Penulis
Dalam salah satu fragmen serangan Mataram Islam ke Batavia, ada tentara VOC yang mengisi meriam dengan kotoran manusia.
Intisari-Online.com -Semua berawal ketika VOC yang terus didesak oleh pasukan Mataram Islam mulai kehabisan peluru.
Bangsa kulit putih itu pun punya taktik menjijikkan: mengganti proyektil dengan kotoran manusia.
Kotoran manusia yang sudah dimasukkan ke meriam itu kemudian ditembakkan ke arah pasukan Mataram Islam.
Balatentara Mataram yang tak tahan baunya langsung lari tunggang langgang, sembari teriak.
"Mambet tahi! Mambet tahi!" alias bau tahu, bau tahi.
Kisah diatas dapat kita jumpai dalam dongeng-dongeng tradisionil Jawa seperti "Babad Tanah Jawi" dan sebangsanya.
Bahkan dalam kitab "Serat Baron Sakender" disebutkan bahwa kota Batavia dapat dibagi menjadi dua,yaitu Kota Tahi dan Kota Inten.
Sudah barang tentu kita akan tertawa mendengar atau membaca dongeng sedemikian.
Lebih- lebih karena kita tahu bahwa nama "Betawi" itu berasal dari kata "Batavia".
Tetapi apakah "episode kotoran manusia" dalam dongeng itu juga hanya akal orang-orang Jawa dalam usahanya menutupi kegagalan mereka menyerbu Batavia?
Nampak-nampaknya tidak! Sebab ada saksi-mata yang mengalami peristiwa itu sendiri dan menuliskan laporannya.
la adalah Seyger van Rechteren, seorang "Krankbezoeker", yaitu pegawai VOC yang tugasnya menengok dan menghibur orang-orang sakit, yang tiba di Batavia pada tanggal 23 September 1629.
Jadi hanya beberapa hari saja sebelum terjadi serangan yang kedua kalinya dari Mataram.
Waktu serangan datang, Van Rechteren berada di benteng "Maagdelijn" yang letaknya ada di sudut Tenggara kota.
Dengan mata-kepala sendiri ia menyaksikan betapa benteng itu dihujani meriam dan api.
Betapa pasukan Mataram mulai menyeberangi parit dan menaiki tembok benteng dengan mempergunakan tangga dan tali-rotan.
Padahal serdadu Kompeni hanya tinggal 15 orang tanpa sebutir pelurupun tersisa kecuali mesiunya.
Dalam keadaan yang kritis itu seorang serdadu berlari mengambil kotoran manusia dengan sebuah panci dan menyiramkannya ke bawah, ke arah pasukan-pasukan Mataram.
Perbuatannya segera ditiru oleh teman-temannya.
Karena tidak tahan pada baunya, balatentara Mataram lalu mengundurkan diri dan selamatlah benteng itu.
Dari laporan Van Rechteren itu ternyata bahwa cerita tentang meriam-meriam yang diisi kotoran manusia benar-benar pernah terjadi!
Sayangnya Van Rechteren mengacaukan dua peristiwa menjadi satu.
Sebagaimana diketahui, Sultan Agung menyerang Batavia dua kali, masing-masing pada tahun 1628 dan 1629.
Pada serangan yang kedua, pasukan-pasukan Mataram sudah ditarik mundur pada minggu pertama bulan Oktober 1629 tanpa sebab-sebab yang jelas.
Dalam cerita-cerita tradisionil seperti "Babad Tanah Jawi" disebutkan bahwa peristiwa itu merupakan pengampunan yang diberikan Sultan Agung kepada Kompeni.
Karena itu maka pada tahun 1630 Kompeni mengirim seorang utusan ke ibukota Mataram untuk menyerahkan hadiah-hadiah sebagai tanda terima kasih bahwa Sultan telah mengampuni mereka dan tidak jadi mengusir mereka dari Batavia.
Singkatnya, serbuan Mataram yang kedua itu sama sekali tidak membahayakan Kompeni.
