Find Us On Social Media :

Pengembara dan Pencari Harta: Alasan Pergundikan Bukanlah Hubungan Perkawinan

By Muflika Nur Fuaddah, Sabtu, 10 Desember 2022 | 15:33 WIB

Potret seorang gundik atau Nyai di antara para serdadu militer Hindia Belanda.

Intisari-Online.com - Sejak kedatangan orang Belanda pertama kali ke Hindia Timur pada abad ke- 7, gundik sudah menjadi semacam kebutuhan.

Persoalan pergundikan memang bukan sesuatu yang baru. 

Namun baru pada pemerintahan J.P. Coen, sebagai Gubernur Jenderal kedua VOC, ia mengajukan kepada Heeren XVII, agar dikirimkan wanita dari Belanda.

Hal itu menurutnya perlu lantaran kebutuhan biologis para serdadu juga ada kaitannya dengan persoalan politik dan ekonomi.

Bagi bangsa Belanda, menikahi perempuan-perempuan pribumi asli maupun yang berdarah campuran di Hindia Belanda adalah hal normal.

Masalah pergundikan atau pernyaian dalam masyarakat Hindia Belanda memang unik.

Bahkan bangsa kulit putih telah menjalani hidup bersama dengan perempuan-perempuan pribumi tidak hanya di Hindia Belanda saja.

Tetapi hampir di semua masyarakat kolonial, di Asia, Afrika, atau Amerika Selatan.

Hidup bersama seorang gundik atau nyai memberikan beberapa keuntungan.

Hal itu dirasa menyenangkan bagi para laki-laki Eropa karena pernyaian menjamin keadaan yang tidak mengikat.

Laki-laki Eropa ini menikmati keuntungannya tetapi tidak mau menanggung kerugiannya.

Baca Juga: Mau Untungnya Saja, Lelaki Eropa Mengambil Gundik Sudah Hal Lumrah

Hidup dalam pergundikan atau pernyaian memberikan dampak keteraturan terhadap perilaku hidup sang laki-laki Eropa.

Mempunyai seorang nyai akan menahan laki-laki Eropadari minuman keras, menjauhkan dari para pelacur, dan menjaga pola pengeluaran.

Selain itu seorang nyai dapat menjelaskan bagaimana kehidupan di Hindia Belanda kepada tuan Eropa-nya.

Nyai dapat mengajarkan bahasa pribumi dan memperkenalkan adat istiadat dan kehidupan di Hindia Belanda.

Hubungan kaum Eropa dengan wanita pribumi tidak dikukuhkan sebagai hubungan perkawinan.

Oleh karena itu hubungan tersebut dapat diputuskan menurut kemauan di Tuan Eropa.

Fenomena pernyaian ini dipicu karena golongan Tuan Eropa yang menjadi asisten datang sebagai fortuin zoekers (pencari harta).

Maka sebagian besar dari mereka termasuk trekkers (pengembara) dan tidak blijvers (menetap).

Sifat sementara ini sangat mempengaruhi gaya hidup, terlebih dalam masalah etika dan moral, antara lain ikatan perkawinan yang tidak terlalu ketat.

Seorang wanita mempunyai lebih banyak kebebasan dalam pergaulan dengan pria, meskipun sudah menikah.

Baca Juga: Hidup di Antara 2 Dunia: Kaburnya 'Jati Diri' Para Gundik Era Kolonial

Meski begitu, suatu kenyataan ialah bahwa status seorang gundik tetap rendah di kedua “dunia.”

Di kalangan Eropa seorang nya tidak diakui sebagai isteri seorang Belanda, maka dunia itu tertutup baginya.

Di kalangan pribumi dia dijauhi atau dikucilkan maka tidak ada keleluasaan bergaul dengan komunitas pribumi.

Baca Juga: Siapa Sangka Ada Pria Eropa yang Mendapatkan Gundik Lewat Perjodohan?

(*)