Penulis
Intisari-online.com - Pada tanggal 21 Juli 1947, Belanda melancarkan operasi militer yang disebut Operasi Produk atau Agresi Militer Belanda I terhadap Republik Indonesia di Jawa dan Sumatera.
Operasi ini bertujuan untuk merebut kembali wilayah-wilayah yang kaya sumber daya alam dan ekonomi dari tangan Indonesia yang telah menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945.
Operasi ini juga merupakan pelanggaran terhadap hasil Perundingan Linggarjati yang telah disepakati oleh kedua belah pihak pada tanggal 25 Maret 1947.
Salah satu daerah yang menjadi sasaran operasi militer Belanda adalah Sumatera Selatan, yang memiliki perkebunan karet, minyak bumi, dan batu bara yang penting bagi perekonomian Belanda.
Serangan Belanda di Sumatera Selatan dimulai pada hari ketiga bulan Ramadhan, tepatnya pada tanggal 23 Juli 1947.
Serangan ini dilakukan secara mendadak dan brutal, tanpa menghiraukan kondisi masyarakat yang sedang menjalankan ibadah puasa.
Namun, rakyat Sumatera Selatan tidak tinggal diam menghadapi agresi Belanda.
Mereka melakukan perlawanan sengit dengan semangat jihad dan keimanan yang tinggi.
Perlawanan ini dimulai setelah mereka baru saja selesai melakukan sahur sekitar pukul 04.00 pagi.
Mereka mengorbankan harta dan nyawa mereka untuk membela tanah air dan agama mereka.
Salah satu contoh perlawanan rakyat Sumatera Selatan adalah di Palembang, ibu kota provinsi tersebut.
Baca Juga: Pangeran Diponegoro: Strategi dan Taktik Perang Gerilya yang Menggoyahkan Belanda
Di sana, pasukan TNI dan laskar rakyat berjuang dengan gigih untuk mempertahankan kota dari serbuan Belanda.
Mereka menggunakan senjata-senjata tradisional seperti bambu runcing, parang, tombak, dan golok, serta senjata-senjata modern yang diperoleh dari tentara Jepang atau Sekutu.
Mereka juga memanfaatkan sarana transportasi seperti perahu, sepeda, dan kereta api untuk bergerak dan menyerang musuh.
Salah satu tokoh perlawanan rakyat Sumatera Selatan adalah Kolonel Barlian, komandan TNI di wilayah tersebut.
Ia berhasil memimpin pasukan TNI dan laskar rakyat untuk menggagalkan rencana Belanda untuk merebut Bandara Talang Betutu dan Kilang Minyak Plaju.
Ia juga berhasil mengorganisir gerilya di daerah-daerah pedalaman seperti Lahat, Muara Enim, Baturaja, Martapura, dan Lubuk Linggau.
Perlawanan rakyat Sumatera Selatan terhadap agresi militer Belanda berlangsung selama dua minggu, hingga pada tanggal 5 Agustus 1947.
Hingga Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi nomor 27 yang menyerukan penghentian permusuhan antara Belanda dan Indonesia.
Resolusi ini juga menuntut agar Belanda mengembalikan wilayah-wilayah yang telah diduduki kepada Indonesia.
Perlawanan rakyat Sumatera Selatan setelah sahur saat agresi militer Belanda merupakan salah satu contoh heroisme dan patriotisme bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan negara.
Perlawanan ini juga menjadi inspirasi bagi umat muslim Indonesia yang mengikuti jejak para sahabat Nabi Muhammad SAW yang berperang di Perang Badar pada bulan Ramadhan tahun 2 hijriah atau tahun 624 Masehi.
Baca Juga: Keris Bugis, Pusaka yang Pernah Membuat Penjajah Belanda Gentar, Ini Sejarah Kehabatannya!
Selain di Palembang, perlawanan rakyat Sumatera Selatan juga terjadi di daerah-daerah lain seperti Prabumulih, Muara Dua, Lahat, Baturaja, dan Lubuk Linggau.
Di daerah-daerah ini, pasukan TNI dan laskar rakyat berusaha menghambat gerak maju Belanda dengan melakukan serangan-serangan mendadak, penyergapan, penghadangan, dan pengeboman.
Mereka juga memanfaatkan medan yang sulit seperti hutan, rawa, dan pegunungan untuk bersembunyi dan bergerilya.
Salah satu peristiwa heroik yang terjadi di daerah ini adalah pertempuran di Jembatan Musi II pada tanggal 24 Juli 1947.
Di sana, pasukan TNI dan laskar rakyat yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Iskandar Muda berhasil menghancurkan jembatan yang menjadi jalur utama Belanda menuju Palembang.
Mereka menggunakan bahan peledak yang diperoleh dari gudang minyak Plaju. Aksi ini mengakibatkan Belanda mengalami kerugian besar dan terpaksa mundur.
Perlawanan rakyat Sumatera Selatan juga mendapat dukungan dari masyarakat sipil yang turut membantu dengan berbagai cara.
Misalnya, para ulama dan kyai memberikan semangat dan doa kepada para pejuang.
Para pemuda dan pelajar membentuk barisan-barisan bantuan seperti Barisan Pelopor, Barisan Hizbullah, Barisan Sabilillah, dan Barisan Ansor.
Para wanita dan ibu-ibu membantu dengan menyediakan makanan, minuman, obat-obatan, dan perawatan bagi para pejuang.
Para pedagang dan pengusaha membantu dengan menyumbangkan uang dan barang-barang kebutuhan.