Penulis
Intisari-Online.com -Indonesia mengambil kebijakan luar negeri dengan Gerakan Non-Blok.
Kebijakan ini bertujuan untuk menegaskan sikap politik luar negeri bahwa Indonesia tidak mengikuti blok Amerika Serikat ataupun Uni Soviet pada masa perang dingin.
Hingga kini, saat perang Rusia-Ukraina meletus pun, Indonesia masih menganut kebijakan yang sama.
Indonesia selalu netral dalam konflik maupun polarisasi di dunia dan Indonesia.
Baru-baru ini, Ukraina pun mengungkapkan hal yang sama untuk menjadi negara netral seperti Indonesia.
Negara netral sendiri, menurut hukum internasional, adalah jika negara itu tidak akan ikut campur dalam situasi konflik bersenjata internasional yang melibatkan pihak-pihak yang berperang lainnya.
Negara netral tidak dapat membiarkan pihak yang berperang menggunakan wilayahnya sebagai basis operasi militer, memihak atau memasok peralatan militer.
Untuk mewujudkan tawaran menjadi negara netral tersebut, Ukraina mengajukan syarat.
Dalam perundingan Rusia-Ukraina di Turki pada Selasa (29/3/2022), perunding Ukraina mengatakan Kyiv siap menerima netralitas, jika di bawah kesepakatan internasional.
Artinya, negara-negara barat seperti Amerika Serikat (AS), Prancis dan Inggris harus meningkatkan jaminan keamanan mereka untuk Ukraina.
Sementara itu aspirasi Ukraina untuk menjadi anggota NATO sebagaimana tertulis dalam konstitusi negara itu, tidak dapat diubah selama darurat militer, seperti yang berlaku sekarang, atau selama keadaan darurat.
Seperti diketahui, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky mengakui pada 15 Maret 2022, bahwa Ukraina tidak dapat bergabung dengan NATO.
“Kami telah mendengar selama bertahun-tahun bahwa pintu terbuka, tetapi kami juga mendengar bahwa kami tidak dapat bergabung. Itulah kebenaran yang sangat kami akui,” kata Zelensky, yang dianggap mengabaikan aspirasi Ukraina untuk menjadi anggota NATO.
Adapun bagi beberapa orang Ukraina, pernyataan itu juga dianggap sebagai konsesi yang tidak dapat diterima.
Ukraina menawarkan menjadi negara netral, jika menerima jaminan keamanan yang memadai dari negara-negara barat, mengabaikan aspirasi untuk bergabung dengan NATO.
Namun, para analis menilai langkah-langkah itu akan membutuhkan amandemen konstitusi atau referendum.
Keduanya, baik amandemen konstitusi atau referendum, tidak dapat dilakukan di masa perang.
Bisakah Ukraina mengubah konstitusinya?
Perubahan apa pun akan memerlukan persetujuan dari 300 dari 450 anggota parlemen dalam dua sesi parlemen yang terpisah, dan kemudian divalidasi oleh mahkamah konstitusi.
“Tidak ada 300 suara hari ini, tetapi jika konflik berlanjut dan kami melihat NATO tidak membantu, pendapat bisa berubah,” kata ilmuwan politik Ukraina, Volodymyr Fesenko dilansir dari Guardian pada Rabu (30/3/2022).
“Kekecewaan Zelensky dengan bantuan NATO yang tidak mencukupi mengubah opini publik. Bagi kami, NATO adalah konsesi yang paling sederhana dan paling tidak menyakitkan,” tambahnya.
Apa yang diinginkan orang Ukraina?
Guardian melaporkan survei terbaru yang dilakukan oleh perusahaan jajak pendapat Rating awal bulan ini menunjukkan 44 persen warga Ukraina merasa negara mereka harus bergabung dengan NATO.
Persentase itu turun dua poin dari jajak pendapat yang dilakukan pada Februari, sebelum invasi Rusia ke Ukraina dimulai.
Sekitar 42 persen percaya Ukraina harus terus bekerja sama dengan NATO, tetapi tidak bergabung.
Mykola Davydiuk, seorang analis politik yang berbasis di Kyiv mengatakan, “Orang Ukraina ingin bergabung dengan NATO, tetapi jika Eropa menawarkan keanggotaan Uni Eropa (UE) dan mengusulkan paket keuangan untuk membangun kembali Ukraina, debat NATO dapat dilupakan untuk sementara waktu.”
“Jika Inggris, Prancis, dan Amerika Serikat – tiga kekuatan nuklir – memberikan jaminan keamanan, aliansi semacam itu akan lebih kuat daripada integrasi ke NATO,” tambahnya.
Negosiator Ukraina di Turki pada Selasa (29/3/2022) membandingkan jaminan keamanan yang mereka inginkan dengan Pasal 5 perjanjian NATO.
Para anggota setuju untuk saling membela jika terjadi agresi militer.