Kisah Ratu Kulon dan Ratu Wetan, Dua Permaisuri Sultan Agung dari Mataram Islam yang Berbeda Nasib dan Keturunan.

Afif Khoirul M

Penulis

Ratu Kulon dan Ratu Wetan permaisuri dari kerajaan Mataram Islam.

Intisari-online.com - Sultan Agung Hanyokrokusumo adalah raja ketiga dari Kesultanan Mataram.

Merupakan kerajaan Islam terbesar di Pulau Jawa yang berdiri pada abad ke-16 hingga ke-18.

Ia memerintah dari tahun 1613 hingga 1645 dan berhasil menguasai hampir seluruh wilayah Jawa, Madura, dan sebagian Kalimantan, Sumatera, dan Sulawesi.

Ia juga dikenal sebagai raja yang berani melawan penjajahan VOC di Batavia, meskipun dua kali gagal.

Di balik kejayaan dan keberaniannya, Sultan Agung juga memiliki kisah menarik tentang dua permaisuri utamanya yang disebut Ratu Kulon dan Ratu Wetan.

Kedua permaisuri ini memiliki peran penting dalam kehidupan dan pemerintahan Sultan Agung, namun juga memiliki nasib yang berbeda setelah kematian sang sultan.

Ratu Kulon adalah putri dari Sultan Cirebon, yaitu Pangeran Ratu atau Panembahan Girilaya.

Ia dinikahi oleh Sultan Agung pada tahun 1614 sebagai bagian dari perjanjian damai antara Mataram dan Cirebon.

Perkawinan ini juga bertujuan untuk memperkuat hubungan antara kedua kerajaan Islam di Jawa.

Ratu Kulon melahirkan seorang putra bernama Pangeran Alit pada tahun 1615.

Pangeran Alit adalah putra mahkota yang diharapkan akan meneruskan tahta Sultan Agung.

Baca Juga: Atas Perintah Penguasa Mataram Islam Amangkurat III, Pangeran Puger Harus Hukum Mati Putrinya Sendiri

Ratu Kulon mendampingi Sultan Agung dalam berbagai peristiwa penting, seperti penyerangan terhadap Batavia pada tahun 1628 dan 1629.

Namun, nasib Ratu Kulon tidak berlangsung lama. Ia meninggal dunia pada tahun 1645, tidak lama setelah kematian Sultan Agung.

Ia dimakamkan di Imogiri bersama dengan suaminya.

Putranya, Pangeran Alit, juga tidak berhasil menjadi raja Mataram karena ditentang oleh para pejabat kerajaan yang lebih memihak kepada adiknya, Raden Mas Sayyidin.

Ratu Wetan adalah putri dari Adipati Batang, yaitu Raden Tumenggung Martoloyo atau Pangeran Martapura II.

Ia juga merupakan cucu dari Ki Juru Martani, salah satu pendiri Kesultanan Mataram.

Kemudian dinikahi oleh Sultan Agung pada tahun 1619 sebagai bagian dari upaya untuk mengamankan wilayah pesisir utara Jawa.

Ratu Wetan melahirkan seorang putra bernama Raden Mas Sayyidin pada tahun 1623.

Raden Mas Sayyidin adalah putra bungsu dari Sultan Agung yang kemudian menjadi raja Mataram keempat dengan gelar Amangkurat I.

Ratu Wetan mendukung putranya untuk menjadi pewaris tahta dengan bantuan dari Tumenggung Wiraguna, pejabat tinggi kerajaan yang merupakan saudara sepupunya.

Nasib Ratu Wetan berbeda dengan Ratu Kulon.

Baca Juga: Kisah Kyai Surti dan Dewi Suryawati, Pembawa Harta Karun Mataram Islam dari Pantai Karang Bolong

Ia masih hidup hingga tahun 1677 dan menyaksikan putranya menjadi raja Mataram yang menghadapi pemberontakan Trunojoyo dan pemberontakan Pangeran Puger.

Juga menyaksikan cucunya, Amangkurat II, naik tahta setelah kematian putranya.

Ia dimakamkan di Tegalrejo bersama dengan putra dan cucunya.

Artikel Terkait