Penulis
Intisari-Online.com – Desa Senkivka di Ukraina terletak di perhubungan perbatasan antara Ukraina, Rusia, dan Belarusia.
Dulunya Desa Senkivka merupakan tempat festival yang merayakan persahabatan antara tiga negara, Ukraina, Rusia, dan Belarusia.
Namun kini, desa ini menjadi garis depan dalam perang.
Kepada BBC, para penduduknya menceritakan tentang keluarga yang terpisah melintasi perbatasan yang hidup dalam ketakutan.
Dengan akses yang langka ke desa, Yogita Limaye telah melihat secara langsung dampak dari sebuah komunitas yang terkoyak oleh perang.
Pasukan Rusia mundur dari Ukraina utara pada awal April, tetapi penembakan mortir dan serangan granat terus berlanjut di Senkivka.
Sebelum invasi, itu adalah rumah bagi lebih dari 200 orang. Sekarang hanya ada segelintir yang telah tinggal kembali.
Rumah Nina Malenok hanya di sisi jalan yang digunakan pasukan Rusia saat mereka memulai invasi ke Ukraina, dalam perjalanan ke kota utara Chernihiv, dan ibu kota Kiev.
Bahkan di halaman rumah Nina, ada ekor roket yang ditembakkan pada dini hari tanggal 24 Februari - hari di mana perang dimulai.
"Saya mendengarnya mendarat di halaman saya. Ada api dan asap di mana-mana. Lampu saya mati. Saya melompat dari tempat tidur dan lari keluar rumah," kata Nina dilansir dari BBC pada Selasa (3/5/2022).
Pada hari-hari berikutnya, ketika dia bembunyi di ruang bawah tanah, dia mendengar pesawat terbang di atas, kendaraan berat masuk, dan peluit sering ditiup.
Banyak roket tersebar di seluruh desa.
Para ahli yang telah melihat gambar roket mengatakan kepada BBC bahwa mereka mungkin membawa bom cluster, yang dilarang di bagian lain dunia karena kerusakan yang ditimbulkannya.
Tapi baik Rusia dan Ukraina telah dituduh telah menggunakannya.
Bahkan setelah penarikan pasukan, Nina tidak merasa aman sama sekali.
"Menakutkan hidup seperti ini, tapi saya sudah terbiasa dengan rumah saya.”
Bagi Lidiya Bilousova, ini adalah kedua kalinya dalam hidupnya dia melihat tank di depan pintu rumahnya.
Lahir pada tahun 1930, dia ingat dengan jelas Perang Dunia II dan tentara Jerman datang ke desa mereka.
“Kami telah diperingatkan oleh tentara kami yang mundur bahwa mereka akan datang,” ungkap Lidiya.
“Jadi kami bersembunyi di parit dengan roti kering di kantong kain.”
“Saat fajar, mereka berada di jalan-jalan kami, dengan kuda dan mesin mereka, melintasi kebun kami dengan senapan mesin.”
“Tapi tidak ada penembakan massal seperti sekarang," katanya.
"Dulu, saya bisa melarikan diri. Sekarang aku sudah tua. Aku tidak bisa lagi."
Penembakan itu memang membuatnya takut, tetapi dia tidak mau meninggalkan rumah yang dia tinggali selama sebagian besar hidupnya.
Sebelum invasi Rusia ke Krimea pada tahun 2014, penyeberangan perbatasan tiga arah akan dibuka dan festival persatuan akan dirayakan pada titik di mana negara-negara tersebut bertemu.
Bahkan ada sebuah monumen yang didedikasikan untuk persahabatan di antara mereka yang disebut “Three Sisters” atau "Tiga Bersaudara" masih berdiri.
“Itu adalah festival yang indah.”
“Kami (Ukraina), Rusia, dan Belarusia akan merayakan bersama. Orang-orang dari seluruh penjuru, pejabat penting semua akan datang," katanya.
"Tiga negara itu berteman selama bertahun-tahun, kami saling mengunjungi, menikah satu sama lain.”
“Kini semuanya sudah berakhir,” tutup Lidiya Bilousova.