Find Us On Social Media :

Seabad Chairil Anwar: Susur Jejak Pujangga Bohemian di Kota Malang

By Intisari Online, Senin, 25 Juli 2022 | 07:00 WIB

Ary Budiyanto, dosen Antropologi Universitas Brawijaya, bersama sejarawan FX Domini BB Hera, mengisahkan corat-coret di gedung Balai Kota. Tampak para pejalan Jelajah Seabad Chairil menyimak di Monumen Tugu Kota Malang.

 

Oleh Ida Fitri Astuti

     

Intisari-Online.com—“Ini foto Balai Kota Malang setelah peristiwa bumi hangus tahun 1947,” ujar FX Domini BB Hera di tepian kolam Monumen Tugu Malang. “Jika kita lihat, ada coretan-coretan di Balai Kota.”

Sisco, sapaan akrabnya, merupakan sejarawan dan kontributor majalah INTISARI. Dia tengah memandu Jelajah Seabad Chairil Anwar. Kendati saat ini kita belum menemukan catatan apa yang sejatinya dilakukan Chairil di Malang, ada peluang bahwa sang pujangga itu berkolaborasi bersama seniman-seniman saat kunjungannya di Malang pada 1947. Menurut hemat Sisco, corat-coret jargon propaganda bukan spontanitas melainkan direncanakan dengan kata-kata yang direncanakan. Kelak, corat-coret itu membakar semangat perjuangan di sudut-sudut Malang.

Program Jelajah Seabad Chairil Anwar: Di Malang 1947 Ia datang, 1955 Dia Dikenang digelar pada 23 dan 24 Juli 2022. Acara ini digagas oleh Kepustakaan Populer Gramedia yang menggandeng Gramedia Bookstore, INTISARI, Komunitas Pelangi Sastra, dan Tempo Publishing.  

Dari kawasan Balai Kota Malang, peserta menuju ke Aula SMA Alun-alun Bunder—yang merupakan bagian kompleks SMAN 1, SMAN 3, dan SMAN 4. “Pada 1955,” kata Sisco, “masyarakat menyebutnya dengan Aula SMA Alun-alun Bunder. Sekarang menjadi Aula SMA Kompleks Tugu.”

Kemudian di pintu masuk aula, dia melanjutkan berkata, “Kita di sini untuk mengenang 26-28  April 1955.”  Saat itu digelar rangkaian acara memperingati Chairil Anwar. Ada sayembara membuat sajak, lomba deklamasi sajak-sajak Chairil Anwar, dan malam terakhirnya digelar pertunjukan Keluarga Gerilya karya Pramoedya Ananta Toer di aula sekolah ini. “Inilah tempat bersejarah yang sayangnya tidak diketahui banyak oleh orang Malang hari ini.”

Perjalanan berlanjut ke ‘Hotel Negara’, yang berlokasi di belakang kompleks Balai Kota. Bangunan berarsitektur tropis dengan ciri kubah mungilnya ini menjadi tengara sejarah Sidang BP KNIP di Kota Malang.

“Selamat datang di Hotel Negara,” kata Sisco. “Saat ini bernama Graha Tumapel, milik Universitas Negeri Malang. Ketika Chairil Anwar datang ke Malang pada medio Februari sampai awal Maret 1947, tempat ini bernama Hotel Negara. Salah satu tempat di mana delegasi peserta peninjau menginap. Bisa jadi Chairil Anwar juga pernah ada di sini karena seluruh fasilitas yang diberikan kepada peserta sidang gratis.”

Para peserta Jelajah Seabad Chairil Anwar—kita menjulukinya sebagai ‘pejalan Chairil’—memasuki ruangan dalam, menjelajahi setiap tangga dan koridornya, bahkan menengok kamar-kamar yang pernah digunakan bermalam oleh para delegasi sidang KNIP 1947.

Setelah dari ‘Hotel Negara’, para pejalan Chairil berjalan kaki menyusuri Jalan Majapahit—dahulu bernama Speelmanstraat. Mereka menuju ke kawasan Patung Torso Chairil yang berada di ujung Jalan Majapahit dan Jalan Kayutangan. Patung ini berada di kawasan yang strategis, baik ketika zaman Hindia Belanda maupun zaman kemerdekaan.

“Foto ini hanya ada di Rumah keluarga Pak Achmad Hudan Dardiri,” kata Sisco sembari membentangkan salinan foto peresmian patung torso Chairil pada 28 April 1955. Warga Malang mengenal Achmad Hudan Dardiri (1924-2007) sebagai pejuang masa Perang Kemerdekaan di Malang, yang kelak menjabat sebagai Wali Kota Pasuruan (1969-1975) dan Bupati Jombang (1979-1983).