Find Us On Social Media :

Phoolan Devi, Korban yang Jadi Pemangsa

By Agus Surono, Minggu, 12 Februari 2017 | 16:33 WIB

Phoolan Devi, Korban Yang Jadi Pemangsa

Intisari-Online.com - Beberapa tahun yang lalu tersiar berita, Phoolan Devi, mantan Ratu Bandit India, menolak tawaran menjadi anggota parlemen di negara bagian Uttar Pradesh. Wanita yang pada masanya pernah menjadi buah bibir India, bahkan dunia ini, telah menerbitkan memoar. I Phoolan Devi (Little Brown And Company, 1996) menuturkan kehidupan macam apa yang membentuknya menjadi seorang "monster".

"Saya tak menganggap diri sebagai orang baik, tapi saya tidak pula seburuk dugaan orang." Demikianlah pengakuan Ratu Bandit India, Phoolan Devi, dalam bukunya, I, Phoolan Devi.

Perbedaan baik-buruk memang kemudian amat sulit dibedakan dalam tindak tanduk Phoolan. Seolah-olah dirinya menjadi simbol sintetis dua kekuatan yang bertentangan. Di satu pihak, ia dikejar-kejar sebagai penjahat tapi di lain pihak, dipuja sebagai pembela keadilan dan kebenaran bagi si miskin. Memang, ia membagi hasil kejahatannya untuk membantu kaum miskin. Petualangannya menginspirasikan lahirnya sejumlah buku dan film.

Nama Phoolan Devi mencuat terkenal ketika Februari 1981 ia dijuluki Ratu Bandit India dalam usia 24 tahun. Ia dituduh telah melakukan sekitar 48 tindak kejahatan besar seperti penculikan, perampokan, dan pembunuhan. Kegagalan polisi menangkapnya semakin membuat namanya melegenda di dunia kejahatan. Operasi pengejaran yang dilakukan secara besar-besaran melibatkan ratusan polisi tiga negara bagian, Uttar Pradesh, Madhya Pradesh, dan Rajastan, tak membawa hasil.

Kasus yang paling menggemparkan adalah pembantaian yang dilakukan gerombolan Phoolan atas 22 anggota kasta tinggi pada hari Valentine di tepi kali Desa Behmai, kawasan Uttar Pradesh. Masyarakat geger, sampai chief minister Uttar Pradesh mundur lantaran peristiwa itu. Padahal, menurut versi Phoolan, ia tidak ikutan karena saat itu sedang mengejar geng penjahat Shri Ram ke luar desa bersama kepala geng lain, Baba Mustakim.

Mencari Tuhan

Tak seorang pun mengetahui kapan Phoolan lahir. Menurut pengakuan Moola, ibunya, anak ini lahir pada hari festival bunga, sehingga dinamai Phoolan. Artinya, bunga. Ia punya seorang kakak yang cantik, Rukmini, dua adik perempuan Choti dan Bhuri, dan adik laki-laki, Shiv Narayan, satu-satunya yang mengenal bangku sekolah.

Sejak kecil, sikap kritis sudah jadi cirinya yang menonjol. Ketika berumur sekitar 9 tahun, ia ingin sekali bertemu Tuhan. Mengapa Tuhan menentukan ia lahir di Kampung Gurha Ka Purwa, negara bagian Uttar Pradesh, di tepi S. Yamuna, ke dalam kasta mallah, yang masih bagian dari kasta sudra, kasta terendah di India?

"Di kampung kami, orang suka menggosip. Kalau belum kecapekan kerja di ladang, mereka suka bertengkar. Ibu-ibu bertengkar soal sepoci susu, atau berteriak memarahi anak. Satu-satunya tempat di mana aku bisa tenang sendirian hanyalah saat aku jongkok di tanah lapang, sambil buang air," begitu tuturnya. Tapi untuk sampai ke sana ia harus berjalan menyusuri jalan setapak melewati rumah besar milik Bihari.

Padahal, meski masih paman sendiri (satu bapak lain ibu dengan ayahnya), Bihari gemar memukul Phoolan, Rukmini, atau Choti. Bahkan kalau sedang marah besar, ibu Phoolan pun tak luput dari sabetan tongkatnya. Tidak seperti ayahnya, Devidin, yang bekerja sepanjang hari, seharian Bihari cuma tidur-tiduran di atas khat (balai) bambu sambil mengawasi pelayan menyapu pekarangan.

