Find Us On Social Media :

Ketika Amangkurat I Memimpin Mataram Islam Dengan Sewenang-sewenang

By Moh. Habib Asyhad, Rabu, 26 April 2023 | 10:59 WIB

Geger Pecinan menjadi salah satu konflik internal yang pernah terjadi di Mataram Islam.

Amangkurat II kemudian memindahkan ibu kota Mataram dari Plered ke Kartasura pada tahun 1680.

Ia berusaha memulihkan kekuasaan dan kestabilan Mataram, tetapi menghadapi berbagai tantangan.

Salah satunya adalah pemberontakan Surapati, seorang budak asal Bali yang melarikan diri dari VOC dan mendirikan kerajaan sendiri di Pasuruan.

Surapati melawan VOC dan Mataram hingga akhir hayatnya pada tahun 1706.

Amangkurat II juga menghadapi persaingan dari adiknya, Pangeran Puger, yang menolak bergabung dengannya karena mendengar isu bahwa ia bukanlah putra Amangkurat I yang sebenarnya, melainkan anak Cornelis Speelman yang menyamar sebagai Raden Mas Rahmat.

Isu ini muncul pada tahun 1680 dan menyebabkan kericuhan di tengah rakyat.

Amangkurat II meninggal pada tahun 1703 dan digantikan oleh putranya yang bernama Raden Mas Surya atau Amangkurat III.

Namun, hubungan Amangkurat III dan VOC tidak baik, sehingga pihak Belanda menentang penobatannya.

Mereka justru menunjuk Pangeran Puger untuk menggantikan Amangkurat II untuk memimpin Kerajaan Mataram.

Perebutan tahta antara Amangkurat III dan Pangeran Puger menimbulkan perang saudara pada tahun 1704-1708.

Perang saudara ini berakhir dengan perjanjian Giyanti pada tahun 1755, yang membagi Kerajaan Mataram menjadi dua bagian: Kasunanan Surakarta yang dipimpin oleh Pangeran Puger (bergelar Pakubuwono I) dan Kasultanan Yogyakarta yang dipimpin oleh Amangkurat III (bergelar Hamengkubuwono I).

Kedua kerajaan ini tetap berada di bawah pengawasan VOC.

Dengan demikian, Kerajaan Mataram Islam secara resmi berakhir pada tahun 1755.

Kerajaan ini meninggalkan banyak peninggalan sejarah dan budaya yang masih dapat dilihat hingga kini, seperti candi-candi, makam-makam raja, keraton-keraton, serta seni dan sastra Jawa.