Tradisi ketupat jembut sudah ada sejak tahun 1950-an di beberapa kampung di sisi timur Kota Semarang, seperti di daerah Jaten, Genuksari, dan Pedurungan Tengah.
Tradisi ini bermula dari rasa keprihatinan warga yang baru saja mengalami perang dan ingin memperingati syawalan dengan bahan makanan yang lebih sederhana.
Mereka menggunakan sisa beras dari Idul Fitri untuk membuat ketupat dan mengisinya dengan sayur tauge yang mudah didapat.
Kemudian, mereka membagikan ketupat tersebut kepada anak-anak dan warga sekitar sebagai bentuk silaturahmi dan kebersamaan.
Filosofi Ketupat Jembut
Ketupat jembut memiliki filosofi yang mendalam bagi warga Semarang.
Ketupat melambangkan kesucian dan kebersihan hati, sedangkan tauge melambangkan kesuburan dan kesejahteraan.
Sambal kelapa yang menjadi pelengkap ketupat jembut juga memiliki makna tersendiri.
Kelapa melambangkan kekuatan iman dan kesabaran, sedangkan cabai melambangkan semangat dan keberanian.
Dengan demikian, ketupat jembut mengajarkan kita untuk bersih hati, subur rezeki, kuat iman, sabar menghadapi cobaan, semangat berjuang, dan berani mengambil keputusan.