Tidak seperti rumahnya yang berdinding tanah liat dan atap rumbia, rumah Bihari terbuat dari beton dua lantai dengan balkon. Pintu gerbangnya dihiasi kayu berukir dan di dalam pekarangannya ada sumur. Ini kemewahan besar, sebab penduduk sekitarnya hidup dari satu sumur.

Rumah Devidin berpekarangan kecil, kamarnya hanya tiga. Satu kamar tidur untuk mereka sekeluarga, satu dapur, satu lagi untuk dua ekor ternak sapi (kalau ditinggalkan di luar bisa raib). Pada malam hari, rumah cukup diterangi kedap-kedipnya lampu minyak dari kaleng bekas. Perabot cuma 3 khat di kamar, dan satu lagi di pekarangan untuk bersantai Devidin. Dekorasi satu-satunya hanyalah tempat pemujaan.

Kembali soal Bihari, si paman jahat, Phoolan terpaksa harus berjalan memutar bila perlu buang hajat. Tapi saat masih amat kecil, ada masanya ia demikian kebelet sehingga terpaksa melalui rute berbahaya di dekat rumah Bihari. Alhasil, ia harus siap dihadang, dimaki, atau dipukul. Padahal, bila ia sampai mengompol, masalahnya jadi repot. Ia harus mencuci gaunnya di sungai, lalu menungguinya sampai kering, dalam keadaan telanjang. Soalnya, itu satu-satunya gaun yang dimilikinya! Jangan tanya soal sepatu, tak seorang pun anggota keluarganya yang bersepatu.

Ini sebabnya ia juga bertanya kepada Tuhan, kenapa Bihari dan keluarganya begitu kejam terhadap keluarganya? Ia bertanya, kenapa keluarganya tidak pernah punya cukup makanan, sampai semasa kecil tangannya pernah diikat ibunya supaya tidak makan lumpur sungai?

Gesit sejak kecil

Suatu hari Phoolan dipanggil pradhan (semacam camat) untuk memijat kepalanya. Pas saat itu pradhan baru saja memanen mangga dari pohonnya sendiri. Mangga memang makanan mewah bagi Phoolan, meski yang sampai ke mulutnya hanya yang asam. Matanya tak dapat lepas dari mangga yang tertumpuk di atas piring itu. Akhirnya, ia memberanikan diri, "Boleh aku minta sepotong?"

Tamparan langsung membuat matanya berkunang-kunang dan terkencing-kencing karena kaget, sakit, dan takut. Bagi pradhan permintaan semacam itu amat tidak tahu diri karena diucapkan seorang anak perempuan malah! Ibunya cuma bisa berkaok-kaok di depan rumah pradhan, "Memangnya anak-anakku lahir hanya untuk jadi budakmu ...?"

Namun menurut ayahnya, mereka harus melayani tanpa mengeluh, lalu baru boleh berharap mendapat makanan. Jadi, memang banyak alasan bagi Phoolan untuk mencari Tuhan dan bertanya. Pernah ia mengira Tuhan tinggal di dalam S. Yamuna, tempat orang membuang abu jenazah. Maka ia menyelam dengan berpegangan pada ekor sapinya. Tapi tak ketemu juga.

Bihari bisa demikian kaya, karena ia mengangkangi tanah warisan yang menjadi hak Devidin seluas 80 bigha (± 20 ha). Entah sudah berapa rupee dihabiskan Devidin untuk menuntut kembali haknya lewat pengadilan, tapi tak kunjung berhasil. Malah panchayat (dewan kampung) pun tidak mendukungnya.

Maka selain sebidang tanah kecil tempat ayahnya telah menanam pohon neem, keluarga Phoolan tergantung pada kachwari, yaitu sebidang tanah di seberang, di bantaran S. Yamuna. Tanah itu hanya bisa digarap selama 6 bulan, pada musim kemarau, saat tidak tergenang.

Untuk menyeberang, mereka menyewa perahu 5 rupee per hari. Dengan perahu itu mereka mengangkut berkeranjang kotoran sapi untuk pupuk, yang nantinya dicampur dengan tanah berpasir di sana. Ladang musiman itu mereka tanami mentimun dan semangka. Tapi seperti umumnya orang mallah, meski tubuhnya kecil, Phoolan lincah dan cekatan. Pada usia 4 – 5 tahun ia sudah pandai berenang, bahkan mengemudikan dan mendayung perahu. Dengan gesit ia menyunggi keranjang penuh kotoran sapi dan melemparkannya ke atas perahu. Membajak tanah dan menebar benih ia pun bisa. Devidin sudah amat mensyukuri pemberian Tuhan itu. Tapi menurut ibunya, "Tuhan memberikan semuanya kepada Bihari, dan tak secuil pun kepada ayahmu." Phoolan memang mewarisi sifat keras ibunya.

