Find Us On Social Media :

Phoolan Devi, Korban yang Jadi Pemangsa

By Agus Surono, Minggu, 12 Februari 2017 | 16:33 WIB

Phoolan Devi, Korban Yang Jadi Pemangsa

Kembali soal Bihari, si paman jahat, Phoolan terpaksa harus berjalan memutar bila perlu buang hajat. Tapi saat masih amat kecil, ada masanya ia demikian kebelet sehingga terpaksa melalui rute berbahaya di dekat rumah Bihari. Alhasil, ia harus siap dihadang, dimaki, atau dipukul. Padahal, bila ia sampai mengompol, masalahnya jadi repot. Ia harus mencuci gaunnya di sungai, lalu menungguinya sampai kering, dalam keadaan telanjang. Soalnya, itu satu-satunya gaun yang dimilikinya! Jangan tanya soal sepatu, tak seorang pun anggota keluarganya yang bersepatu.

Ini sebabnya ia juga bertanya kepada Tuhan, kenapa Bihari dan keluarganya begitu kejam terhadap keluarganya? Ia bertanya, kenapa keluarganya tidak pernah punya cukup makanan, sampai semasa kecil tangannya pernah diikat ibunya supaya tidak makan lumpur sungai?

Gesit sejak kecil

Suatu hari Phoolan dipanggil pradhan (semacam camat) untuk memijat kepalanya. Pas saat itu pradhan baru saja memanen mangga dari pohonnya sendiri. Mangga memang makanan mewah bagi Phoolan, meski yang sampai ke mulutnya hanya yang asam. Matanya tak dapat lepas dari mangga yang tertumpuk di atas piring itu. Akhirnya, ia memberanikan diri, "Boleh aku minta sepotong?"

Tamparan langsung membuat matanya berkunang-kunang dan terkencing-kencing karena kaget, sakit, dan takut. Bagi pradhan permintaan semacam itu amat tidak tahu diri karena diucapkan seorang anak perempuan malah! Ibunya cuma bisa berkaok-kaok di depan rumah pradhan, "Memangnya anak-anakku lahir hanya untuk jadi budakmu ...?"

Namun menurut ayahnya, mereka harus melayani tanpa mengeluh, lalu baru boleh berharap mendapat makanan. Jadi, memang banyak alasan bagi Phoolan untuk mencari Tuhan dan bertanya. Pernah ia mengira Tuhan tinggal di dalam S. Yamuna, tempat orang membuang abu jenazah. Maka ia menyelam dengan berpegangan pada ekor sapinya. Tapi tak ketemu juga.

Bihari bisa demikian kaya, karena ia mengangkangi tanah warisan yang menjadi hak Devidin seluas 80 bigha (± 20 ha). Entah sudah berapa rupee dihabiskan Devidin untuk menuntut kembali haknya lewat pengadilan, tapi tak kunjung berhasil. Malah panchayat (dewan kampung) pun tidak mendukungnya.

Maka selain sebidang tanah kecil tempat ayahnya telah menanam pohon neem, keluarga Phoolan tergantung pada kachwari, yaitu sebidang tanah di seberang, di bantaran S. Yamuna. Tanah itu hanya bisa digarap selama 6 bulan, pada musim kemarau, saat tidak tergenang.

Untuk menyeberang, mereka menyewa perahu 5 rupee per hari. Dengan perahu itu mereka mengangkut berkeranjang kotoran sapi untuk pupuk, yang nantinya dicampur dengan tanah berpasir di sana. Ladang musiman itu mereka tanami mentimun dan semangka. Tapi seperti umumnya orang mallah, meski tubuhnya kecil, Phoolan lincah dan cekatan. Pada usia 4 – 5 tahun ia sudah pandai berenang, bahkan mengemudikan dan mendayung perahu. Dengan gesit ia menyunggi keranjang penuh kotoran sapi dan melemparkannya ke atas perahu. Membajak tanah dan menebar benih ia pun bisa. Devidin sudah amat mensyukuri pemberian Tuhan itu. Tapi menurut ibunya, "Tuhan memberikan semuanya kepada Bihari, dan tak secuil pun kepada ayahmu." Phoolan memang mewarisi sifat keras ibunya.

Teror dibalas teror

Sudah tentu banyak kenakalan yang dilakukan Phoolan. Tapi sebagian besar sasaran, ya keluarga Bihari. Tidak heran, karena keluarga itu boleh dikata duri dalam daging kehidupan Devidin. Teror yang dilakukan Bihari atas keluarga Devidin jelaslah upaya untuk mempertahankan status quo kondisi mereka sebagai si kuat. Dalam tubuh Phoolan berkobar jiwa pemberontak. Obsesinya, merebut kembali tanah yang menjadi hak ayahnya sehingga hidup mereka tak perlu melata terus dalam kemiskinan yang mencekik.

Setelah Bihari meninggal, teror diteruskan oleh anaknya, Mayadin. Suatu hari, Devidin yang lugu bercerita kepada keponakannya, ia ingin menebang pohon neem kebanggaan mereka, karena bisa menghasilkan sekitar 1.000 rupee untuk ongkos mas kawin Phoolan.