Penulis
Intisari-online.com - Gudeg adalah salah satu hidangan khas Yogyakarta yang terkenal dengan rasa manis dan gurihnya.
Gudeg terbuat dari nangka muda yang dimasak dengan santan, gula merah, dan bumbu-bumbu seperti lengkuas, daun salam, daun jeruk, dan ketumbar.
Gudeg biasanya disajikan dengan nasi putih, ayam goreng atau opor, telur pindang, tahu dan tempe bacem, sambal goreng krecek, dan sambal.
Namun tahukah Anda bahwa gudeg memiliki sejarah yang panjang dan menarik?
Menurut salah satu versi cerita rakyat, gudeg berasal dari zaman Mataram Islam pada abad ke-16.
Saat itu, ada seorang prajurit bernama Ki Ageng Mangir yang jatuh cinta dengan putri Sultan Agung, Ratu Pembayun.
Namun cinta mereka ditentang oleh Sultan Agung karena Ki Ageng Mangir berasal dari keluarga pemberontak.
Ki Ageng Mangir pun melarikan diri ke hutan bersama Ratu Pembayun dan membawa beberapa bahan makanan seperti nangka muda, santan, gula merah, dan bumbu-bumbu.
Di hutan, mereka mencoba memasak nangka muda dengan bahan-bahan yang mereka bawa. Mereka memasaknya dengan api kecil selama berjam-jam hingga nangka muda menjadi empuk dan berwarna cokelat.
Mereka menamakan hidangan itu gudeg, yang berasal dari kata "ngudhég", yang berarti mendidih dalam bahasa Jawa.
Gudeg menjadi hidangan favorit mereka yang mengingatkan mereka akan cinta mereka yang tulus dan setia.
Baca Juga: Jadwal Imsakiyah Ramadhan 2023 Yogyakarta: Apa Saja Keistimewaan Puasa di Kota Gudeg Ini?
Sayangnya, cinta mereka tidak berakhir bahagia. Sultan Agung mengetahui keberadaan mereka di hutan dan mengirim pasukan untuk menangkap mereka.
Ki Ageng Mangir berusaha melawan pasukan Sultan Agung dengan gagah berani, namun akhirnya ia gugur di tangan salah satu prajurit.
Ratu Pembayun yang menyaksikan kematian kekasihnya pun bunuh diri dengan menusukkan keris ke dadanya.
Sebelum meninggal, ia meminta agar ia dikuburkan bersama Ki Ageng Mangir dan gudeg yang menjadi saksi cinta mereka.
Konon, makam mereka berdua berada di Desa Mangir, Bantul, Yogyakarta.
Di dekat makam tersebut, terdapat sebuah pohon nangka yang konon merupakan pohon nangka pertama yang ditanam oleh Ki Ageng Mangir dan Ratu Pembayun.
Pohon nangka itu masih berbuah hingga sekarang dan buahnya digunakan untuk membuat gudeg oleh penduduk setempat.
Selain kisah cinta Ki Ageng Mangir dan Ratu Pembayun, ada juga kisah lain yang berkaitan dengan gudeg.
Menurut versi lain, gudeg diciptakan oleh seorang ibu rumah tangga bernama Mbah Sastro di Yogyakarta pada abad ke-19.
Mbah Sastro adalah seorang penggemar nangka muda dan ia sering memasaknya dengan berbagai cara.
Suatu hari, ia mencoba memasak nangka muda dengan santan, gula merah, dan bumbu-bumbu yang ia miliki.
Baca Juga: Selalu Anggap Mataram Islam Penjajah Bagi Madura, Pangeran Trunojoyo Pun Mantap Memberontak
Ia memasaknya dengan api kecil selama berjam-jam hingga nangka muda menjadi empuk dan berwarna cokelat.
Ia pun menyantapnya bersama keluarganya dan mereka semua menyukainya.
Mbah Sastro kemudian menjual gudeg yang ia buat di pasar tradisional. Gudeg buatannya laris manis dan banyak orang yang membelinya.
Mbah Sastro pun menjadi terkenal sebagai penjual gudeg pertama di Yogyakarta. Ia juga mengajarkan resep gudegnya kepada anak-anak dan cucu-cucunya.
Salah satu cucunya adalah Mbah Lindu, yang juga dikenal sebagai penjual gudeg legendaris di Yogyakarta.
Mbah Lindu mewarisi resep gudeg dari Mbah Sastro dan membuka warung gudeg di Jalan Sosrowijayan pada tahun 1952.
Warung gudeg Mbah Lindu masih berdiri hingga sekarang dan menjadi salah satu warung gudeg tertua dan terpopuler di Yogyakarta.
Dari warung gudeg Mbah Lindu, resep gudeg menyebar ke berbagai tempat dan menghasilkan berbagai variasi.
Ada gudeg kering yang tidak menggunakan santan, ada gudeg basah yang menggunakan banyak santan, ada gudeg merah yang menggunakan cabe merah, ada gudeg putih yang tidak menggunakan gula merah, dan masih banyak lagi.
Gudeg juga menjadi hidangan wajib dalam berbagai acara adat dan budaya di Yogyakarta, seperti pernikahan, khitanan, selamatan, dan lain-lain.
Gudeg adalah hidangan yang membanggakan bagi Yogyakarta dan Indonesia.