Teror dibalas teror

Sudah tentu banyak kenakalan yang dilakukan Phoolan. Tapi sebagian besar sasaran, ya keluarga Bihari. Tidak heran, karena keluarga itu boleh dikata duri dalam daging kehidupan Devidin. Teror yang dilakukan Bihari atas keluarga Devidin jelaslah upaya untuk mempertahankan status quo kondisi mereka sebagai si kuat. Dalam tubuh Phoolan berkobar jiwa pemberontak. Obsesinya, merebut kembali tanah yang menjadi hak ayahnya sehingga hidup mereka tak perlu melata terus dalam kemiskinan yang mencekik.

Setelah Bihari meninggal, teror diteruskan oleh anaknya, Mayadin. Suatu hari, Devidin yang lugu bercerita kepada keponakannya, ia ingin menebang pohon neem kebanggaan mereka, karena bisa menghasilkan sekitar 1.000 rupee untuk ongkos mas kawin Phoolan.

Malam harinya, pohon itu ditebang orang. Pagi-pagi Phoolan melihat kayunya sudah ada di kereta Mayadin! Hampir separuh desa menonton keributan yang disebabkan Phoolan, tapi tak ada yang berani membelanya. Mereka menyaksikan bagaimana Phoolan menjerit-jerit dan babak belur mengalangi Mayadin membawa pergi potonganpotongan kayu itu.

Kemarahan Phoolan kemudian menemukan sasarannya pada ibu Mayadin yang kebetulan bertubuh kecil mungil. Sudah lama Phoolan kesal kepadanya, karena wanita itu sering lapor macam-macam kepada suami dan anaknya, sehingga Phoolan kena hajar dari mereka.

Suatu hari, setelah yakin Mayadin pergi, si bandit cilik dan adiknya Choti, masuk ke pekarangan rumah Mayadin. Seperti biasa, ibu Mayadin sedang tidur di atas khat. Khat itu mereka tarik mendekati sumur. (Dulu Bihari sering mengancam akan menceburkan Phoolan ke sumur ini.) Kedua kaki Ny. Bihari lalu dimasukkan ke bibir sumur. Percuma saja perempuan itu melolong ketakutan sampai serak. Setelah itu baru Phoolan mengatakan, "Suamimu pencuri, anakmu juga pencuri. Kamu janda seorang pencuri dan ibu seorang pencuri! Kalau berani lapor, lain kali kau betul-betul akan kuceburkan!" Sejak itu, melihat Phoolan bagi ibu Mayadin sama saja seperti melihat setan kecil.

Apalagi kejahilan Phoolan cukup kreatif. Salah satunya, ia suka menangkap ular hidup-hidup dari sungai dengan umpan kodok. (Kodoknya sendiri terkadang bisa ia selamatkan dengan menekannya ke luar dari leher ular, sebelum sempat ditelan.) Ular yang tak berbisa itu disembunyikan di got dekat rumah, sampai kawan-kawannya memberi informasi bahwa Mayadin sudah pergi.

Dapat dibayangkan betapa shock-nya si ibu, ketika ia melek dan langsung berpandangan dengan sepasang mata ular tepat di depan hidungnya! Phoolan segera menghardik, "Kapan kau akan kembalikan tanah yang kaucuri, nenek tua?" Kepala ular ia dekatkan di depan kedua bola matanya dan tubuh dinginnya dibiarkan menggelincir di lengan si ibu. Si ibu gemetar dan berteriak-teriak, "Singkirkan ular itu! Aku janji tanah itu akan dikembalikan Mayadin."

Setelah satu musim penghujan berlalu, ia mendengar si ibu sudah seminggu sekarat. Phoolan datang berkunjung dengan dalih ingin memberikan penghormatan terakhir. Padahal sebenarnya ia ingin tahu, apa yang membuat wanita itu tak juga "berangkat". Begitu mendengar bisikan Phoolan, "Bibi, keponakanmu Phoolan ini!" si ibu yang setengah sadar langsung terbelalak kaget, dan meninggal seketika! Lucunya, Mayadin mengira ibunya begitu cinta kepada Phoolan, sehingga mati pun menunggu Phoolan dulu.

Soang dengan unta

Dengan mahar cuma 500 rupee (itu pun berutang), orangtua Phoolan akhirnya berhasil mendapatkan jodoh untuknya. Sayang, ia hanya mendapat duda, bernama Putti Lai. Baru di hari perkawinannya Phoolan melihat dengan jelas tampang suaminya, "Rambut di pelipisnya sudah memutih, gemuk, bibir, kumis, dan alisnya tebal. Kalau ingin memandangnya, aku harus mendongak ke atas sampai dapat kulihat bulu hidungnya."

