Find Us On Social Media :

Mimpi Buruk Seorang Algojo

By Agus Surono, Jumat, 2 Maret 2012 | 04:00 WIB

Mimpi Buruk Seorang Algojo

Ia tertawa terbahak-bahak. "Dok," panggilnya kepada dokter penjara. "Ini ada penembak liar ingin menjadi algojo."

Ternyata setelah itu suasana tidak sekaku tadi. Saya ditanyai apakah saya cekatan. Kebetulan memang demikian. Saya diberi tahu bahwa seorang algojo adalah hamba hukum yang tidak boleh membawa-bawa perasaan dalam melakukan tugas eksekusi. Setelah itu saya boleh pulang.

Enam minggu kemudian saya dinyatakan lulus wawancara dan terpilih mengikuti pendidikan menjadi asisten algojo di Penjara Pentonville. Istri saya, Joyce, tidak keberatan.

Efisien, bersih, cepat

Tiga minggu sebelum merayakan ulang tahun ke-28, saya berada di kantor kepala Penjara Pentonville bersama tiga orang lain. Mereka itu George Dickinson (seorang ahli matematika yang bekerja di sebuah perusahaan kimia yang besar di Manchester), William Pollard (karyawan Woolwich Arsenal di London, dan Harry Allen, seorang penjual es krim dari Birmingham. Kata Harry, ia sudah melamar delapan belas kali!

Kepala penjara memperkenalkan kami pada Pak Hughes, seorang sipir yang sudah lanjut usia, yang akan menjadi instruktur kami.

Tapi sebelum mulai belajar, kami diberi tahu bahwa kami harus mematuhi Official Secret Act, undang-undang yang melarang kami menceritakan ataupun menulis mengenai hal-hal yang kami lihat atau pelajari.

Setelah itu kami membuntuti Pak Hughes ke sebuah ruangan yang isinya cuma sebuah ranjang di bawah jendela, sebuah meja, dan beberapa kursi. Jendela itu bukan cuma diberi terali, tetapi juga diberi kawat.

"Ini bakal menjadi kelas kita seminggu ini. Sebenarnya kamar ini sel untuk narapidana yang akan menjalani hukuman mati," Hughes menjelaskan. Ngeri juga kami.

Di sebelah kiri ada pintu yang menuju ke kamar mandi. Di sebelahnya ada kamar terpidana mati lain. Di sebelah kanan ada pintu kuning berdaun dua. Hughes membuka pintu itu. Di luarnya ada lorong yang menuju ke pintu kuning lain. Pintu kedua ini dibuka juga dan tibalah kami di tempat penggantungan. Jarak dari ranjang terpidana sampai ke kamar penggantungan cuma sepuluh langkah!

Ruang penggantungan itu identik dengan sel terpidana mati, cuma saja memiliki dua palang besar dekat langit-langit. Alat untuk membuka pintu jebakan di lantai bentuknya seperti kotak sinyal kereta api!

Kata Hughes, ruanganruangan yang kami lihat itu sama saja di semua penjara Inggris yang memiliki fasilitas untuk melaksanakan hukuman gantung.