Penulis
Intisari-Online.com-PresidenRusiaVladimir Putin diberitakan telah mengungkap bahwa dia memiliki daftar lima negara Eropa - termasuk beberapa di Uni Eropa - setelah muncul laporan Ukraina ingin bergabung dengan UE pada tahun 2014.
MelansirDaily Star, Minggu (27/3/2022), kunjungan Vladimir Putin ke Ukraina memicu kekhawatiran perang menyebar ke seluruh Eropa.
Tak hanya itu,Rusiabahkan mengirimkan ancaman ke negara lain dalam beberapa pekan terakhir dan, ketakutan itu mungkin tidak sepenuhnya tidak berdasar.
Pada bulan September 2014, Putinmembuat daftar lima negara Eropa yang dianggap mengancam.
Negara-negara yang diperingatkan secara pribadi adalah Polandia, Rumania, dan negara-negara Baltik - Estonia, Latvia, dan Lituania - yang semuanya merupakan bagian dari UE, blok yang Ukraina juga ingin diikuti.
Negara-negara non-NATO juga terancam ketika juru bicara urusan luar negeri Rusia Maria Zakharova baru-baru ini memperingatkan bahwa Finlandia dan Swedia dapat menghadapi "konsekuensi militer" jika mereka mencoba untuk bergabung.
Sementara itu, sejak invasi Rusia ke Ukraina, keamanan Taiwan menjadi pembicaraan para pembuat kebijakan dan analis di seluruh dunia.
Pulau yang memiliki pemerintahan sendiri itu diprediksi suatu hari nanti dapat mengikuti jejak Ukraina, dengan China berupaya mengambil alih wilayahnya.
Melansir Kompas.com, baik Taiwan maupun Ukraina adalah negara demokrasi muda, yang identitas nasional dan kemerdekaan politiknya menghadapi ancaman agresi dari negara adikuasa tetangga.
Meski demikian, Taiwan dinilai memiliki senjata rahasia yang tidak banyak dibahas, dan merupakan kekuatan yang tidak dimiliki Ukraina, yakni dominasi dalam industri semikonduktor.
Beberapa analis menilai kekuatan itu dapat terbukti penting dalam mencegah invasi oleh Beijing menurut laporan Al Jazeera.
Invasi ke Taiwan dapat memicu kejatuhan ekonomi global yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Pasalnya pulau itu memiliki posisi strategis dalam rantai pasok teknologi dunia.
“Perisai silikon” Taipei membuat taruhannya sangat tinggi bagi China.
Presiden China Xi Jinping berjanji untuk merebut kembali pulau yang diperintah sendiri jika perlu dengan paksa.
Namun Beijing sendiri sangat bergantung pada teknologi Taiwan, untuk menopang industri-industri utama yang diandalkannya agar dapat menggandakan produk domestik bruto (PDB) China pada 2035.
“Strategi pencegahan terpadu Taiwan membuat mengharuskan Beijing memilih tujuan nasional yang jelas,” Jared McKinney, seorang sarjana di Air University, mengatakan kepada Al Jazeera.
“Entah menaklukkan Taiwan atau mempertahankan kemakmuran ekonomi,” kata McKinney.
Industri strategis Taiwan
Pembuatan semikonduktor global terkonsentrasi di Taiwan berkat tiga dekade globalisasi yang memprioritaskan biaya rendah dan skala ekonomi.
Taiwan kini menyumbang 92 persen dari produksi global untuk node proses semikonduktor di bawah 10 nanometer (1 nanometer adalah satu-miliar meter).
Industri itu menjadikannya pemasok utama sebagian besar chip yang menggerakkan mesin paling canggih di dunia, dari Apple iPhone hingga jet tempur F-35.
Gangguan satu tahun pada pasokan chip Taiwan saja akan merugikan perusahaan teknologi global sekitar 600 miliar dollar AS, menurut sebuah studi oleh Boston Consulting Group dilansir dari Al Jazeera.
Jika basis manufakturnya hancur dalam perang, membangun kembali kapasitas produksi di tempat lain akan memakan waktu setidaknya tiga tahun dan 350 miliar dollar AS, menurut temuan studi tersebut.
“China pandai dalam algoritma, perangkat lunak, dan solusi pasar. Tetapi industri mereka membutuhkan banyak chip komputer berperforma tinggi (HPC) yang tidak mereka miliki,” kata Ray Yang Direktur Konsultan di Institut Penelitian Teknologi Industri Taiwan kepada Al Jazeera.
Lebih lanjut menurutnya, jika konflik mengganggu pasokan mereka, itu akan secara dramatis memperlambat ambisi teknologi kecerdasan buatan (AI) dan 6G China.
Artinya, Beijing harus menyusun ulang seluruh strategi industri mereka.
Ketergantungan itu dapat dimanfaatkan lebih lanjut oleh Taipei untuk menopang keamanan nasionalnya, menurut beberapa analis militer.
(*)