Find Us On Social Media :

Mimpi Buruk Seorang Algojo

By Agus Surono, Jumat, 2 Maret 2012 | 04:00 WIB

Mimpi Buruk Seorang Algojo

Gara-gara buku kriminal

Keinginan saya untuk menjadi petugas penggantung orang timbul pada usia sebelas tahun, ketika saya membaca buku Edgar Wallace.

Wallace pernah beberapa kali melihat orang digantung, karena pada awal abad XX ini wartawan masih boleh menyaksikan kejadian tersebut. Ia mempergunakan pengalamannya untuk bahan cerita kriminal yang mencekam. Saya begitu terkesan membacanya, sehingga memutuskan akan menjadi algojo. Padahal tak ada nenek moyang saya yang berprofesi demikian.

Sebagai anak petani, pekerjaan pertama yang saya peroleh hanyalah sebagai tukang las di pertambangan batu bara di Nottinghamshire.

Seusai PD II saya bosan menjadi tukang las. Saya pun menulis surat pada Koran News of the World, menyatakan keinginan saya untuk menjadi algojo. Saya bertanya ke mana mesti melamar. Pengasuh ruang surat pembaca keheranan. "Kami tidak mengerti mengapa Anda ingin melamar pekerjaan itu, sebab tidak lama lagi algojo tidak dibutuhkan." Soalnya, waktu itu di parlemen sedang terjadi debat-debat perkara penghapusan hukuman mati. Namun, saya diberinya juga sebuah alamat.

Ternyata lamaran saya ditolak, karena jumlah algojo sudah cukup.

Dua tahun kemudian tahu-tahu saya dipanggil ke Penjara Lincoln, untuk menghadap Brigadir E.R. Patol-Walsh.

Saya harus melewati beberapa lapis pintu angker. Brigadir tampaknya tidak tertarik kepada saya. Wajahnya baru menunjukkan minat ketika ia tahu saya senang menembak.

"Di mana?" tanyanya.

"Di tanah milik Duke of Welbeck," jawab saya.

"Dengan Duke?"

"Tidak. Kalau Duke sedang tidur."