Sementara itu Phoolan sendiri baru berusia 11 tahun. "Tamu bulanan" pun belum pernah datang. Padahal menurut hukum India, wanita baru boleh dinikahi kalau sudah 18 tahun. Pernikahan itu memang disertai perjanjian si pengantin pria bersedia menunggu sampai pengantin wanitanya dewasa sebelum benar-benar memperistrinya.

Di kampung suaminya, para wanita terkekeh-kekeh melihat mereka, "Wuah, persis seperti soang dengan unta!" Bagi Phoolan yang terbiasa bekerja keras, pekerjaan rumah tangga saja tentu tak ada masalah. Apalagi ia banyak mendapat uang dari para tamu, yang semua disimpannya untuk ongkos ayahnya membayar pengacara guna menuntut balik hak atas tanahnya.

Celakanya, datang saat ketika si suami memaksakan nafsu, yang sama sekali tidak bisa dipahami seorang gadis kencur macam Phoolan. Ia diseret ke sebuah kamar jorok berlantai tanah yang gelap dan menyendiri di belakang rumah. Betapa shock-nya Phoolan ketika monster gendut itu menanggalkan dhoti (cawat) dan kurta (kemeja putih longgar)-nya, sehingga ia tak berani memandang tubuh polos si gembul. Phoolan tentu tak mengerti bahwa yang dialaminya itu adalah tindak sodomi. Yang bertalu-talu di benaknya, "Mengapa aku dihukum dengan cara aneh seperti ini, padahal aku tidak bersalah?" Ketika sakitnya tak tertanggung lagi, dalam keadaan compang-camping dan berdarah-darah ia kabur ke luar rumah, sambil menjerit-jerit.

Dalam sekejap ia dikerumuni para wanita yang bersimpati. Kedua kakinya lemas, seluruh tubuhnya panas terbakar dan ia amat mual. Sayang, tidak ada yang berani membelanya ketika Putti Lai muncul untuk mengambil "harta milik"nya lagi. Ia diseret, dicerca, dan dipukuli karena telah niempermalukan suami di depan umum.

Mendengar kondisi anaknya, ayah Phoolan lalu datang menjemput. Dalam keadaan sekarat, Phoolan kecil digendong ayahnya dengan penuh cinta, pulang ke kampung. Ayahibunya cuma bisa menangis. Toh, nasib malang gadis kecil ini belum berakhir.

Setelah sembuh, ia dijemput Putti Lai pulang, dengan konsekuensi harus mengalami lagi siksaan seksual Putti Lai. Ibu Phoolan diam-diam menyuruh adiknya sendiri untuk menculik Phoolan. Namun Putti Lai kembali, kali ini disertai polisi segala. Hanya saja, ia kehilangan dukungan begitu polisi melihat betapa masih kecilnya Phoolan. Terpaksa Putti Lai setuju dan akan menjemput 2 tahun lagi. Ketika saatnya tiba, ternyata Phoolan hanya dijadikan budak di rumahnya. Seorang wanita simpanan berlaku sebagai nyonya besar, sementara Phoolan disuruh tidur di luar, dipukul, dihukum, bahkan tidak diberi makan dan dilarang mandi.

Sebagai istri sah, Phoolan mendapat dukungan panchayat setempat. Mereka memutuskan, Putti Lai harus memperlakukannya dengan pantas. Kalau sampai memukul lagi, ia akan diajukan ke pengadilan. Ini membuat Putti Lai sampai pada keputusan memulangkan Poolan. Ia memboncengkan istrinya sampai ke tepian S. Yamuna, meski hari sudah malam dan air sungai sedang pasang. Semalaman Phoolan kedinginan dan ketakutan di tepi sungai, sampai paginya ia ditemukan ibunya yang kebetulan lewat di atas perahu.

Perempuan buangan

Sejak itu karena Phoolan wanita yang sudah diemohi suaminya, banyak lelaki menganggapnya milik umum. Lelaki tua-muda dari kasta thakur (bagian dari kasta ksatria yang berkuasa) berdatangan dari daerah-daerah lain, berusaha "mencicipi" Phoolan Devi.

Sementara Phoolan berangsur-angsur sembuh dari cedera akibat aniaya oleh suami, ayahnya terus berusaha lewat pengacara untuk menuntut Mayadin agar menyerahkan tanah yang menjadi haknya. Setelah sembuh, Phoolan ikut bekerja dengan ayahnya menjadi tukang batu. Sehari-hari kerjanya mengangkut batu, turun-naik tangga, membangun rumah untuk orang-orang kaya.

