Berikut ini isi lengkap pidato pengunduran diri Soeharto.

"Saudara-saudara sebangsa dan se-Tanah Air.

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Sejak beberapa waktu terakhir, saya mengikuti dengan cermat perkembangan situasi nasional kita, terutama aspirasi rakyat untuk mengadakan reformasi di segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara.

Atas dasar pemahaman saya yang mendalam terhadap aspirasi tersebut, dan terdorong oleh keyakinan bahwa reformasi tersebut perlu dilaksanakan secara tertib, damai dan konstitusional demi terpeliharanya persatuan dan kesatuan bangsa serta kelangsungan pembangunan nasional, saya telah menyatakan rencana pembentukan Komite Reformasi dan mengubah susunan Kabinet Pembangunan VII.

Namun demikian, kenyataan hingga hari ini menunjukkan Komite Reformasi tersebut tidak dapat terwujud karena tidak adanya tanggapan yang memadai terhadap rencana pembentukan komite tersebut.

Dalam keinginan untuk melaksanakan reformasi dengan cara yang sebaik-baiknya tadi, saya menilai bahwa dengan tidak dapat diwujudkannya Komite Reformasi maka perubahan susunan Kabinet Pembangunan VII menjadi tidak diperlukan lagi.

Dengan memperhatikan keadaan di atas, saya berpendapat sangat sulit bagi saya untuk dapat menjalankan tugas pemerintahan negara dan pembangunan dengan baik.

Oleh karena itu, dengan memperhatikan ketentuan Pasal 8 UUD 1945, dan setelah dengan sungguh-sungguh memperhatikan pandangan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dan pimpinan fraksi-fraksi yang ada di dalamnya, saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden Republik Indonesia, terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari ini, Kamis 21 Mei 1998.

Pernyataan saya berhenti dari jabatan sebagai Presiden Republik Indonesia, saya sampaikan di hadapan saudara-saudara pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang juga adalah pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat".

Artikel Terkait