Find Us On Social Media :

Phoolan Devi, Korban yang Jadi Pemangsa

By Agus Surono, Minggu, 12 Februari 2017 | 16:33 WIB

Phoolan Devi, Korban Yang Jadi Pemangsa

Mendengar kondisi anaknya, ayah Phoolan lalu datang menjemput. Dalam keadaan sekarat, Phoolan kecil digendong ayahnya dengan penuh cinta, pulang ke kampung. Ayahibunya cuma bisa menangis. Toh, nasib malang gadis kecil ini belum berakhir.

Setelah sembuh, ia dijemput Putti Lai pulang, dengan konsekuensi harus mengalami lagi siksaan seksual Putti Lai. Ibu Phoolan diam-diam menyuruh adiknya sendiri untuk menculik Phoolan. Namun Putti Lai kembali, kali ini disertai polisi segala. Hanya saja, ia kehilangan dukungan begitu polisi melihat betapa masih kecilnya Phoolan. Terpaksa Putti Lai setuju dan akan menjemput 2 tahun lagi. Ketika saatnya tiba, ternyata Phoolan hanya dijadikan budak di rumahnya. Seorang wanita simpanan berlaku sebagai nyonya besar, sementara Phoolan disuruh tidur di luar, dipukul, dihukum, bahkan tidak diberi makan dan dilarang mandi.

Sebagai istri sah, Phoolan mendapat dukungan panchayat setempat. Mereka memutuskan, Putti Lai harus memperlakukannya dengan pantas. Kalau sampai memukul lagi, ia akan diajukan ke pengadilan. Ini membuat Putti Lai sampai pada keputusan memulangkan Poolan. Ia memboncengkan istrinya sampai ke tepian S. Yamuna, meski hari sudah malam dan air sungai sedang pasang. Semalaman Phoolan kedinginan dan ketakutan di tepi sungai, sampai paginya ia ditemukan ibunya yang kebetulan lewat di atas perahu.

Perempuan buangan

Sejak itu karena Phoolan wanita yang sudah diemohi suaminya, banyak lelaki menganggapnya milik umum. Lelaki tua-muda dari kasta thakur (bagian dari kasta ksatria yang berkuasa) berdatangan dari daerah-daerah lain, berusaha "mencicipi" Phoolan Devi.

Sementara Phoolan berangsur-angsur sembuh dari cedera akibat aniaya oleh suami, ayahnya terus berusaha lewat pengacara untuk menuntut Mayadin agar menyerahkan tanah yang menjadi haknya. Setelah sembuh, Phoolan ikut bekerja dengan ayahnya menjadi tukang batu. Sehari-hari kerjanya mengangkut batu, turun-naik tangga, membangun rumah untuk orang-orang kaya.

Phoolan sekarang bukan lagi gadis yang dulu. Ia tak lagi berdiam diri bila diperlakukan tidak adil. Ia sudah tak peduli bahwa menurut adat ia wanita buangan. Yang ia pikirkan hanya mencari nafkah cukup untuk makan dan itu berarti ia harus memastikan bahwa mereka dibayar untuk jasa mereka. Soalnya, para thakur sering kali "lupa" membayar upah mereka.

Kalau perlu ia menggunakan pemerasan, agar jasanya dibayar. Misalnya, ia mencuri kambing si thakur dan mengancam tidak akan mengembalikannya kalau thakur itu mencari-cari alasan terus untuk menunda pembayaran. Dalam hal ini akal Phoolan benar-benar manjur. Ia tak mau lagi diintimidasi. Sebaliknya, ia yang mengintimidasi. Tak ada siksaan yang bisa bikin dia gentar lagi, karena semua sudah pernah dialaminya: digebuk, dicambuk, diperkosa, dipermalukan. Kalau orang menamparnya, ia pun akan balas menampar. Pernah ada yang mencari-cari alasan tidak mau membayar upahnya hari itu juga. Diam-diam di malam hari ia hancurkan kembali bangunan yang sudah dibangun. Demikianlah di usia 14 atau 15 tahun, Phoolan mulai menemukan pola pemberontakannya, terhadap intimidasi kaum yang lebih berkuasa.

Selama dua tahun Phoolan jadi orang buangan, sampah masyarakat yang cuma diejek, digoda, dan dimaki. Yang paling getol mengganggu tentu anak-anak para orang kaya, termasuk putra Sarpanach, kepala panchayat. Sudah menjadi rahasia umum, bila anak-anak putri kaum miskin sampai diperkosa oleh anak orang kaya, ia harus menderita dengan diam. Namun, Phoolan capek disuruh terus diam. Ia menyuruh ibunya mengajukan keluhan resmi kepada panchayat tentang perilaku anak Sarpanach yang tidak pantas terhadap Phoolan. Tapi apa akibatnya?

Malamnya, putra Sarpanach datang "bertamu" bersama beberapa rekannya. Di hadapan kedua orangtuanya, Phoolan diperkosa. "Lihat apa jadinya kalau kau berani-berani bicara seperti tadi pagi, Moola," ujar putra Sarpanach, sebelum akhirnya mereka kabur diam-diam.

"Amma, lemparkan aku ke sumur. Aku ingin mati," isak Phoolan. Tapi ayah-ibunya menyuruh Phoolan diam, supaya penghinaan dan coreng itu tak menyebar ke seluruh kampung. Pernah ia sudah memegang-megang tali perahu untuk gantung diri, tapi urung. Dendam dan amarah membuatnya gelisah. Tidur tak dapat, duduk salah, jalan salah, kerjanya hanya mondar-mandir. Benar kata ibunya, ia tidak seperti gadis biasa. Kemarahan yang terpendam itu terlalu berat untuk ditanggung dengan diam! Tanpa permisi, pagi-pagi ia lari ke kampung tetangga, mengadukan apa yang dialaminya di depan seorang thakur yang punya masalah dengan Sarpanach.

Meski tak banyak berharap, keesokan harinya saat ia sedang pergi memotong rumput, si thakur bersama 20 orang berkuda mendatangi rumah Sarpanach. Meskipun lagi-lagi ia disalahkan ibunya, karena tak bisa tutup mulut, hatinya bersorak, mendengar si thakur menyatroni rumah Sarpanach. Karena Sarpanach dan anaknya sedang keluar, mereka memukuli para wanita di rumah itu, malah melucuti para istri Sarpanach. Pria itu juga memperingatkan para wanita itu kalau keluarga mereka terus memperlakukan wanita-wanita papa di kampung ini dengan semena-mena, ia dan anak buahnya akan datang lagi dan melakukan hal yang sama pada dirinya!