Find Us On Social Media :

Pernah Terseret Kasus 'Penumbalan' Anggota Brimob Bripda Djani Setengah Abad Silam, para Mantan Taruna Akpol Ini Malah Punya Karier Mentereng, dari Kapolda hingga Kapolri

By Tatik Ariyani, Senin, 22 Agustus 2022 | 10:42 WIB

Ibu mendiang Rene Louis Conrad menunjuk Gubernur Akpol Irjen Awaludin Djamin - Jenazah Rene Louis Conrad diantar teman-teman mahasiswa

Intisari-Online.com - Setengah abad silam, anggota Brimob Bripda Djani menjadi tumbal yang melibatkan anggota kepolisian.

Kasusnya mirip seperti Bharada E yang disebut-sebut sebagai tumbal karena terpaksa menembak Brigadir J usai diperintah Ferdy Sambo, di mana dirinya bertugas sebagai ajudan.

Bharada E terjebak dalam skenario pembunuhan berencana yang tengah disusun oleh Ferdy Sambo, Putri Candrawathi (istri Ferdy Sambo), dan Bripka RR.

Sementara Bripda Djani yang memiliki nama lengkap Djani Maman Sujarman ini menjadi tumbal dalam kasus kematian mahasiswa ITB Rene Louis Conrad yang terjadi di Indonesia pada tahun 1972, atau 50 tahun silam.

'Penumbalan' ini berawal dari gesekan antara pemuda, khususnya mahasiswa, dengan aparat kepolisian.

Di periode awal kekuasaannya, Soeharto melarang pria berambut gondrong. Aparat kepolisian dengan para tarunanya kemudian kerap merazia dan menggunting langsung rambut dari pemuda gondrong.

Para mahasiswa menentang keras tindakan tersebut dan menganggap kebijakan tersebut memerkosa hak-hak asasi setiap orang.

Di tengah polemik yang kian memanas antara mahasiswa dan kepolisian (khususnya taruna), tiba-tiba muncul ide untuk melangsungkan pertandingan sepak bola persahabatan.

Tepat pada 6 Oktober 1970 di tengah kampus ITB, dilangsungkan pertandingan antara mahasiswa ITB dan taruna Akabri Kepolisian yang berasal dari Sukabumi.

Tim ITB meraih keunggulan 2-0, sehingga membuat para mahasiswa semakin percaya diri melontarkan sindiran-sindiran pedas kepada para taruna Akpol.

Bentrokan pun kemudian tak terhindarkan hingga sempat memicu sebuah suara tembakan, sebuah keadaan yang membuat pihak ITB murka karena melanggar kesepakatan untuk tidak membawa senjata.

Para taruna Akpol tersebut pun diusir, yang membuat kemuraman mereka berlipat ganda.

Dalam perjalanan pulang, di sekitar Jalan Ganesha, iring-iringan taruna Akpol itu berpapasan dengan seorang mahasiwa ITB bernama Rene Louis Conrad.

Rene yang saat itu sedang mengendarai Harley Davidson disebut-sebut diludahi oleh salah seorang di dalam bus para taruna, sehingga memicu amarah Rene yang kemudian menantang para taruna tersebut turun.

Namun, para taruna akpol tersebut meladeni tantangan Rene dengan mengeroyoknya hingga salah seorang Taruna Akpol kemudian mengunakan senjata apinya untuk menembak dan menewaskan Rene.

Peristiwa ini jelas mencoreng wajah Polri yang kala itu dipimpin oleh sosok kharismatik, Jenderal Polisi Hoegeng Imam Santoso.

Ketegasan dan kejujuran Hoegeng pun segera mengusut kasus yang sempat membuat polisi dan para taruna dilarang keluar dari barak tersebut.

Namun, Hoegeng yang yakin bahwa pelakunya adalah salah seorang taruna Akpol pada akhirnya tak bisa berbuat lebih. Pasalnya, ia keburu dilengserkan oleh Suharto pada 2 Oktober 1971.

Tak lama setelah itu, sebuah kejanggalan terbesar pun muncul, Brigadir Polisi Djani Maman Surjaman tiba-tiba ditetapkan sebagai tersangka.

Padahal, Djani sama sekali tidak terlibat dalam aksi pemukulan yang dilakukan para juniornya, apalagi sampai menembak.

Namun, apa daya, kekuatan besar demi melindungi putra-putra 'petinggi' yang adal dalam barisan para taruna tersebut terlalu kuat.

Djani yang berasal dari korps Brimobkemudian itu kemudian dijatuhi hukuman 1 tahun 6 bulan pada 1972 dengan dalih melakukan kelalaian hingga membuat Rene Louis Conrad meninggal.

Sementara Bripda Djani dijatuhi hukuman penjara, para taruna yang terseret kasus tewasnya Rene tersebut justru punya karier mentereng.

Jika proses hukum Djani yang dijadikan tumbal dilakukan serba cepat, proses hukum delapan taruna Akabri sebagai tertuduh, berlangsung berlarut-larut dan sudah dapat ditebak ujungnya.

Melansir Kompas.com, delapan orang itu, yakni Letnan (Inspektur) II Nugroho Djajusman, Letnan I Dodo Mikdad, Khaerul Bahar Muluk, Sianturi Simatupang, Sugeng Widianto, Letnan II Ahmad Arony Gumay, Letnan II Riyadi, VIII Letnan II Nugroho Ostenrik (putera jenderal polisi Ostenrik).

Pada 1974, mahkamah militer mengadili delapan orang eks taruna Akabri yang sudah menjadi perwira. Sudah dapat ditebak, mereka divonis tidak bersalah dalam pembunuhan Rene.

Mereka hanya diberikan sanksi ringan karena terlibat perkelahian.

Mengutip arsip Kompas edisi 23 Januari 1974, disebutkan bahwa mahkamah berpendapat, tuduhan primer berupa Pasal 170 ayat 2 angka 3 KUHP juncto Pasal 2 KUHP tidak terbukti. Demikian pula dengan tuduhan subsidernya.

Disebutkan, Rene Coenraad memang mati akibat tembakan. Namun, menurut mahkamah, tidak ada satu pihak pun yang bisa menghadirkan barang bukti senjata dan peluru yang menyebabkan matinya Rene.

Selain itu, tak ditemukan satu saksi pun yang menunjukkan atau mengenali siapa di antara tertuduh yang melakukan tindak kekerasan. Barang bukti juga tidak ada.

Delapan orang itu pun melanjutkan karier di kepolisian. Bahkan, beberapa di antara mereka menapaki pangkat bintang serta menduduki jabatan strategis.

Yang jadi tersangka tapi divonis bebas adalah Nugroho Djajusman, Mulyono, Simatupang dan Sianturi di mana pada akhir kariernya, Nugroho bintang tiga (Kapolda Metro Jaya), sementara kedua kawan yang lain bintang dua.

Nugroho Djajusman adalah yang paling berjaya.

Nugroho Djajusman belakangan jadi Kapolda Metro Jaya di tahun 1998. Seangkatan dengan Noegroho adalah mantan Kapolri S. Bimantoro dan Rusdihardjo, juga mantan Kapolda Metro Jaya ketika peristiwa Kudatuli 1996, Hamami Nata.

Baca Juga: Bharada E Bukan Tumbal Pertama di Tubuh Kepolisian, Setengah Abad Silam Ada Sosok Bripda Djani yang Ditumbalkan dalam Kematian Rene Conrad, Demi Lindungi Taruna Akpol?