Find Us On Social Media :

Kisah Unik Para Presiden AS

By Agus Surono, Rabu, 21 Maret 2012 | 12:12 WIB

Kisah Unik Para Presiden AS

"Kalau polisi diajarkan untuk membungkuk di saat terjadi tembak-menembak, instruktur kami malah mengatakan, kalau kami membungkuk peluru dapat langsung menembus kepala. Jadi, kami harus berdiri tegak dan sengaja membuat diri kami menjadi sasaran yang besar, lalu berusaha sedapat-dapatnya mengalihkan perhatian si penembak."

"Saat itu saya ingin mempunyai tujuan di dalam hidup saya dan bukan hanya sekadar mencari nafkah dan membeli mobil baru. Kalau orang sampai berhasil membunuh seorang presiden atau calon presiden, peristiwa itu mengubah jalannya sejarah dan mempengaruhi kehidupan orang banyak. Maka dari itu saya ingin ikut mengamankan jalannya proses pemilihan presiden.

"Saya disuruh pergi ke dokter yang membuatkan cetakan lubang telinga saya dari plastik hangat. Beberapa hari jadilah earphone saya yang pertama. Kawatnya dihubungkan ke pesawat penerima sekaligus pemancar radio di pinggang dan disambung pula ke sebuah mikrofon di pergelangan tangan saya. Frekuensi saya disamakan dengan frekuensi agen-agen lain. Namun, akhirnya kami hampir-hampir tidak membutuhkan earphone. Kebetulan saya tidak pernah suka mengenakannya, karena telinga saya jadi berdarah."

Dor!

“Baru dua bulan bertugas lapangan, saya dikirim untuk mengawal jalur kampanye di Springfield, Illinois. Saya naik 'kereta perang' yang ikut dalam konvoi. 'Kereta perang' itu berupa mobil yang di langit-langitnya tertempel amunisi dan di jendela belakangnya seorang agen siap dengan senapan Uzi.

"Suatu pagi kami bisa gemetaran kedinginan di Madison, Wisconsin. Salju bertebaran di jalan. Empat kota kemudian, kami sudah tiba di Beaumont, Texas yang gerah, sehingga rasanya kami seperti terpanggang di dalam setelan wol kami. Pada saat itu, bisa saja limusin si calon presiden tiba-tiba direm dan pemimpin kami akan bilang lewat radio, 'Sampai, sampai.' Si calon presiden melompat turun, saya berbalik untuk menahan para juru potret dan 'jepret-jepret-jepret!': lima belas lampu blitz menyala beruntun di depan wajah saya! Di rongga mata saya segera tampak seribu bintang, karena saya tidak mengenakan kacamata hitam. Saya memang tidak suka mengenakannya, berhubung saya ingin orang dapat melihat mata saya.

"Kemudian pemimpin kami bilang lewat radio, 'Mari kita bawa dia ke dalam.' Namun, si calon biasanya mampir-mampir di sepanjang tambang pembatas, sambil cengar-cengir, mengedipkan matanya atau mencicipi hot dog yang ditawarkan seseorang. Saya menyusulnya dan mendahuluinya berjalan. Mata saya memperhatikan tangan orang-orang. Jas saya biarkan terbuka, supaya bisa cepat menarik pistol. Telinga saya siap mendengar seruan, 'Senjata di kiri!' atau 'Senjata di kanan!' Seorang agen di samping saya sudah siap dengan Uzi di dalam tas kantor. Sekilas mata saya menyapu jendela-jendela hotel. Siapa tahu ada seseorang yang sedang mengintip lewat teleskop senapan berburunya. Di saat itulah biasanya ada remaja kurang ajar yang menusuk balon dengan pisau lipat dan "DOR!""Jantung kami serasa melompat ke luar."

Lihat tangannya

Kami belajar mencari wajah-wajah yang aneh, yang ekspresinya berbeda-beda dari yang lain. Orang yang gugup dan berkeringat, padahal semua orang di sekitarnya sedang bergembira. Atau orang yang cengar-cengir, di saat orang-orang lain serius dan khidmat. Biasanya kita bisa mengenali orang yang sedang mengalami gangguan mental.

"Kalau menemukan yang seperti itu, saya langsung mendekati dia dan mengajaknya berbicara dengan amat santai. 'Gimanakabarnya?' Atau saya menyenggolnya, lalu bilang, 'Oh, maaf.' Dengan cara itu saya mengejutkan dia. Kemudian saya akan berdiri di dekat calon dan memperhatikan mata orang-orang yang lewat menyalaminya. Saya juga melihat apakah tangan mereka ada di saku atau di tasnya masing-masing. Jika kami melihat seorang pria mendadak melakukan gerakan tertentu, kami cengkeram dia di sikunya dan kami giring ke ruang lain. Kami tanyai dia. Mungkin ternyata ia hanya ingin mengeluarkan kamera.

"Selama bertugas, saya tidak pernah mendengar seorang pun, termasuk saya, mengeluh takut. Saya kira kami memang bukan orang yang mau saling mengaku jika sedang takut. Pekerjaan ini menuntut kami untuk saling bersaing dan biasanya agen yang naik pangkat adalah yang bermental baja dan tidak banyak mulut. "Tentu saja, kadang kala saya merasa seperti sasaran yang sedang diincar, tetapi saya berpikir, 'Ah, tidak akan terjadi pada saya.' Saya juga bertanya-tanya di dalam diri (agen lain pun pasti pernah berpikir begini), seandainya saya sampai tertembak, apakah saya akan selamat? Jika ada orang gila mengeluarkan pistolnya dan kita ketakutan, kita justru bakal celaka. Padahal hanya ada satu kesempatan untuk menyergap orang itu sebelum pistolnya meletus. Nanti, jika kita masih hidup, barulah kita boleh ketakutan."

Corat-coret JFK