Phoolan sekarang bukan lagi gadis yang dulu. Ia tak lagi berdiam diri bila diperlakukan tidak adil. Ia sudah tak peduli bahwa menurut adat ia wanita buangan. Yang ia pikirkan hanya mencari nafkah cukup untuk makan dan itu berarti ia harus memastikan bahwa mereka dibayar untuk jasa mereka. Soalnya, para thakur sering kali "lupa" membayar upah mereka.

Kalau perlu ia menggunakan pemerasan, agar jasanya dibayar. Misalnya, ia mencuri kambing si thakur dan mengancam tidak akan mengembalikannya kalau thakur itu mencari-cari alasan terus untuk menunda pembayaran. Dalam hal ini akal Phoolan benar-benar manjur. Ia tak mau lagi diintimidasi. Sebaliknya, ia yang mengintimidasi. Tak ada siksaan yang bisa bikin dia gentar lagi, karena semua sudah pernah dialaminya: digebuk, dicambuk, diperkosa, dipermalukan. Kalau orang menamparnya, ia pun akan balas menampar. Pernah ada yang mencari-cari alasan tidak mau membayar upahnya hari itu juga. Diam-diam di malam hari ia hancurkan kembali bangunan yang sudah dibangun. Demikianlah di usia 14 atau 15 tahun, Phoolan mulai menemukan pola pemberontakannya, terhadap intimidasi kaum yang lebih berkuasa.

Selama dua tahun Phoolan jadi orang buangan, sampah masyarakat yang cuma diejek, digoda, dan dimaki. Yang paling getol mengganggu tentu anak-anak para orang kaya, termasuk putra Sarpanach, kepala panchayat. Sudah menjadi rahasia umum, bila anak-anak putri kaum miskin sampai diperkosa oleh anak orang kaya, ia harus menderita dengan diam. Namun, Phoolan capek disuruh terus diam. Ia menyuruh ibunya mengajukan keluhan resmi kepada panchayat tentang perilaku anak Sarpanach yang tidak pantas terhadap Phoolan. Tapi apa akibatnya?

Malamnya, putra Sarpanach datang "bertamu" bersama beberapa rekannya. Di hadapan kedua orangtuanya, Phoolan diperkosa. "Lihat apa jadinya kalau kau berani-berani bicara seperti tadi pagi, Moola," ujar putra Sarpanach, sebelum akhirnya mereka kabur diam-diam.

"Amma, lemparkan aku ke sumur. Aku ingin mati," isak Phoolan. Tapi ayah-ibunya menyuruh Phoolan diam, supaya penghinaan dan coreng itu tak menyebar ke seluruh kampung. Pernah ia sudah memegang-megang tali perahu untuk gantung diri, tapi urung. Dendam dan amarah membuatnya gelisah. Tidur tak dapat, duduk salah, jalan salah, kerjanya hanya mondar-mandir. Benar kata ibunya, ia tidak seperti gadis biasa. Kemarahan yang terpendam itu terlalu berat untuk ditanggung dengan diam! Tanpa permisi, pagi-pagi ia lari ke kampung tetangga, mengadukan apa yang dialaminya di depan seorang thakur yang punya masalah dengan Sarpanach.

Meski tak banyak berharap, keesokan harinya saat ia sedang pergi memotong rumput, si thakur bersama 20 orang berkuda mendatangi rumah Sarpanach. Meskipun lagi-lagi ia disalahkan ibunya, karena tak bisa tutup mulut, hatinya bersorak, mendengar si thakur menyatroni rumah Sarpanach. Karena Sarpanach dan anaknya sedang keluar, mereka memukuli para wanita di rumah itu, malah melucuti para istri Sarpanach. Pria itu juga memperingatkan para wanita itu kalau keluarga mereka terus memperlakukan wanita-wanita papa di kampung ini dengan semena-mena, ia dan anak buahnya akan datang lagi dan melakukan hal yang sama pada dirinya!

Phoolan berjingkrak-jingkrak kesenangan. Meski thakur itu sendiri memang berseteru dengan Sarpanach, baru kali ini, dendamnya terbalas, meski lewat tangan orang lain.

Menemukan cinta

Sejak itu Phoolan semakin tersingkir. Panchayat bahkan merapatkan nasib gadis yang terus jadi sumber masalah di kampungnya ini. Mereka memutuskan akan mengawinkan Phoolan dengan mantan pelayan Sarpanach. Mendengar berita ini, Phoolan lantas kabur ke rumah kakaknya, Rukmini, di desa lain.