Karena Van Rechteren tiba di Batavia tanggal 23 September 1629, jelas bahwa peristiwa serangan yang dialaminya adalah yang kedua itulah.
Padahal serangan yang hampir menjebolkan benteng "Maagdelijn" terjadi pada tahun 1628.
Jadi waktu Van Rechteren masih ada di Negeri Belanda. Kesimpulannya ialah bahwa Van Rechteren tidak benar-benar menyaksikan sendiri "episode kotoran manusia" itu, akan tetapi rupa-rupahya ia mengalami hangat-hangatnya kejadian itu diperbincangkan orang.
Dikenal di Jerman maupun Inggris
Marilah kini kita meninjau sendiri betapa sebenarnya urut-urutan kejadian itu. Pada waktu itu memang benar bahwa kota Batavia dapat dibagi menjadi dua bagian.
Yang di sebelah Utara berbatasan dengan pantai adalah Puri atau Kastil Batavia.
Bagian ini seluruhnya dikelilingi oleh tembok. Pada sudut-sudut dan bagian-bagian penting lainnya dibangun benteng yang menjulang ke atas tembok.
Yang di sebelah Selatan merupakan daerah penghunian penduduk, perkantoran dan tempat-tempat umum lainnya.
Bagian ini tidak seluruhnya dikelilingi tembok. Hanya pada bagian-bagian yang dianggap penting didirikan semacam gardu-penjagaan dari kayu yang dinamakan "Wambuys".
Gardu- gardu ini biasanya didirikan di sudut-sudut atau belokan sungai, dengan tugas mengawasi perahu-perahu atau kapal-kapal yang lalu-lalang di sungai itu.
Seluruh bagian kota, baik yang Utara maupun yang Selatan, dikelilingi oleh parit-parit pertahanan, yang airnya umumnya diambil dari aliran sungai Ciliwung.
Karena itu maka kota Batavia terbagi dalam kotak-kotak yang disekat oleh parit-parit pertahanan tadi.
Untuk memudahkan cara pengaturan pertahanannya, maka tiap-tiap benteng, sudut atau "Wambuys" diberi nama.
Gardu yang letaknya paling jauh di Selatan, ada di sudut Tenggara, tepat pada belokan Sungai Ciliwung ke arah Timur sebelum sampai di daerah Glodok sekarang. Gardu ini diberi nama Hollandia.
Waktu Kompeni mulai mengetahui adanya gerakan-gerakan pemusatan orang-orang Mataram di luar Batavia, Jan Pieterzoon Coen memerintahkan menggali sebuah parit lagi yang membelah bagian paling Selatan dari kota; bagian di luar parit baru ini kelak terkenal dengan nama "Zuider-Voorstad".
Selanjutnya, Coen juga memerintahkan membuat tembok di sisi Selatan, tepat di tepi Ciliwung ketika alirannya membelok ke Timur.
Pada titik dimana gardu Holandia berdiri dibangun benteng yang menjulang ke atas tembok.
Benteng (bekas gardu Holandia) ini dipimpin oleh komandannya Sersan Hans Maagdelijn, sehingga lalu terkenal dengan nama benteng Maagdelijn.
Ketika Coen melihat puluhan ribu tentara Mataram mulai berkemah di Selatan kota, ia memerintahkan seluruh tepi Barat Ciliwung untuk dikosongkan, di mana di situ juga terdapat kantor dagang pihak Inggeris.
Jembatan yang menghubungkan bagian Barat dengan Timur sungai pun dihancurkan.
Serangan Mataram tahun 1628 itu dilancarkan dalam 4 gelombang.
Gelombang pertama terjadi pada tanggal 26 Agustus malam dan terus berlangsung sampai pagi harinya.
Yang menjadi sasaran utama adalah bagian sisi Barat Ciliwung (yang ternyata telah kosong itu).
Apa yang kedapatan di situ dibakar habis, termasuk loji Inggris.
Karena pagi harinya bala bantuan Kompeni dari arah Kastil segera datang, maka serbuan dapat ditahan.
