Awalnya Karena Prajurit Mataram Islam Kesulitan Pangan, Ini Cerita Gudeg Yang Termaktub Dalam Serat Chentini

Moh. Habib Asyhad

Penulis

Gudeg berawal ketika prajurit Mataram Islam sedang melalukan babat alas di Alas Mentaok. Banyak pohon nangka yang ditebang.

Gudeg berawal ketika prajurit Mataram Islam sedang melalukan babat alas di Alas Mentaok. Banyak pohon nangka yang ditebang.

Intisari-Online.com -Solo maupun Jogja, dua-duanya sangat identik dengan gudeg.

Bagaimanapun juga, dua kota itu sangat identik dengan Mataram Islam, sementara gudeg adalah kuliner khasnya.

Semua berawal ketika pasukan Mataram Islam yang sedang membangun ibu kota kerajaan kekurangan pangan.

MenurutMurdijati Gardjito, profesor sekaligus peneliti di Pusat Kajian Makanan Tradisional (PKMT), Pusat Studi Pangan dan Gizi UGM, sejarah gudeg dimulai bersamaan dengan dibangunnya kerajaan Mataram Islam di alas Mentaok.

Dia meneruskan, ketika itu banyak pohon yang ditebang.

Di antara pohon-pohon itu ada pohon nangka, kelapa, juga melinjo.

Pohon-pohon itu ternyata menginspirasi para prajurit untuk membuat makanan dari bahan-bahan tersebut.

Karena yang bekerja saat itu jumlahnya banyak, maka makanan yang dibuat pun harus banyak.

Untuk proses memasaknya, harus diaduk, atau dalam bahasa disebuthangudek,menggunakan alat menyerupai dayung perahu.

Dari proses mengaduk (hangudeg) ini makananan yang diciptakan dari nangka muda ini disebut gudeg.

Selain itu, gudeg juga tercatat dalam karya sastra Jawa Serat Centhini.

Diceritakan di dalamnya, pada tahun 1600-an Raden Mas Cebolang tengah singgah di pedepokan Pengeran Tembayat yang saat ini berada di wilayah Klaten.

Di sana Pengeran Tembayat menjamu tamunya yang bernama Ki Anom dengan beragam makanan dan salah satunya adalah gudeg.

Gudeg sejatinya bukanlah makanan yang berasal dari lingkungan kerajaan, melainkan dari masyarakat.

Meskipun demikian, untuk menjadi makanan tradisional yang setenar saat ini, perlu proses yang panjang.

Murdijati Gardjito mengungkapkan karena gudeg perlu waktu memasak yang lama, pada awal abad 19 di Yogyakarta sendiri belum begitu banyak orang berjualan gudeg.

"Saking istimewanya, karena proses memasaknya yang lama dan pada waktu itu belum banyak yang berjualan, gudeg sering dijadikan makanan nadzar, atau wujud rasa sukur. Seperti jika anak sedang sakit, akan diajak makan gudeg jika nanti telah sembuh," cerita Murdijati Gardjito.

Kemudian pada tahun 1940-an bersamaan dengan ide Presiden Soekarno membangun universitas di Yogyakarta (UGM), gudeg mulai berkembang dan banyak dikenal masyarakat.

Dari sinilah gudeg kering juga mulai hadir.

Keinginan para mahasiswa luar daerah yang ingin menjadikan gudeg sebagai oleh-oleh menghadirkan gudeg kering yang dimasak di dalam kendil agar lebih tahan lama.

Pembangunan kampus UGM di daerah Bulaksumur, juga memunculkan kampung sentra gudeg Mbarek yang berdekatan.

"Karena banyaknya mahasiswa UGM dan mereka perlu makan, maka hadir kampung Mbarek yang di sana banyak penjual gudeg. Keberadaan kampung ini semakin membuat gudeg kering berkembang dengan baik," ungkap Murdijati Gardjito.

Seiring dengan berjalannya waktu, sektor wisata juga semakin berkembang.

Hal ini melatarbelakangi pemerintah untuk mengkontruksi sentra gudeg baru, yang berada di Wijilan sekitar tahun 1970-an.

Hingga saat ini gudeg telah menjadi ikon kuliner Yogyakarta, keberadaanya mudah ditemukan di setiap sudut kota Pelajar ini.

Gudeg pun telah berkembang dengan baragam varian.

Secara umum gudeg terbagi dalam dua jenis, yakni gudeg basah dan gudeg kering.

Gudeg basah adalah gudeg yang proses pengolahannya hanya sampai perebusan sehingga masih berair.

Penyajiannya pun menggunakan kuah santan.

Sedang jenis gudeg basah masih harus ada pengolahan lanjutan setelah didapat gudeg basah.

Proses lanjutannya berupa penumisan sehingga menjadi kering.

Biasanya gudeg ini disajikan dengan beragam lauk, mulai dari tahu-tempe, telur, dan ayam.

Tidak ketinggalan juga sambal goreng krecek.

Berdasarkan bahan baku, ada beberapa jenis gudeg.

Gudeg gori adalah gudeg yang paling banyak dijumpai, selain itu ada juga gudeg manggar atau bunga kelapa, dan gudeg rebung.

Untuk kedua jenis gudeg terakhir ini tidak banyak yang menjualnya. Di daerah Bantul masih ada beberapa warung makan yang menyediakannya.

Artikel Terkait