"Reputasi" Phoolan memasuki babak baru, ketika Mayadin dan Sarpanach menuduhnya salah seorang bandit yang merampok rumah Mayadin. Padahal alibinya kuat. Saat terjadinya peristiwa, ia sedang menginap di rumah Rukmini.

Phoolan ditangkap dan ditahan di kantor polisi Kalpi selama tiga hari. Adik ipar Mayadin, Mansukh, membawa polisi dari distrik lain untuk ikut menyiksa. Di depan ayahnya ia ditelanjangi, digebuki, dan dipaksa mengaku. Bahkan di sel terpisah, semalaman, dalam keadaan masih telanjang. Ia diancam, bila sampai bocor mulut di depan hakim, rumahnya akan dibakar. Berkat alibinya, dan kebijaksanaan hakim, meski ada pernyataan resmi bahwa Phoolan telah mengaku, ia dibebaskan.

Pertengkaran keluarga Devidin dengan Mayadin terus berbuntut masalah, Puncaknya, ketika Mayadin dan Sarpanach berhasil menghasut tetua desa untuk mengucilkan keluarga Devidin yang "penuh noda" dan melarang mereka mengambil air di sumur desa. Kemarahan, dendam, dan frustrasi yang terus bertumpuk akhirnya mengusir segala ketakutan dari Phoolan. Ia malah mengancam Mayadin dan Suresh, anak Sarpanach, terang-terangan. Bahkan ia mengaku-aku punya bedil segala. Para thakur iseng yang berdatangan mencari Phoolan, tua-muda, seorang diri atau beramai-ramai jadi terkaget-kaget, karena bukannya mereka yang mengerjai Phoolan, malah mereka yang kena sasaran gebukan Phoolan! Mayadin kasak-kusuk lagi, sehingga suatu hari datang segerombolan bandit di bawah pimpinan seorang mallah, Vickram Mallah, menculik Phoolan.

Tidak ada yang menyangka, bahkan Phoolan sendiri bahwa justru di dalam hutan, di tengah kehidupan serba keras dunia para bandit, si "monster" kecil ini untuk pertama kalinya merasakan perlindungan seorang lelaki yang tak lain dari Vickram sendiri. Vickram-lah lelaki pertama yang bertanya, "Apakah kau menyukaiku?" Vickram pula orang pertama di dunia yang bisa memancingnya ngobrol sampai berjam-jam, menumpahkan segala beban perasaannya.

Vickram bahkan membunuh Baboo, bandit saingannya yang ingin memperkosa Phoolan. Puncaknya, ia mengawini Phoolan meski dengan tata cara amat sederhana. Phoolan sampai terheran-heran, betapa di hutan belantara ia malah diperlakukan sebagai manusia! Bahkan setelah menjadi suaminya pun, Vickram tidak menekankan kehendaknya ketika Phoolan masih traumatis dengan sentuhan lelaki. "Dia lelaki pertama yang menciumku, yang bertanya apakah aku takut, apakah aku bahagia," tutur Phoolan. Namun, di bawah bimbingan Vickram pula, Phoolan belajar menjadi bandit.

Membalas Putti Lai

Suatu kali ketika mereka sampai ke Mahespur, desa Putti Lai, kesempatan itu tak disia-siakan. Demi dendam dan semua mimpi buruk yang selama ini ditanggung Phoolan, mereka menyerbu rumah Putti Lai. "Di mana Putti Lai?!" hardik Vickram.

Seorang tua muncul dan menyahut, "Aku Putti Lai." Anakanak buah Vickram heran, karena Putti Lai lebih pantas menjadi ayah atau kakek mereka.

Anak buah Vickram menyeret Putti Lai ke jalanan, lalu menggebuki dia dengan lathi (cambuk, terkadang dengan besi di ujungnya). Tulang-tulangnya gemeretak, giginya rontok. Akhirnya, Vickram menyerahkan sepotong dahan kayu neem kepada Phoolan, "Giliranmu." Meski semula ragu dan takut, Phoolan akhirnya melampiaskan dendamnya. Putti Lai ditinggalkan di tepi jalan, disertai catatan yang berbunyi: "Peringatan bagi orang tua yang berani-berani menikahi anak gadis kecil!"