Gelombang kedua dilancarkan tanggal 11 September. Kali ini juga tidak menghasilkan apa-apa, karena tenggang waktu antara gelombang pertama dan kedua cukup bagi Kompeni memperbaiki apa yang dirasanya kurang.
Gelombang ketiga adalah serangan yang paling berbahaya bagi Kompeni.
Sepanjang malam tanggal 21 September, pasukan-pasukan Mataram mengepung seluruh kota, termasuk dari arah laut.
Mereka berteriak-teriak sambil memukul-mukul tambur dan bunyi-bunyian lainnya di sekeliling kota, sehingga Kompeni tidak tahu pasti bagian mana yang akan menjadi sasaran.
Ternyata yang menjadi sasaran adalah benteng Maagdelijn, yang merupakan pusat pertahanan Belanda yang paling luar di sisi Selatan.
Gelombang keempat dan terakhir adalah pada bulan Nopember, akan tetapi serangan inipun tidak membawa hasil apa-apa bagi Mataram.
Dari data tersebut jelas bahwa gelombang serangan ketiga pada tanggal 21 September 1628 itulah yang ditulis Van Rechteren dimana terjadi peristiwa kehabisan peluru dan meriam-meriam diisi dengan kotoran manusia.
Dan kejadian itu dikacaukannya dengan peristiwa yang dialaminya sendiri pada tahun 1629.
Ternyata bukan hanya Van Rechteren saja yang mengalami hangat-hangatnya peristiwa meriam diisi kotoran manusia diperbincangkan orang.
Seorang pedagang dari Jerman bernama David Tappen pada tahun 1680 tiba di Batavia untuk urusan dagang.
Dalam laporannya yang diterbitkan tahun 1704 ia juga menyebut-nyebut peristiwa mengenai meriam-meriam Belanda yang diisi kotoran manusia karena sudah kehabisan peluru.
Baca juga: Perjanjian Giyanti, Perebutan Kekuasaan Kerajaan Mataram yang Melahirkan Kesultanan Yogyakarta
Bahkan Raffles di dalam bukunya yang terkenal "History of Java" (Jilid II, 1817, him. 154) menceritakan bagaimana keadaan Belanda dalam benteng Maagdelijn itu kehabisan peluru sehingga mereka lalu menggunakan batu dan benda-benda keras lainnya sebagai isi meriam, untuk kemudian ia mengatakan:
"… even this resource failed; and as a last expedient, bags of the filthiest ordure were fired upon the Javans whence the fort has ever since borne the name of Kota Tahi...."
("bahkan alat ini pun gagal; dan sebagai usaha terakhir, berkantung-kantung kotoran ditembakkan ke arah orang-orang Jawa sehingga sejak saat itu benteng tadi bernama KotaTahi ..").
Dengan keterangan Raffles itu kita sudah sampai pada kunci persoalan: benteng Holandia atau benteng Maagdelijn atau, katakan saja, salah satu bagian kota Batavia pernah mengalami serbuan hebat dari pasukan Mataram yang menyebabkan Kompeni terpaksa menggunakan kotoran manusia sebagai peluru.
Sehingga sejak saat itu daerah tersebut lalu dikenal dengan nama Kota Tahi.
Bekas benteng jadi tempat sampah
Kalau demikian halnya, maka apa yang diuraikan oleh dongeng-dongeng tersebut di atas benar semua!
Tapi apakah benar bahwa "episode kotoran manusia" itu langsung menyebabkan bagian kota tadi memperoleh nama sedemikian?
Setelah perang selesai, Kompeni mulai lagi memperkuat pertahanannya yang dirasa masih lemah.
Dalam laporan-laporan VOC sesudah tahun 1630 disebut-sebut tentang diperkuatnya benteng "Buren", yang letaknya di sudut paling luar sebelah Tenggara.
Jadi benteng Hollandia kita sudah berganti nama menjadi benteng Buren.
Selanjutnya, pihak Kompeni mulai merasakan gerakan-gerakan berbahaya dari pihak Banten yang waktu itu dipimpin oleh Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1683).