Hidup sebagai bandit tentu saja bukan hidup yang gampang, karena mereka terus dalam pelarian dan hanya berani bergerak pada malam hari. Kadang-kadang tiga hari mereka tidak makan. Satu hari mereka menembus hutan belantara, hari lain menuruni lembah karang yang curam. Yang paling sulit tentu mendaki tebing karang gundul. Demikianlah Phoolan belajar hidup di tengah alam. Lambat laun telinganya terbiasa mendengar auman harimau atau kuikan babi hutan di tengah malam, kaok-kaok burung, atau gemerisiknya ular. Bila haus ia memetik buah liar. Tidak seperti di kampung, di hutan ia bebas memetik mangga langsung dari pohon.

Informasi tentang sasaran perampokan diperoleh dari informan. Vickram Mallah mempunyai jaringan mata-mata yang melaporkan keluarga mana yang perlu dirampok dan dihukum. Dengan mengenakan seragam inspektur polisi bintang dua, (Vickram berbintang tiga) lengkaplah atribut Phoolan sebagai bandit. Bahkan ia lebih dikenal sebagai Dasyu Sundari, alias perampok yang cantik.

Suatu hari dua orang informan melaporkan tentang seorang kaya di desa mereka yang tidak membayar upah para pekerja. Mereka menyerbu ke desa tersebut. Untuk pertama kalinya Phoolan menembakkan senapannya ke udara sebagai peringatan kepada penduduk desa. Lalu Vickram meneriakkan sedikit "pesan sponsor" lewat megafon, "Kalian semua telah membuat hidup orang-orang miskin ini merana. Sekarang saatnya kami membalas kalian! Saya Vickram Mallah. Phoolan Devi bersama saya di sini!" sambungnya sambil tersenyum memandang Phoolan. Sudah jadi kode etik kaum bandit di sini, si korban harus diberi tahu siapa yang sedang menghukum mereka, juga seluruh isi kampung.

Perampokan belum lengkap, bila tidak disertai penganiayaan menggunakan lathi. "Mereka harus diberi pelajaran," kilah Vickram. Begitu selesai, mereka mengangkut emas, perak, dan rupee, lalu berlalu sambil senapan mereka terus jedar-jedor. Persis seperti adegan film koboi. Hasil rampokan, kemudian dibagikan lagi kepada orang-orang kampung yang miskin. Itu sebabnya, bagi mereka, Vickram adalah pahlawan.

Kembali ke kampung

Toh, operasi mereka tak selalu berjalan mulus. Ada kalanya mereka dicegat polisi, namun Vickram tidak kehilangan akal. Dengan mudah ia dapat mengelabui mereka, tak cuma berkat seragam polisi yang dikenakannya, tapi juga karena logat bicaranya yang terpelajar. "Bahkan bisa berbahasa Inggris segala," tutur Phoolan tak menyembunyikan kekagumannya. Gambaran penuh kontroversi mengenai pribadi bandit "budiman" Vickram ini serasa makin lengkap, karena di saat senggangnya (biasanya siang hari), Vickram gemar membaca buku keagamaan, yang selalu ditaruhnya di dahan pohon supaya tidak kotor.

Peristiwa bersejarah bermula ketika Phoolan merindukan keluarganya. Vickram setuju mengantarnya, tapi ia dilarang menginap, karena amat berbahaya. Bukankah kini ia benar-benar seorang bandit, bahkan istri Vickram Mallah, bandit pelaksana keadilan dan pembalasan?

Mereka ke sana ketika suasana desa sepi karena penduduknya banyak yang sedang ke luar menonton festival. Diantar Vickram dan tiga orang anak buah, Phoolan masuk ke pekarangan rumahnya. Ibunya langsung akan kabur melihat orang-orang berseragam ke rumahnya.

"Amma! Ini aku, Phoolan!"

Tampak benar orangtuanya telah banyak menderita karena terus diteror. Ketika diberi uang 200 rupee, ibunya meratap, "Ibu tak ingin uangmu. Ibu ingin kamu pulang. Kami tak punya makanan. Kami dipukuli polisi dan mereka menyita semua biji-bijian kita. Gara-gara kamu, kita kehilangan semuanya!" Mereka juga mempermasalahkan Vickram yang menurut mereka telah merusak kehidupan Phoolan.

Tapi akhirnya mereka bisa mengerti, bahwa pulang bagi Phoolan akan berarti mati. Di pasar malam, seperti biasa mereka melancarkan tembakan ke udara, sehingga penduduk yang sedang santai menonton terpaku.

Phoolan menyalak galak lewat megafon, "Pesta sudah selesai, kalian anjing-anjing! Di mana Mayadin?" Sulit dipercaya. Masa bandit perempuan bersenjata itu Phoolan, yang selama ini mereka hina dan cerca bagai sampah? Bahkan ada yang sampai terkencing-kencing karena takutnya.