Karena itu maka bermunculanlah benteng-benteng di bagian Barat kota Batavia.
Sedangkan bagian Selatan kota mulai ditinggalkan dan benteng Buren dijadikan gudang peluru di bawah komandan Sersan Hendrik Maats-land.
Dan dalam surat-surat VOC sesudah tahun 1656 disebut-sebut tentang sebuah gudang peluru di benteng Maatsland. Jadi untuk kesekian kalinya benteng Holandia berganti nama pula.
Sejak tahun 1665 benteng Maatsland dinyatakan berbahaya karena hampir runtuh, sehingga ditinggalkan sama sekali.
Sementara itu bagian Selatan kota Batavia semakin ramai dengan bermunculannya rumah-rumah, warung-warung dan pabrik-pabrik arak milik Cina.
Dan bekas benteng Maatsland di sudut Tenggara tadi, karena letaknya yang tepat di belokan sungai, menjadi tempat orang-orang membuang sampah dan segala macam kotoran.
Waktu Camphuijs menjadi Gubernur Jendral, ia membeli tanah di bagian Tenggara kota Batavia termasuk di dalamnya bekas benteng kita.
Ketika ia meninggal tahun 1695 daerah itu sudah berubah menjadi sebuah taman yang indah dengan rumah dan kebun luas disekelilingnya, kecuali reruntuhan benteng yang masih tetap seperti sediakala.
Rupanya Camphuijs menilai betapa pentingnya peranan yang dimainkan oleh benteng Maatsland itu dahulu sewaktu menghadapi serbuan Mataram.
Sehingga ia mengeluarkan peraturan yang melarang mengubah atau merombak reruntuhan benteng tadi.
Puluhan tahun lamanya sesudah itu reruntuhan benteng tadi tetap dibiarkan.
Beberapa orang pernah mencoba mengajukan permohonan untuk membeli dan merombak bekas benteng tadi, namun permohonan itu selalu ditolak.
Keadaan sedemikian baru berakhir pada tahun 1766. Waktu itu tanah di bagian Tenggara Batavia dibeli oleh Mr. Pieter Cornelis Hasselaar, yang waktu itu menjabat "Waterfiscaal".
Dalam suratnya kepada Gubernur Jendral tanggal 8 Juli 1766 ia mengajukan permohonan membenahi reruntuhan benteng di dekat tanah kediamannya.
Dalam suratnya itu antara lain ia memorhon agar " semua reruntuhan benteng, yang dulu bernama Maatsland, dan kini bernama Batenburg, yang juga dikenal sebagai Kota Tahi, yang selama ini tidak lain hanya menjadi sarang ular dan hewan-hewan kotor lainnya, untuk dibongkar dan dibersihkan".
Permohonannya ternyata dikabulkan dan sejak saat itu hilanglah bekas-bekas benteng yang begitu banyak meninggalkan riwayat tadi.
Dari surat Hasselaar itu juga kita mengetahui bahwa benteng .Holandia pada saat terakhirnya sebelum rata dengan tanah bernama Batenburg.
Dan sekali lagi kita juga tahu bahwa tempat itu dikenal dengan julukan daerah sungai yang dibiarkan 'Kota Tahi".
Bahkan Dr. F. de Haan penyusun buku “Oud-Batavia” yang terkenal itu mengatakan bahwa pada tahun 1899 jalan di sebelah Barat (bekas) benteng Hollandia, yang bernama “Buiten Kaaimans Straat”, oleh penduduk disebut “Gang Tahi”.
Rupanya – dan ini boleh kita anggap sebagai kesimpulan – daerah sungai yang dibiarkan selama puluhan tahun berupa reruntuhan benteng itu menjadi tempat tumpukan segalam macam kotoran dan sampah.
Dan secara kebetulan bahwa sebelumnya di tempat itu terjadi “episode kotoran manusia” pada waktu terjadi serbuan tentara Mataram. Dan lahirlah kemudian julukan untuk bagian kota itu: Kota Tahi!
(Ditulis oleh A.S. Wibowo, seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Desember 1976)