Sayang saat itu Mayadin berhasil beringsut menyelamatkan diri. Tapi mereka berhasil menangkap Mansukh, yang mengaku telah membuat tuduhan palsu bahwa Phoolan ikut merampok rumah Mayadin, bahwa ia seorang wanita gampangan, sehingga polisi berbuat semena-mena terhadap Phoolan. Mansukh akhirnya ditembak oleh Phoolan dan tiga I orang rekannya bersama-sama. Pada mayatnya, Vickram menulis, "Inilah anjing polisi, disajikan oleh Phoolan Devi." Keesokan harinya untuk pertama kalinya polisi mengumumkan hadiah untuk kepala Phoolan Devi.

Titisan dewi

Setelah kejadian itu, subuh-subuh seluruh kampung dipimpin Pradhan, mengikuti Moola yang memang ada janji untuk berjumpa dengan anaknya di luar kampung. Sebanyak 100 orang pria, berarak-arak dengan takzimnya. Untaian bunga tergantung di leher mereka, seperti bila mereka hendak beribadah ke kuil.

"Mau apa kalian?!" sera Vickram curiga.

"Kami datang untuk menyampaikan hormat," jawab Pradhan. "Kami datang bersama ibunya, yang juga ibu kami. Putrinya, Phoolan, itu seorang dewi. Kami datang untuk minta berkah bagi kampung kami dari Phoolan."

Mereka membawa untaian bunga, gula-gula, dan rupee sebagai persembahan. Mereka membungkuk berdoa dengan khusyuk di depan Phoolan. Dari orang terbuang yang hina dina, tiba-tiba ia disembah! Moola, ibunya, kini memohon maaf bagi mereka semua.

Sarpanach tidak mengaku telah menyebabkan semua penderitaan pada Phoolan. "Bukan aku yang menyuruh Vickram menculikmu," katanya terbata-bata. Tapi Vickram serta-merta menyergah, "Bukankah keluargamu yang memintaku menculiknya, karena kamu tak mau ia ada di desamu lagi? Apa kau menuduhku pembohong?" Popor senapannya langsung bicara. "Ikat dia!" perintahnya.

Sarpanach terseok-seok melata di tanah, menyentuh kaki Phoolan. "Ampuni aku, ampuni aku, duh dewi! Engkau benar benar seorang dewi!"

Mereka mempersembahkan uang yang jumlahnya barangkali 20.000 rupee, tapi semuanya dibakar oleh Phoolan. Ia jijik. Semua orang mengundangnya makan di rumahnya masing- masing supaya berkat jatuh ke rumah mereka. Tapi Phoolan hanya ingin pulang ke rumah bapaknya sendiri untuk berbagi kemiskinannya.

Di sanalah Mayadin datang menghampirinya, dengan pakaian compang-camping. Setiap beberapa langkah ia berhenti untuk mencium tanah. Di tangannya ia membawa nampan persembahan penuh rupee. Wajahnya penuh ketakutan, tangannya gemetar. Jelaslah semua orang ini ngeri karena hukuman mati yang telah dijatuhkan Phoolan terhadap Mansukh. Ia meletakkan persembahan itu di kaki Phoolan, sambil tetap bersujud dengan kening menyentuh lantai. Ia sungguh-sungguh pasrah. Tapi ketika Phoolan akan membunuhnya, ia dicegah Vickram.

"Ampuni aku, Phoolan. Jangan bunuh aku. Akan kulakukan apa saja permintaanmu. Aku akan memberikan ayahmu tanah yang menjadi haknya. Ayahnya juga menangis sambil memohon ampun untuk Mayadin.

"Biarkan dia hidup, demi ayahmu," ujar Vickram. Menurut Vickram, Phoolan pantang membunuh Mayadin karena ia masih kerabat. Jika dilakukannya juga, reputasinya sebagai bandit akan rusak.

Vickram menerima uang persembahan dari Mayadin sebesar 50.000 rupee. Gara-gara ini berhari-hari Phoolan mogok bicara dengannya. Saat itu juga dibuat surat perjanjian bahwa Mayadin akan memberikan tanah kepada Devidin. Tapi Devidin hanya mau meminta 5 bigha, "Karena hanya sebesar itu yang kubutuhkan," ia bersikukuh. Padahal ia berhak atas 80 bigha.

Atas desakan orangtuanya dan Vickram akhirnya Phoolan terpaksa berjanji bahwa ia tidak akan membunuh Mayadin. Sesuatu yang bakal lama disesalinya. (Intisari)